Di ruang-ruang sidang yang sunyi, di balik toga hitam dan palu hakim, keadilan selalu hadir sebagai pertanyaan yang tak pernah selesai.
Setiap perkara yang dibawa ke hadapan hakim, bukan sekadar tumpukan berkas, tetapi perjalanan panjang manusia yang membawa harapan, luka, dan kadang juga tragedi.
Pada titik itulah, seorang hakim berhadapan dengan dilema yang sangat filosofis namun nyata: apakah ia harus menegakkan kepastian hukum apa adanya, atau justru memberi ruang bagi moralitas untuk berbicara?
Pertanyaan itu bukan sekadar teori di ruang kuliah. Ia hadir dalam bentuk yang sangat konkret.
Misalnya, ketika seorang kakek mencuri cokelat karena lapar, ketika masyarakat kecil tersandung aturan administratif yang rumit, atau ketika hukum terlambat merespons perubahan sosial yang begitu cepat.
Filsafat hukum menyebut ketegangan ini sebagai dialektika kepastian vs moralitas. Sebuah pergulatan yang hingga kini menjadi napas peradilan, termasuk di Indonesia.
Keadilan Bukan Sekadar Pasal, Melainkan Nilai
Para filsuf hukum sejak ribuan tahun lalu memandang, keadilan tidak dapat dipisahkan, dari nilai-nilai moral yang hidup di dalam masyarakat.
Aristoteles, misalnya, percaya bahwa hukum harus rasional, tetapi ia juga menegaskan, keadilan membutuhkan equity (keluwesan moral), yang mampu memperbaiki kekakuan undang-undang.
Pada sisi lain, pemikir seperti Hans Kelsen mengingatkan, hukum harus jelas, sistematis, dan dapat diprediksi.
Hukum adalah hukum, bukan moralitas, dan hakim, dalam pandangan positivisme, seharusnya tidak memasukkan subjektivitas ke dalam putusan.
Di sinilah tarik-menarik terjadi.
Apakah seorang hakim harus tunduk sepenuhnya pada teks?
Atau justru perlu berani menembus teks ketika nilai kemanusiaan meminta perlindungan?
Kepastian yang Mencerahkan, Moralitas yang Menghidupkan
Kepastian hukum memberikan rasa aman. Masyarakat tahu kapan mereka melanggar hukum dan kapan tidak.
Negara pun diikat oleh aturan yang pasti, sehingga tidak menjalankan kekuasaan sesuka hati.
Namun kepastian hukum memiliki batas. Ia sering kali kering dan tak berperasaan.
Ia tidak mampu membedakan, apakah pelanggaran terjadi, karena kesengajaan, atau karena situasi ekstrem yang memaksa.
Di situlah moralitas mengambil peran. Nilai-nilai moral bukan sekadar perasaan atau pendapat pribadi, melainkan prinsip universal tentang keadilan, kemanusiaan, dan kepatutan.
Dalam konteks Indonesia, moralitas itu menemukan wujudnya dalam Pancasila, dalam asas kemanusiaan, dan dalam penghormatan terhadap martabat manusia.
Namun moralitas juga bisa berbahaya jika tidak dijaga.
Tanpa batas hukum, ia bisa berubah menjadi subjektivitas liar.
Moralitas yang terlalu bebas dapat menghasilkan putusan yang tidak dapat diprediksi, dan itu justru merusak keadilan.
Karena itulah, kepastian dan moralitas bukan dua kutub yang saling meniadakan. Keduanya justru harus digabungkan. Seperti dua sisi mata uang, keduanya saling melengkapi, saling mengisi, dan membentuk keadilan yang utuh.
Peran Hakim: Menyatukan yang Yuridis dan yang Manusiawi
Hakim berada di tengah pusaran dialektika ini.
Di tangan seorang hakim, undang-undang yang kaku, bisa menjadi hukum yang bernyawa.
Dalam putusan, seorang hakim tidak hanya menyusun analisis legal-formal, tetapi juga menganyam pertimbangan etis, logika moral, dan kearifan sosial.
Langkah-langkah untuk menyatukan keduanya bukan sekadar intuisi.
Ia memiliki metodologi, seperti Interpretasi teleologis, yang mengajak hakim menafsirkan aturan berdasarkan tujuan pembentukannya.
Selain itu, bisa juga melalui interpretasi sistematis, yang menghubungkan satu pasal, dengan seluruh bangunan hukum, agar putusan tidak terlepas dari kerangka besar sistem hukum nasional.
Bagi hakim, keadilan bukan hanya apa yang tertulis di dalam pasal, melainkan apa yang pantas diberikan kepada manusia, yang berhadapan dengan hukum.
Indonesia dan Pancasila: Moralitas yang Ditemukan di Rumah Sendiri
Kita sering lupa bahwa Indonesia memiliki fondasi moral yang kuat, yaitu Pancasila.
Sila Ketuhanan mengajarkan integritas moral. Sila Kemanusiaan mengingatkan bahwa hukum harus melindungi yang lemah.
Sila Persatuan menjaga kemaslahatan umum. Sila Kerakyatan membawa kita pada proses hukum yang adil, dan sila Keadilan Sosial menjadi kompas bagi keadilan substantif.
Dalam banyak kasus, hakim-hakim Indonesia sudah bergerak ke arah keadilan yang lebih humanis, misalnya melalui restorative justice, atau pertimbangan sosiologis yang lebih kuat.
Mahkamah Agung pun mendorong pembaruan peradilan yang responsif, tidak berhenti pada teks.
Dengan kata lain, moralitas bukan sesuatu yang asing dalam hukum Indonesia. Ia sudah menjadi bagian dari DNA sistem hukum kita.
Contoh Ilustratif: Ketika Aturan Bertemu Kemanusiaan
Bayangkan, seorang kakek renta mencuri makanan karena lapar. Secara formal, unsur-unsur pencurian telah terpenuhi.
Tetapi moralitas membisikkan, bahwa rasa lapar bukanlah kejahatan.
Di situlah hakim harus memilih: Apakah ia hanya menghitung unsur? Atau ia menimbang situasi manusia?
Keadilan menemukan jalannya, ketika hakim menggunakan hukum secara bijaksana, dengan menjatuhkan pidana paling ringan, mengedepankan restorative justice, atau bahkan memberikan pembebasan, dengan pertimbangan kemanusiaan yang kuat.
Putusan semacam ini bukan pelanggaran terhadap kepastian hukum; justru ia memperkaya hukum dengan nilai-nilai yang membuatnya hidup.
Keadilan yang Menyentuh Realitas
Kita hidup di zaman ketika masyarakat semakin kritis terhadap putusan pengadilan.
Masyarakat ingin keadilan yang dapat dirasakan, bukan sekadar yang tertulis.
Karena itu, hakim tidak cukup hanya menguasai teks hukum. Ia harus memahami konteks sosial, dinamika nilai masyarakat, dan terutama mengenai realitas manusia.
Dialektika kepastian dan moralitas bukan pertentangan yang harus dimenangkan salah satu pihak. Ia justru merupakan ruang dialog yang terus-menerus, yang membutuhkan kebijaksanaan, integritas, dan kepekaan moral.
Di sanalah kualitas hakim diuji.
Penutup: Keadilan yang Utuh, Bukan yang Parsial
Pada akhirnya, keadilan yang kita cari bukanlah keadilan yang kaku, tetapi keadilan yang menyentuh manusia.
Keadilan yang tidak hanya mematuhi pasal, tetapi juga mendengarkan suara nurani. Keadilan yang bisa dipertanggungjawabkan sekaligus bisa dirasakan.
Dalam dialektika kepastian dan moralitas, hakim adalah jembatan yang menyatukan keduanya.
Tugas itu tidak mudah, tetapi justru di sanalah letak kehormatan profesi hakim, yaitu menghadirkan hukum yang pasti, tetapi tetap manusiawi.
Ia bisa tegas, tetapi tetap berbelas kasih. Bisa juga formal, tetapi tetap bernyawa.
Itulah keadilan yang sesungguhnya. Keadilan yang memberi ruang bagi akal dan hati untuk bekerja bersama.



