Tugas pokok dan fungsi hakim adalah menerima, memeriksa, dan memutus perkara yang diajukan. Dalam menjalankan tugas tersebut, hakim wajib memutus sesuai dengan koridor hukum yang berlaku. Putusan pengadilan, sebagai produk akhir dari proses peradilan, harus memuat pertimbangan hukum yang mencerminkan nilai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
Namun demikian, dalam praktik peradilan, hakim seringkali dihadapkan pada kekosongan atau ketidakjelasan hukum (lacunae) terkait suatu perbuatan. Di samping itu, hakim dituntut agar mampu memberikan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum dalam putusannya sekalipun terdapat kesulitan sendiri bagi para hakim ketika suatu perkara yang ditangani belum ada hukum yang mengaturnya. Mengatasi hal tersebut, diperlukan upaya penemuan hukum (rechtsvinding) atau penafsiran hukum oleh hakim.
Hakim memiliki peran penting dalam penemuan dan penafsiran hukum demi tercapainya tujuan hukum. penemuan hukum itu sendiri dimaknai sebagai proses yang dilakukan hakim untuk menemukan kaidah atau norma hukum yang relevan dan dapat diterapkan pada suatu kasus konkret.
Proses tersebut, tidak hanya dilakukan dengan mencari pasal dalam peraturan perundang-undangan, tetapi juga melihat dari berbagai sumber hukum lainnya, seperti kebiasaan, yurisprudensi dan doktrin. Setelah kaidah hukum ditemukan, langkah selanjutnya adalah penafsiran hukum atau interpretasi hukum. proses ini dilakukan untuk menafsirkan makna dari teks peraturan perundang-undangan atau kaidah hukum agar dapat diterapkan dengan tepat pada kasus yang ada. Dari berbagai metode penafsiran hukum, salah satu bentuk penafsiran yang biasa digunakan hakim yaitu penafsiran ekstensif atau memperluas makna kata.
Penafsiran ekstensif sebagai salah satu bentuk penafsiran hukum, diartikan sebagai penafsiran oleh hakim yang dilakukan dengan cara memperluas makna suatu suatu norma atau peraturan perundang-undangan sehingga cakupannya lebih luas dari makna harfiahnya.
Tujuan penafsiran ini adalah untuk mengakomodir situasi tertentu yang tidak secara eksplisit diatur dalam peraturan perundang-undangan, yang tetap dilakukan secara logis dan mempertimbangkan relevansi dari substansi perkara. Dengan kata lain, hakim tidak hanya terikat pada makna literal tetapi juga mempertimbangkan tujuan, konteks, dan semangat dari peraturan perundang-undangan tersebut.
Salah satu contoh klasik dari penafsiran ekstensif adalah pemaknaan kata benda dalam Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Secara harfiah, kata benda sering diartikan sebagai barang berwujud contohnya seperti kendaraan bermotor, uang, perhiasan, barang elektronik, dan barang yang lainnya yang dapat disentuh dengan panca indera. Namun, dalam perkembangannya muncul berbagai kasus pencurian yang tidak melibatkan benda fisik seperti pencurian listrik, dimana hakim menafsirkan bahwa listrik adalah benda yang memiliki nilai ekonomi.
Meskipun terkadang penafsiran ini dibutuhkan untuk mengisi kekosongan hukum atau untuk mengikuti perkembangan zaman, penggunaannya yang berlebihan dapat menimbulkan permasalahan yang cukup serius bagi keadilan dan kepastian hukum. adanya potensi bahaya penafsiran ekstensif oleh hakim dapat diuraikan sebagai berikut:
- Pelanggaran Asas Legalitas
Penafsiran ekstensif yang berlebihan berpotensi melanggar asas legalitas, yaitu asas yang menjelaskan bahwa suatu perbuatan hanya dapat dihukum apabila ada ketentuan yang secara eksplisit mengaturnya. Dengan penafsiran yang terlalu luas, hakim seolah-olah menciptakan norma baru yang tidak pernah diatur sebelumnya sehingga berpotensi menghukum orang atas perbuatan yang sebenarnya tidak dilarang, baik oleh undang-undang maupun nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
- Ketidakpastian hukum
Penggunaan penafsiran ekstensif secara terus menerus dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. putusan hakim yang menyimpang terlalu jauh dari teks undang-undang dapat membuat praktisi hukum dan masyarakat kesulitan memprediksi suatu kasus sehingga hukum menjadi kehilangan perannya sebagai panduan yang jelas.
- Penyalahgunaan kekuasaan
Penafsiran ekstensif menyebabkan hakim rentan melakukan praktik penyalahgunaan kekuasaan sehingga menghasilkan putusan yang didasarkan pada pandangan pribadi atau agenda tertentu, bukan berdasarkan pada tujuan hukum itu sendiri. Praktik ini tentunya dapat merusak kepercayaan masyarakat pada sistem peradilan.
- Inkonsistensi Putusan
Ruang penafsiran in pada praktiknya, sangat bergantung pada sudut pandang, nilai-nilai, dan pemahaman pribadi hakim terhadap kasus yang dihadapi. Ketika tidak ada batasan yang jelas, penafsiran ini dapat menjadi sangat subjektif, yang berpotensi menimbulkan ketidakseragaman dalam putusan untuk kasus-kasus serupa.
Adanya potensi permasalahan tersebut mengharuskan adanya batas oleh hakim dalam penggunaannya. Batasan dalam menggunakan penafsiran ekstensif saat membuat putusan sangat penting untuk menjaga keseimbangan antara penemuan hukum dan kepastian hukum. Adapun hal-hal yang dapat dilakukan sebelum memilih untuk menggunakan metode tersebut yaitu:
- Kepatuhan pada asas legalitas, yang berarti penafsiran tidak boleh menciptakan norma baru yang sebelumnya tidak diatur dalam undang-undang, sehingga hanya dilakukan untuk memperluas makna kata atau frasa yang sudah ada;
- Menggunakan metode penafsiran lain terlebih dahulu, terutama penafsiran gramatikal;
Menggunakan atau mencari yurisprudensi terhadap perkara yang sama atau sejenis terlebih dahulu;
- Menerapkan prinsip kehati-hatian dalam melakukan penafsiran ekstensif dengan berpegang pada tujuan hukum sehingga penafsiran sejalan dengan semangat dan tujuan hukum itu sendiri yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum;