Perlindungan konsumen sangat penting untuk dipelajari, terutama bagi masyarakat yang bergerak dalam bidang usaha. Pentingnya hal ini juga sering ditemui dalam proses persidangan, khususnya di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang dinilai masih belum sepenuhnya mengedepankan asas keadilan bagi konsumen.
Bagi para praktisi hukum, urusan konsumen sudah semestinya dilimpahkan langsung ke pengadilan tingkat pertama. Alasannya, asas keadilan lebih dapat dirasakan oleh konsumen, meskipun di BPSK hal itu juga menjadi dasar pertimbangan majelis hakim.
Di tingkat internasional, hak-hak konsumen belum sepenuhnya diakui sebagai bagian dari hak asasi manusia. Hak konsumen masih berada dalam kerangka pedoman PBB, yakni UN Guidelines for Consumer Protection yang diperbarui pada tahun 2015.
Beberapa isu penting dalam pedoman tersebut, seperti perlindungan terhadap konsumen rentan, privasi data, dan perdagangan elektronik, perlu mulai diadopsi ke dalam regulasi nasional.
Akhir dari sengketa konsumen umumnya bermuara di Pengadilan Negeri. Sementara itu, peran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) masih menghadapi berbagai kendala. Banyak LPKSM belum memiliki kapasitas yang memadai untuk membantu konsumen, baik dari sisi pemahaman hukum maupun akses terhadap advokat.
LPKSM memiliki potensi besar untuk memperjuangkan hak-hak konsumen, namun masih banyak yang berfungsi sebatas formalitas. Oleh karena itu, penting untuk memperjelas kedudukan hukum LPKSM dalam gugatan konsumen, baik sebagai kuasa hukum maupun sebagai penggugat dengan legal standing.
Rencana revisi besar terhadap Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) perlu dilakukan agar selaras dengan perkembangan zaman. Revisi ini meliputi penguatan kelembagaan seperti BPKN dan BPSK, serta harmonisasi regulasi sektoral dengan UUPK.
UUPK merupakan fondasi yang baik, tetapi memerlukan penyempurnaan agar mampu menjawab tantangan di era digital dan globalisasi. Dengan penguatan kelembagaan, harmonisasi regulasi, serta pemanfaatan teknologi, perlindungan konsumen di Indonesia diharapkan dapat berjalan lebih efektif.
Kasus klasik yang sering ditemukan hampir setiap tahun adalah perkara dari BPSK yang akhirnya kandas ketika berlanjut ke pengadilan. Salah satu tantangan yang muncul adalah konflik antara putusan BPSK dan regulasi sektoral lainnya.
Harmonisasi sangat diperlukan agar perlindungan konsumen dapat berjalan secara efektif. BPSK harus memiliki karakter yang berlandaskan asas keadilan dan memahami fungsi hakim. Faktanya, banyak hakim yang beracara di BPSK belum sepenuhnya memahami konsep kekuasaan kehakiman.
Kelembagaan seperti Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dan BPSK membutuhkan penguatan. Adapun BPSK sering kali menghadapi kendala anggaran dan kurang mendapat perhatian dari pemerintah daerah. Padahal, keberadaannya sangat penting untuk menyelesaikan sengketa konsumen di tingkat lokal.
Dalam beberapa waktu terakhir, banyak muncul kasus keracunan makanan. Hal ini perlu disikapi dari perspektif perlindungan konsumen. Apakah perbuatan tersebut termasuk tindakan yang merugikan konsumen, atau mengandung unsur pidana?
Ada dua sisi dalam memandang hal tersebut. Konsumennya jelas para murid, ibu hamil, dan masyarakat umum. Jika hal ini ditarik ke ranah khusus (lex specialis), maka perlindungan konsumen memiliki unsur yang lebih spesifik. Terlebih lagi, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah berlaku sebagai dasar hukum utama.
Undang-undang tersebut menjadi pijakan penting dalam menyeimbangkan kepentingan antara pelaku usaha dan masyarakat sebagai konsumen. Dalam UU tersebut telah diatur secara jelas mengenai jaminan hukum dan perlindungan terhadap pelaku usaha, hak-hak konsumen, kewajiban pelaku usaha, hingga mekanisme penyelesaian sengketa.
Penegakan Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak hanya berkaitan dengan penindakan terhadap pelaku usaha yang merugikan konsumen, tetapi juga dalam upaya menciptakan ekosistem perdagangan yang sehat, adil, dan berkeadaban.
Keseimbangan antara hak dan kewajiban menjadi kunci. Masyarakat perlu menyadari hak-haknya, tetapi juga memahami bahwa pelaku usaha memiliki kewajiban hukum yang harus ditegakkan.
Hingga kini, undang-undang ini masih belum banyak diketahui masyarakat luas. Oleh karena itu, sosialisasi terhadap ketentuan perlindungan konsumen sangat dibutuhkan. Jika tidak, negara hukum akan menghadapi persoalan serius.
Berdasarkan sejumlah penelitian, sengketa konsumen umumnya lebih banyak diajukan oleh perempuan yang melakukan upaya hukum ke pengadilan. Perlindungan hukum bagi konsumen diselenggarakan sebagai upaya bersama yang didasari oleh lima asas hukum sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 UU Perlindungan Konsumen, yaitu:
- Manfaat,
- Keadilan,
- Keseimbangan,
- Keamanan dan keselamatan konsumen, serta
- Kepastian hukum.
Asas keadilan memiliki makna bahwa partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal, serta memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.