Nani Indrawati: BPHPI Adalah Rumah Bagi Hakim Perempuan, Bukan Untuk Saingi Hakim Laki-Laki.

BPHPI tidak dibangun dalam satu malam. Ia tidak muncul tiba-tiba. Akar kelahirannya justru tumbuh jauh dari tanah air, yaitu di Marrakesh, Maroko
Nani Indrawati bersama Prof. Dr. M. Syarifuddin, S.H., M.H., Ketua Mahkamah Agung ke-14, saat deklarasi BPHPI. Foto : Dokumentasi Humas MA
Nani Indrawati bersama Prof. Dr. M. Syarifuddin, S.H., M.H., Ketua Mahkamah Agung ke-14, saat deklarasi BPHPI. Foto : Dokumentasi Humas MA

MARINews, Jakarta - Para Hakim Perempuan Indonesia kini punya rumah untuk tempat pulang dari segala persoalan selama melaksanakan tugasnya sebagai pengadil. Rumah tersebut dinamai BPHPI (Badan Perhimpunan Hakim Perempuan Indonesia).

BPHPI tidak dibangun dalam satu malam. Ia tidak muncul tiba-tiba. Akar kelahirannya justru tumbuh jauh dari tanah air, yaitu di Marrakesh, Maroko, pada Maret 2023, ketika sepuluh hakim perempuan Indonesia duduk sejajar dengan para hakim perempuan dari berbagai belahan dunia.

Di kota tua Marrakesh itulah, Nani Indrawati, yang kini dikenal sebagai Ketua Umum BPHPI (Badan Perhimpunan Hakim Perempuan Indonesia) menyaksikan satu kenyataan penting, persoalan yang dihadapi hakim perempuan Indonesia ternyata bukan cerita lokal. Ia adalah bagian dari narasi global tentang perempuan, keadilan, dan sistem peradilan yang masih terus berbenah.

Dalam pertemuan hakim perempuan se-dunia itu, para peserta berbagi kisah dengan latar berbeda, tetapi dengan benang merah yang sama. Tentang hakim perempuan yang harus bertugas jauh dari keluarga. Tentang anak yang membutuhkan perhatian khusus. Tentang dilema antara profesionalisme dan kehidupan personal. Tentang sistem yang kadang belum sepenuhnya ramah, meski menuntut kinerja tanpa kompromi.

Sepulang dari Marrakesh, satu kesadaran menguat bahwa hakim perempuan Indonesia membutuhkan wadah bersama. Bukan sekadar forum diskusi, tetapi perhimpunan yang mampu menampung aspirasi, memperjuangkan kepentingan secara kolektif, dan menjadi jembatan antara realitas lapangan dengan kebijakan institusional. Dari sanalah cikal bakal BPHPI mulai dirumuskan.

Gagasan itu kemudian mendapat persetujuan Pimpinan Mahkamah Agung. Lalu, pada 27 September 2023, BPHPI resmi lahir. Organisasi berada di bawah naungan Ikatan Hakim Indonesia, dengan anggota ribuan hakim perempuan dari seluruh Indonesia. Kehadirannya bukan untuk memisahkan diri, melainkan untuk menguatkan, baik secara internal di kalangan hakim, maupun secara eksternal dalam membangun peradilan yang lebih inklusif dan berkeadilan.

Puncak dari proses panjang itu terjadi pada Jumat, 12 Januari 2024, di Jakarta. Bersama Australia Partnership for Justice 2 (AIPJ2), para hakim perempuan Indonesia mendeklarasikan BPHPI secara resmi. Acara bersejarah itu dihadiri langsung oleh Prof. Dr. H. M. Syarifuddin, orang nomor satu di Mahkamah Agung saat itu.

Nani Indrawati bersama jajaran pimpinan MA dan tamu undangan saat Deklarasi BPHPI. Foto : Dok. Humas MA

Dalam sambutannya, Ketua Mahkamah Agung menyampaikan apresiasi besar atas lahirnya BPHPI. Ia menegaskan Mahkamah Agung telah membuka seluas-luasnya kesempatan bagi hakim perempuan untuk menduduki jabatan strategis, sesuai dengan proporsi jumlah hakim perempuan yang saat ini mencapai sekitar 29 persen. 

Namun ia juga jujur mengakui, representasi kepemimpinan hakim perempuan masih belum ideal. Dari jumlah itu, hanya sekitar 24 persen yang menduduki jabatan pimpinan, bahkan di tingkat banding angkanya masih di bawah 20 persen.

BPHPI, menurut Ketua Mahkamah Agung, diharapkan menjadi wadah aspirasi dan perjuangan hakim perempuan di seluruh Indonesia. 

Ia juga menegaskan sejarah peradilan Indonesia telah membuktikan satu hal penting: ketegasan dan keberanian bukan monopoli laki-laki. 

Banyak hakim perempuan, katanya, justru tampil di garis depan penegakan hukum dengan putusan-putusan yang progresif dan visioner.

Dukungan serupa datang dari Australia Partnership for Justice 2. Ketua Tim AIPJ2, Craig R. Ewers, menyebut pembentukan BPHPI sebagai kerja kolektif yang tidak mungkin tercapai tanpa komitmen kuat dan dukungan banyak pihak. 

Ia berharap BPHPI tidak hanya membawa perubahan di Mahkamah Agung, tetapi juga berdampak lebih luas bagi sistem keadilan di Indonesia.

Bagi Nani, deklarasi itu bukan garis akhir. Ia justru melihatnya sebagai awal tanggung jawab yang lebih besar. 

Dalam pernyataannya sebagai Ketua Umum BPHPI, Nani menyampaikan tekad untuk memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan bagi seluruh kelompok masyarakat, sesuatu yang hanya bisa lahir dari peradilan yang independen dan berintegritas. 

BPHPI, katanya, akan terus bekerja bersama seluruh hakim baik perempuan maupun laki-laki, serta para pemangku kepentingan, demi mewujudkan badan peradilan yang agung.

Seperti yang diyakini Nani sejak awal, BPHPI lahir bukan untuk meminta keistimewaan, bukan untuk menyaingi hakim laki-laki, melainkan untuk memastikan satu hal sederhana namun mendasar, tidak ada hakim perempuan yang berjalan sendirian, dan tidak ada keadilan yang boleh kehilangan sisi kemanusiaannya.