Pandora dan Asap Peradilan: Integritas yang Teruji

Aturan hukum bukan sekadar formalitas, tetapi rangkaian prinsip yang memandu tindakan manusia, melindungi hak, dan menegakkan keadilan.
Ilustrasi keadilan restoratif. Foto : Freepik.com
Ilustrasi keadilan restoratif. Foto : Freepik.com

Kotak Pandora adalah kisah para Dewa Yunani Kuno terhadap Prometheus dan penderitaan umat manusia. 

Alkisah ketika para dewa masih berkuasa atas dunia, Zeus, sang raja langit murka besar. Sebabnya, Prometheus telah mencuri api dari Olympus untuk diberikan kepada manusia. 

Api membuat manusia kuat, pandai, dan berani. Oleh karenanya, Zeus menghukum umat manusia dengan hukuman yang tampak indah namun penuh muslihat. 

Kisah “Kotak Pandora” menjadi cerminan dalam perspektif sistem hukum, bahwa setiap anugerah harus selalu disertai tanggung jawab. 

Api yang diberikan oleh Olympus memberikan kemajuan dalam peradaban manusia, namun dapat pula menghadirkan bahaya apabila disalahgunakan. Begitu pula hukum, hukum adalah “api” yang merupakan seperangkat aturan kehidupan bersama, yang di dalamnya bertujuan untuk melindungi hak dan menegakkan keadilan. 

Namun di sisi lain, apabila hukum dilanggar, maka dapat menjadi sumber penderitaan alih-alih perlindungan.

Kelahiran Pandora

Para Dewa ingin memberi manusia sesuatu yang sekaligus menjadi ujian dan pelajaran, sebuah hadiah yang menantang kesadaran dan tanggung jawab. 

Zeus memerintahkan Hephaistos, dewa pandai besi, untuk membentuk seorang perempuan dari tanah liat. Tidak hanya itu, Athena mengajarinya menenun, Aphrodite menambahkan daya tarik yang menawan, Hermes memberinya kepandaian berbicara dan juga sifat licik serta keinginan tahuan mendalam. Para dewa lain turut serta memberikannya berkat, sehingga dinamai Pandora (penerima semua anugerah).

Seperti Dewa menciptakan Pandora untuk menguji manusia dan memberi mereka tanggung jawab, sistem hukum diciptakan untuk menata masyarakat. Aturan hukum bukan sekadar formalitas, tetapi rangkaian prinsip yang memandu tindakan manusia, melindungi hak, dan menegakkan keadilan.

Setiap “berkat” para dewa yang diberikan Pandora bisa dianalogikan sebagai fondasi ideal sistem hukum: adanya keahlian dalam menganalisis hukum, kelembutan hati agar dapat berempati, dan ketegasan dalam menegakkan aturan. 

Dengan demikian, lahirnya Pandora bukan sekadar dongeng, tetapi simbol pembelajaran: sistem hukum diciptakan agar manusia bisa hidup tertib, adil, dan bertanggung jawab selayaknya berkat, dapat menggabungkan keahlian, empati, dan ketegasan demi kepercayaan dan kesejahteraan bersama.

Godaan Pandoran

Ketika Pandora selesai diciptakan, Zeus mengutus Hermes untuk membawanya kepada Epimetheus, adik Prometheus. Meski Prometheus telah memperingatkan agar tidak menerima pemberian dari Zeus, Epimetheus tergoda oleh kecantikan Pandora dan menerimanya sebagai istri. 

Bersama Pandora, Zeus juga mengirimkan sebuah pithos, tempayan besar yang ditutup rapat. Tidak ada yang tahu apa isi di dalamnya, tetapi ia dilarang membukanya. 

Di bawah cahaya rembulan, Pandora menatap kotak itu dengan rasa ingin tahu yang menggelitik. Bisikan halus terdengar dari celah kotak: “Bukalah aku, lihat rahasiaku…” Tangannya bergetar, tetapi ia masih menahan diri. 

Pengadilan pun tidak lepas dari ujian integritas. Godaan bisa muncul dalam bentuk peluang manipulasi, tekanan dari pihak eksternal, atau celah prosedural yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi. 

Sekali integritas tergelincir, berdampak tidak hanya pada satu individu, tetapi bisa merambat ke seluruh sistem, menimbulkan keraguan dan sinisme publik.

Setiap tindakan etis yang dilakukan oleh hakim, panitera, atau staf pengadilan menjadi perisai yang menahan potensi kerusakan. 

Kesadaran kolektif di sini penting: pengawasan internal, budaya integritas, dan partisipasi masyarakat harus bersinergi agar godaan tidak membanjiri sistem. 

Pandora menahan sedikit godaan, mengingatkan kita bahwa setiap langkah kecil yang benar dapat menahan gelap agar tidak menjadi malapetaka.

Asap yang Menyebar

Akhirnya, rasa penasaran lebih kuat daripada larangan. Pandora pun membuka tempayan itu. Seketika, asap hitam bergerak mengelilingi langit-langit, menyusuri hingga ke seluruh bumi. Ia menari di udara, menutupi cahaya, dan membawa malapetaka. 

Segala keburukan yang sebelumnya tak dikenal manusia keluar berhamburan: penyakit, kerja keras, penderitaan, iri hati, kebencian, dan kematian. Pandora mencoba menahan sebagian, tetapi sudah terlambat, asap itu sudah menyebar dan menebarkan ketakutan. 

Godaan yang tidak terkendali menimbulkan efek serupa di dunia pengadilan. Sekali praktik tidak etis terjadi, dampaknya terasa luas. Kepercayaan publik meredup. 

“Asap Pandora” adalah simbol dari gelombang kecurigaan dan ketidakpastian yang menyelimuti masyarakat. Ketika satu titik integritas terguncang, bukan hanya individu yang tercoreng, tetapi reputasi lembaga ikut terseret. 

Setiap putusan yang seharusnya membawa terang justru bisa menimbulkan bayangan, memicu bisik-bisik dan rumor yang mengaburkan kebenaran.

Ratap Tangis

Manusia menjerit, meratapi, menangisi, dan berduka atas rasa yang sebelumnya tidak pernah dikenal manusia. Mereka terbang, memasuki rumah, dan menyelimuti hidup manusia dengan air mata dan penderitaan. 

“Ratap dan tangis” muncul ketika praktik tidak etis di pengadilan telah menimbulkan efek nyata bagi masyarakat. Dampak ini lebih dari sekadar prosedural. Ia menyentuh hati publik. 

Ketika hukum gagal ditegakkan secara adil, maka masyarakat kehilangan arah, dan bisikan ketidakpercayaan menguat. Setiap ketidakjujuran yang terbongkar, setiap godaan yang menang, menambah ratap dan tangis yang mengalir tak henti. 

Masyarakat mulai mempertanyakan setiap putusan, mencurigai motif di balik palu hakim, dan bahkan mempertanyakan keadilan itu sendiri.

Cahaya yang Tertinggal

Pandora meratapi tindakannya, saat dia menutup kotak itu, ia melihat sebuah cahaya. Cahaya itu kecil dan menenangkan. Itulah Elpis, Harapan. Satu-satunya anugerah yang enggan pergi bersama keburukan lainnya. 

Pandora menatapnya lama, menyadari bahwa meski dunia dipenuhi gelap, ada sesuatu yang tetap bisa menuntun manusia melewati kegelapan.

Meski godaan dan praktik tidak etis telah menimbulkan asap gelap yang menutupi kepercayaan publik, namun masih ada “sisa yang tertinggal” yang menjadi harapan dalam kegelapan. 

Harapan ini tampak pada hakim yang adil, pegawai yang menolak menjadi makelar, dan lembaga pengawas yang sigap menindak pelanggaran.

Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 7, 8, dan 9 Tahun 2016 menjadi simbol cahaya itu. PERMA Nomor 7 Tahun 2016 mengatur penegakkan disiplin kerja hakim. PERMA Nomor 8 Tahun 2016 memperkuat pengawasan internal. PERMA Nomor 9 Tahun 2016 memberi sarana bagi masyarakat melaporkan pelanggaran, membuka jalur kontrol dan transparansi. 

Bersama, ketiga peraturan ini menjadi secercah harapan yang menahan gelap agar tidak menutupi keadilan sepenuhnya.

Harapan itu kecil, tetapi signifikan. Ia menjadi pegangan bahwa perubahan masih mungkin, bahwa integritas masih bisa ditegakkan, dan bahwa hukum tetap dapat menuntun masyarakat ke arah keadilan. 

Pengadilan harus menutup celah-celah godaan dan menjaga cahaya harapan agar tetap hidup di tengah kabut asap ketidakpercayaan.

Akhirnya, dongeng Pandora dan realitas pengadilan bersatu: kegelapan mungkin datang, tetapi secercah cahaya yang terjaga mampu menuntun manusia dan institusi untuk bangkit, menyalakan kembali keadilan, dan memberi makna pada perjuangan melawan keburukan yang tak terhindarkan.

Penulis: Dwi Hadya Jayani
Editor: Tim MariNews