Utilitarianisme dalam Menimbang Manfaat Sosial dari Putusan Hukum

Utilitarianisme menawarkan perspektif penting dalam peradilan, bahwa hukum harus membawa manfaat sosial sebesar-besarnya.
Ilustrasi integritas hakim. Foto: freepik.com
Ilustrasi integritas hakim. Foto: freepik.com

Setiap putusan hukum selalu membawa konsekuensi, bukan hanya bagi para pihak yang berperkara, tetapi juga bagi masyarakat luas. Keadilan tidak cukup dilihat dari kepatuhan pada aturan, tetapi juga dari dampak yang ditimbulkan bagi kehidupan bersama. Di sinilah utilitarianisme menemukan relevansinya. Suatu filsafat yang menimbang manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang sebagai ukuran utama tindakan yang baik.

Prinsip dasar utilitarianisme sederhana namun mendalam, yaitu putusan yang benar adalah putusan yang menghasilkan kebahagiaan terbesar dan penderitaan terkecil bagi sebanyak mungkin orang. Dalam dunia peradilan, prinsip ini mengingatkan bahwa putusan hakim tidak boleh hanya melihat kepentingan individu semata, tetapi harus memperhitungkan resonansi sosial yang lebih luas.

Putusan yang adil bukan hanya menyelesaikan sengketa, melainkan juga mengirim pesan moral kepada masyarakat. Setiap putusan dapat membentuk persepsi publik tentang hukum, menanamkan keyakinan bahwa hukum benar-benar bekerja untuk melindungi kepentingan bersama. Dalam kerangka utilitarian, putusan harus menumbuhkan manfaat sosial yang nyata, bukan sekadar menutup perkara.

Manfaat sosial yang dimaksud tidak selalu berupa kepuasan instan, melainkan kemaslahatan jangka panjang. Sebuah putusan mungkin terasa berat bagi satu pihak, tetapi jika menghasilkan ketertiban, keamanan, dan keadilan sosial, maka manfaat yang lebih besar tercapai. Hakim yang berpegang pada pertimbangan utilitarian akan selalu menimbang dimensi luas dari keputusannya.

Prinsip ini sejalan dengan ajaran untuk menolak kerusakan dan menegakkan kemaslahatan. Hukum bukan hanya alat menghukum, tetapi juga sarana menghadirkan rahmat bagi kehidupan bersama. Putusan yang membawa ketentraman sosial adalah bentuk nyata dari ibadah hukum, sebab ia menghadirkan kebaikan yang dirasakan banyak pihak.

Namun, utilitarianisme tidak boleh dipahami secara dangkal sebagai sekadar “jumlah suara terbanyak.” Ia harus dituntun oleh prinsip keadilan yang sejati. Kebahagiaan yang dihasilkan tidak boleh dibangun di atas penderitaan kelompok yang lemah. Hakim tetap wajib menjaga keseimbangan antara kepentingan mayoritas dan perlindungan hak minoritas, agar manfaat sosial tidak berubah menjadi tirani.

Utilitarianisme memberi kerangka pikir pragmatis yang menolong hakim menghadapi dilema sulit. Ketika teks hukum kaku, ketika keadilan formal berpotensi menimbulkan kerugian sosial, pertimbangan manfaat terbesar dapat menuntun pada solusi yang lebih bijaksana. Dengan demikian, hukum tidak menjadi alat yang membelenggu, melainkan sarana yang memerdekakan.

Kebahagiaan sosial yang menjadi tujuan utilitarian tidak identik dengan kesenangan dangkal. Ia lebih dekat pada kedamaian, rasa aman, dan keyakinan bahwa hukum melindungi semua. Putusan yang baik adalah putusan yang membuat masyarakat merasa terlindungi dari ketidakadilan, bukan sekadar puas karena prosedur hukum dipenuhi.

Hakim yang mempertimbangkan manfaat sosial akan lebih peka pada konteks masyarakat. Ia tidak hanya memandang hukum sebagai teks, tetapi sebagai instrumen moral yang hidup. Dengan pendekatan ini, putusan hukum dapat menjadi sarana pendidikan publik, membentuk budaya hukum yang sehat, dan menumbuhkan kepercayaan kepada institusi peradilan.

Utilitarianisme juga mengajarkan keberanian untuk berpikir luas. Hukum tidak boleh terperangkap pada kepentingan sempit, melainkan harus terbuka pada pandangan jauh ke depan. Hakim yang bijaksana akan melihat bagaimana putusannya memengaruhi generasi berikut, menanamkan nilai, dan menjaga harmoni sosial dalam jangka panjang.

Dengan pertimbangan manfaat sosial, hukum berfungsi sebagai perekat kehidupan bersama. Ia tidak hanya memutuskan benar atau salah, tetapi juga mengatur ulang tatanan masyarakat agar lebih adil. Putusan yang baik adalah yang membawa kedamaian, memperkuat solidaritas, dan meneguhkan rasa keadilan di hati rakyat.

Dengan demikian, ukuran keadilan bukan hanya kepatuhan pada prosedur, melainkan juga pada dampaknya bagi kehidupan bersama. Putusan yang melahirkan ketentraman dan manfaat luas adalah bukti bahwa hukum bekerja sesuai dengan tujuan mulianya. Utilitarianisme mengingatkan bahwa keadilan sejati adalah keadilan yang menghadirkan kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang.

Jadi, utilitarianisme menawarkan perspektif penting dalam peradilan, bahwa hukum harus membawa manfaat sosial sebesar-besarnya. Hakim dituntut tidak hanya menjadi penafsir aturan, tetapi juga pengemban misi moral untuk menebarkan kemaslahatan. Dengan menimbang manfaat sosial dari setiap putusan, hukum akan menjadi jalan menuju kesejahteraan, kedamaian, dan keridhaan Ilahi.
 

Penulis: M. Khusnul Khuluq
Editor: Tim MariNews