Pada 7 Agustus 2025 Majelis Hakim PTUN Banda Aceh telah mengetuk palu sekaligus memberikan keadilan bagi para pencari keadilan melalui putusan dalam perkara Nomor 8/G/2025/PTUN Banda Aceh antara Dr. Muslem, M.A Bin Ibnu Abdullah sebagai Penggugat melawan Rektor Institut Agama Islam Negeri Langsa sebagai Tergugat.
Putusan dalam perkara ini telah diupload secara elektronik melalui Sistem Informasi Pengadilan (SIP) sebagaimana amanat Pasal 26 Peraturan Mahakamah Agung (PERMA) Nomor 1 tahun 2019.
Hal ini merupakan bagian dari tugas dan wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh yakni memeriksa, memutus dan menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara diwilayah hukumnya.
Selain itu Majelis Hakim telah mewujudkan keadilan substantif melalui putusan ini.
Sejalan dengan hal tersebut, ini merupakan wujud dari salah satu fungsi dari PTUN Banda Aceh yaitu meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap Lembaga peradilan guna meningkatkan dan memantapkan martabat dan wibawa Aparatur dan Lembaga Peradilan.
Sebagai benteng terakhir tegaknya hukum dan keadilan,sesuai dengan UUD 1945. Dalam hal ini PTUN sendiri berwenang untuk mengabulkan gugatan sekaligus berimplikasi membatalkan apabila bertentangan dengan Peraturan Perundang Undangan dan AUPB ataupun dengan Ketentuan Hak Asasi Manusia.
Majelis Hakim dengan penuh kebijaksanaan menuangkan dalam pertimbangan hukumnya dalam Putusan Nomor 8/G/2025/PTUN Banda Aceh mengenai Asas Non Bis Idem sebagaimana secara tegas diatur dalam Pasal 35 ayat (3) Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 94 Tahun 2021.
Secara singkat pengertian dari asas ini adalah seseorang tidak dapat diadili atau dikenai hukuman dua kali atas perbuatan atau pelanggaran yang sama.
Adapun tujuan penerapannya yaitu untuk menjamin kepastian hukum, melindungi seseorang dari perlakuan sewenang-wenang dan mencegah disparitas dua putusan dari proses peradilan.
Dalam pertimbangan putusan tersebut diperoleh kaedah hukum sebagai berikut: “bahwa tindakan pemberian dua jenis hukuman secara simultan atas satu dugaan pelanggaran, yakni teguran lisan dan pemberhentian dari jabatan, bertentangan dengan prinsip dasar dalam sistem penegakan disiplin ASN yang mengedepankan asas pembinaan dan proporsionalitas. Praktik tersebut menurut Pengadilan berpotensi mengaburkan perbedaan antara teguran sebagai bentuk pembinaan dengan pemberhentian sebagai bentuk sanksi jabatan, yang seharusnya didasarkan pada tingkat pelanggaran dan prosedur yang berbeda, sehingga mereduksi makna hukuman disiplin ringan sebagai sarana pembinaan pegawai”
Pada amar putusan perkara aquo bersifat condemnatoir yang berarti putusan yang menghukum pihak Tergugat.
Di dalam amar putusan Setelah Majelis Hakim menyatakan bahwa Objek Sengketa Batal, selanjutnya pada amar poin kedua Mewajibkan Tergugat untuk mencabut Objek Sengketa, sekaligus mewajibkan kembali Tergugat untuk merehabilitasi kedudukan Penggugat seperti semula sebagai Ketua Jurusan/Program Studi Sejarah Peradilan Islam Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah Institut Agama Islam Negeri Langsa.
Putusan yang dikatakan ideal itu yakni mengharmonisasikan tiga indikator yaitu keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan sebagaimana yang pernah diutarakan oleh Gustav Radburg.
Dalam putusan aquo telah merangkum ketiga aspek tersebut menjadi satu kesatuan yang logis dan mempunyai ratio legis serta dapat diterima bagi kedua belah pihak sehingga menjadikan putusan tersebut menjadi Putusan yang berkeadilan serta sebagai wujud perlindungan hukum oleh Hakim PTUN.
Menurut berita dan informasi melalui media atau berita elektronik (Mediakontras.id) bahwasanya Tergugat dalam perkara ini telah melantik kembali Dr. Muslem, M.A Bin Ibnu Abdullah sebagai Ketua Prodi Studi Peradaban Islam (SPI) pada 9 September 2025, hal ini merupakan tindak lanjut dari putusan PTUN Banda Aceh yang telah berkekuatan hukum Tetap.
Dalam berita tersebut juga diketahui bahwa kemenangan dalam perkara tersebut telah mengembalikan Marwah Dunia Hukum dan Pendidikan pungkas Tim Kuasa hukum Penggugat.
Selain itu berita dan informasi melalui media atau berita elektronik (mediabahri.com) juga menyampaikan kabar yang sama sehubungan pelantikan tersebut atas produk dari PTUN Banda Aceh.
Dalam pernyataannya Kuasa hukum Penggugat merasa senang dan mengutarakan dengan penuh semangat bahwa pelaksaan Putusan PTUN Banda Aceh ini sebagai Kemenangan Hukum Administrasi.
Hal ini membuktikan manfaat dari putusan tersebut tidak hanya diliput oleh satu berita namun oleh banyak media sehingga tergolong menjadi sorotan publik.
Perlu diketahui, Istilah Eksekusi Otomatis telah diatur dalam Perubahan Kedua UU Peratun.
Eksekusi otomatis sesuai dengan pasal 116 ayat (2) Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dapat dimaknai apabila setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) sebagaimana diterima Tergugat atau termohon tidak melaksanakan tanggung jawab atau kewajibannya untuk mencabut Keputusan tata usaha negara yang diperkarakan atau disengketakan, maka keputusan pejabat tata usaha usaha negara atau pejabat pemerintahan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.
Akan tetapi dalam kasus ini apresiasi Pejabat TUN terutama Tergugat dalam menghormati putusan PTUN Banda Aceh, dengan melaksanakan eksekusi kurang dari jangka waktu eksekusi otomatis.
Merupakan langkah yang sudah sepantasnya Badan atau pejabat negara lain menerapkan hal serupa terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara.
Dengan diketahuinya informasi dan berita tersebut menjadi nilai tambah bagi Pengadilan Banda Aceh maupun kepada Tergugat.
Kepada Tergugat sendiri telah menjunjung supremasi hukum dan mempraktekan good government yang salah satu indikatornya yaitu dengan melaksanakan isi putusan pengadilan.
Sementara bagi Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh memang dalam posisi bukan sebagai Lembaga eksekutor namun ini menjadi nilai plus ketika sebuah Putusan dapat diterima dan dijalankan secara otomatis oleh Para pihak sekaligus menambah jumlah Perkara yang berhasil di eksekusi pada tahun 2025.