Dalam kehidupan sehari-hari, integritas seseorang sering memudar secara perlahan tanpa disadari. Kemerosotan ini biasanya bermula dari hal-hal kecil, seperti kebiasaan menunda, membiarkan kelalaian, mengabaikan detail penting, atau membiarkan kepentingan pribadi memengaruhi keputusan profesional.
Surat al-Qasas [28]:26 menegaskan dua sifat utama yang harus dimiliki seseorang yang diberi amanah publik: al-qawiyy (kuat, kompeten) dan al-amīn (amanah, dapat dipercaya), kedua sifat ini bukan hanya etika moral, tetapi juga fondasi profesionalitas.
Sebaliknya, ketika kekuatan (kompetensi) tidak disertai kejujuran, atau amanah tidak diiringi kapasitas, seseorang mudah tergelincir pada penyalahgunaan wewenang.
Dalam konteks peradilan, integritas yang melemah dapat disebabkan oleh tekanan internal seperti ambisi pribadi, rasa kebal terhadap pengawasan, atau sikap abai terhadap kode etik.
Faktor eksternal seperti tekanan politik, intervensi pihak berkepentingan, hingga budaya kerja yang permisif juga dapat mengikis keteguhan moral aparat peradilan.
Hakim dan aparatur peradilan memegang amanah besar yaitu menegakkan keadilan, menjaga marwah institusi, dan memastikan hukum ditegakkan tanpa bias.
Ketika integritas aparat hukum goyah baik berupa ketidakjujuran, konflik kepentingan, penyalahgunaan kewenangan, atau kelalaian dalam tugas masyarakatlah yang menanggung akibatnya.
Kepercayaan publik menurun, legitimasi putusan dipertanyakan, dan wibawa peradilan terancam.
Sebaliknya, aparat peradilan yang menjunjung tinggi nilai al-qawiyy dan al-amīn, kuat dalam kompetensi dan teguh dalam integritas, menjadi penopang utama terciptanya sistem hukum yang bersih dan terpercaya.
Narasi Kisah Nabi Musa dan Dua Wanita
Kisah Nabi Musa AS dengan dua perempuan di Madyan sebagaimana dikisahkan dalam QS. al-Qasas [28]:23–26, menggambarkan interaksi moral yang sarat nilai integritas.
Musa melihat dua perempuan yang menahan ternaknya menjauh dari kerumunan para penggembala.
Setelah mengetahui ayah mereka telah lanjut usia, Musa membantu mereka dengan tulus tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Sikap ini memadukan kekuatan (al-qawiyy) dengan dorongan etis untuk melindungi pihak yang rentan.
Ketika Musa kemudian dipanggil ke rumah mereka, ia menjelaskan dirinya secara jujur, terbuka, dan apa adanya.
Ayah kedua wanita itu menilai Musa sebagai sosok yang “kuat dan amanah,” sehingga layak diberi tanggung jawab. Pernyataan ini menjadi landasan etis yang menegaskan amanah publik harus diberikan kepada orang yang kompeten sekaligus jujur, bukan hanya kepada yang kuat atau berpengalaman semata.
Kejujuran Nabi Musa sebagai Model Integritas
Kejujuran Musa tampak dari kesederhanaannya dalam menyampaikan latar belakang diri, tanpa manipulasi atau pencitraan.
Musa tidak menampilkan kelebihan secara berlebihan, tidak menutupi kekurangan, dan tidak membesar-besarkan penderitaannya. Kejujuran seperti ini adalah elemen mendasar integritas.
Ketika Musa diberi amanah pekerjaan oleh ayah dua perempuan itu, Musa menjalaninya dengan penuh tanggung jawab, disiplin, dan loyalitas. Ia menjaga kepercayaan tanpa penyimpangan sekecil apa pun.
Dari sini terlihat integritas bukan hanya satu tindakan, tetapi rangkaian karakter yang selaras: kejujuran, konsistensi, dan amanah.
Keterkaitan dengan Prinsip Peradilan Modern
Nilai-nilai yang tercermin dalam kisah Nabi Musa dan dua perempuan di Madyan memberikan inspirasi moral yang sangat relevan bagi paradigma integrity-based justice dalam sistem peradilan modern.
Kisah itu tidak hanya menggambarkan kepribadian Musa sebagai sosok yang kuat dan dapat dipercaya, dan memancarkan prinsip-prinsip etika yang menjadi pondasi bagi lahirnya peradilan yang bersih dan berwibawa.
Pertama, nilai amanah dan independensi tampak jelas ketika Musa bertindak tanpa motivasi selain kebenaran.
Musa menolong dua perempuan bukan karena imbalan, tekanan, atau kepentingan pribadi, melainkan karena dorongan moral. Dalam konteks peradilan modern, amanah ini menuntut hakim dan aparat peradilan untuk bebas dari suap, tekanan politik, konflik kepentingan, serta segala bentuk intervensi yang mengaburkan objektivitas.
Kepercayaan publik hanya dapat tumbuh apabila aparat peradilan menjunjung integritas tanpa kompromi.
Kedua, Musa dipuji sebagai sosok yang kuat dan kompeten (al-qawiyy). Kesaksian ini menegaskan kekuatan moral harus berjalan seiring dengan kapasitas profesional.
Dalam sistem peradilan, kompetensi mencakup kecakapan hukum, ketajaman analitis, dan kemampuan memahami kompleksitas perkara. Tanpa profesionalisme tersebut, keadilan tidak mungkin ditegakkan secara tepat dan bermartabat.
Ketiga, tindakan Musa yang jujur dan terbuka memberikan teladan mengenai transparansi dan akuntabilitas.
Peradilan modern membutuhkan proses yang jelas, putusan yang dapat diuji, serta mekanisme pertanggungjawaban melalui kode etik.
Keterbukaan inilah yang menjadi penyangga utama agar peradilan dapat diawasi, dipercaya, dan dipertanggungjawabkan.
Keempat, Musa menunjukkan kepekaan sosial melalui keberpihakannya kepada dua perempuan yang rentan secara fisik dan sosial. Sikap ini sejalan dengan prinsip pelindungan terhadap kelompok rentan dan access to justice dalam hukum modern, di mana setiap individu, termasuk perempuan, kaum lemah, dan pihak termarjinalkan, berhak memperoleh perlindungan dan akses yang setara terhadap keadilan.
Selain itu, ayat ini menegaskan pengakuan hak perempuan dalam konteks hukum dan sosial.
Wanita-wanita hadir sebagai subjek aktif yang menuntut hak mereka, menunjukkan partisipasi perempuan dalam proses peradilan.
Hal ini relevan dengan prinsip keadilan gender, di mana perempuan memiliki hak yang sama untuk memperoleh pengakuan, perlindungan, dan imbalan atas jasa mereka.
Perlakuan yang adil terhadap Musa atas dasar jasanya, bukan gendernya, menegaskan meritokrasi sebagai landasan etika dalam peradilan.
Dalam konteks modern, prinsip yang terkandung dalam ayat ini menjadi pijakan moral bagi sistem peradilan berbasis integritas, di mana hak setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan, diakui dan dijamin secara setara.
Ayat ini menegaskan keadilan hukum dan sosial mencakup pengakuan hak, perlakuan yang adil, serta kesempatan partisipasi yang sama bagi semua pihak, tanpa diskriminasi gender.
Dengan demikian, ayat ini dapat dijadikan referensi dalam membangun perspektif peradilan inklusif dan keadilan gender dalam praktik hukum kontemporer.
Seluruh nilai ini menegaskan kompetensi dan integritas bukan sekadar ideal moral, tetapi dua fondasi yang secara nyata menopang terciptanya sistem peradilan yang adil, bersih, dan berwibawa.
Dengan menjadikannya prinsip operasional, sistem hukum dapat berfungsi bukan hanya sebagai mekanisme penyelesaian sengketa, tetapi sebagai institusi yang menjaga martabat manusia.
Inti Hubungan: Moral Musa dan Sistem Hukum Modern
Nilai integritas yang dicontohkan Nabi Musa tidak berhenti pada level tindakan personal, tetapi mengalir menjadi prinsip dasar bagi pembentukan struktur dan sistem yang lebih luas.
Kisah Musa menolong dua perempuan menunjukkan kejujuran, amanah, dan kepekaan moral berasal dari karakter individu, namun kekuatannya baru benar-benar terasa ketika nilai itu menginspirasi tata kelola yang lebih besar.
Dalam konteks peradilan modern, hal ini mencerminkan sistem hukum yang baik selalu bermula dari manusia yang memiliki integritas, tetapi tidak cukup hanya mengandalkan moral individu.
Diperlukan mekanisme etik, standar profesional, dan pengawasan berlapis yang memastikan nilai-nilai tersebut tetap konsisten dan tidak mudah dikompromikan oleh tekanan, kepentingan, atau kelemahan manusiawi.
QS. al-Qasas [28]:26 menjadi jembatan yang mempertemukan moral individu dengan struktur kelembagaan.
Ungkapan “Sesungguhnya orang terbaik yang engkau pekerjakan adalah yang kuat dan dapat dipercaya”, menegaskan syarat kepemimpinan dan pengambilan keputusan bukan sekadar kemampuan teknis, tetapi perpaduan antara kompetensi dan amanah.
Ayat ini menggambarkan keadilan lahir dari pribadi yang berintegritas dan dipertahankan oleh sistem yang beretika.
Artinya, moralitas individu menjadi titik awal lahirnya keputusan yang benar, sementara sistem yang baik berfungsi menjaga agar integritas tidak tergerus oleh perubahan zaman atau dinamika kekuasaan.
Nilai-nilai dalam kisah Musa tidak hanya relevan sebagai teladan spiritual, tetapi juga sebagai fondasi bagi paradigma integrity-based justice dalam peradilan modern.
Integritas pribadi menjadi sumber energi moral, sementara aturan, kode etik, transparansi, dan mekanisme akuntabilitas menjadi pagar yang memastikan keadilan tetap terjaga.
Keduanya saling melengkapi: karakter membentuk sistem, dan sistem menjaga karakter tetap kokoh dalam menjalankan amanah publik.
Konklusi
QS. al-Qasas [28]:26 menegaskan dua pilar integritas: kompetensi (al-qawiyy) dan amanah (al-amīn).
Keteladanan Nabi Musa AS menunjukkan kejujuran, tanggung jawab, dan komitmen moral adalah dasar setiap amanah publik.
Dalam konteks peradilan modern, nilai-nilai ini menjadi fondasi independensi, profesionalitas, dan transparansi. Integritas bukan hanya tuntutan personal, tetapi pilar utama terwujudnya sistem hukum yang bersih, terpercaya, dan berkeadilan.




