Perkembangan hukum modern menciptakan tantangan baru bagi para hakim dalam menjalankan tugas menegakkan keadilan.
Banyak permasalahan hari ini muncul dalam ranah sosial yang tidak pernah dibayangkan oleh pembentuk undang-undang sebelumnya. Ketika teks hukum positif tidak lagi cukup menjawab permasalahan tersebut, masyarakat tetap menuntut agar putusan hakim tidak sekedar benar menurut pasal, tetapi juga adil dalam makna yang lebih substantif.
Kondisi inilah yang memunculkan pertanyaan penting: “apakah hakim dapat menggunakan argumentasi maqāṣid al-syarī‘ah (tujuan-tujuan besar syariat Islam) dalam pertimbangan hukum di pengadilan modern?”
Maqāṣid al-syarī‘ah pada dasarnya merupakan kerangka filosofis yang merangkum tujuan syariat dalam menjaga lima hal mendasar, yaitu: agama, jiwa, akal, harta, serta kehormatan dan keturunan.
Konsep tersebut telah ditegaskan oleh para ulama klasik seperti Imam al-Ghazālī dan disempurnakan oleh Imam al-Syāṭibī sebagai fondasi ijtihad yang memastikan bahwa setiap hukum membawa manfaat dan menolak kemudaratan. Nilai-nilai maqasid sejatinya bersifat universal dan selaras dengan asas-asas utama hukum modern seperti perlindungan hak asasi manusia, keadilan, kemanfaatan sosial, proporsionalitas, dan pemeliharaan martabat manusia.
Di Indonesia, penggunaan nilai-nilai maqasid oleh hakim justru diatur secara tegas dalam hukum normatif. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum serta rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Ketentuan ini memberikan ruang konstitusional bagi hakim untuk menggunakan nilai-nilai universal syariat, termasuk maqasid, sebagai landasan moral dan etis ketika undang-undang tidak memadai.
Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie, struktur hukum Indonesia bersifat terbuka, sehingga hakim tidak hanya boleh tetapi wajib merujuk pada nilai-nilai keadilan substantif yang berkembang dalam masyarakat, baik bersumber dari adat, etika, maupun agama.
Keselarasan maqasid dengan asas hukum modern tampak jelas dalam konsep equality before the law. Jauh sebelum konsep equality before the law lahir di Barat, Al-Qur’an telah menegaskannya dalam beberapa surat.
Dalam QS. Al-Mā’idah ayat 8, umat diperintahkan agar tidak membiarkan kebencian menghalangi mereka berlaku adil. QS. An-Nisā’ ayat 135 memerintahkan agar keadilan ditegakkan sekalipun terhadap diri sendiri atau keluarga dekat.
Nabi Muhammad SAW bahkan menegaskan kesetaraan hukum dalam hadis yang sangat terkenal: “Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya akan aku potong tangannya.” Ini menegaskan bahwa syariat Islam tidak mengenal kelas sosial dalam penegakan hukum, sejalan dengan prinsip konstitusional modern.
Demikian pula asas in actori incumbit probatio atau beban pembuktian pada pihak yang mendalilkan, yang kini menjadi fondasi sistem peradilan modern.
Hadis Nabi SAW menyatakan: “Bukti adalah kewajiban pihak yang mendalilkan, dan sumpah bagi pihak yang mengingkari.” (HR. Tirmidzi).
Al-Qur’an dalam QS. Al-Baqarah ayat 111 menegaskan, “Tunjukkan bukti kalian jika kalian benar.” Prinsip-prinsip ini menunjukkan bahwa sistem pembuktian modern sesungguhnya telah berjalan seiring dengan prinsip syariat sejak dahulu.
Bahkan asas-asas fundamental lain dalam hukum modern memiliki padanan kuat dalam syariat. Asas nullum delictum nulla poena sine lege tercermin dalam larangan syariat menjatuhkan hukuman tanpa nash atau qarinah yang jelas.
Asas mens rea sejalan dengan hadis, “Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya.” Asas praduga tidak bersalah sejalan dengan prinsip bahwa seseorang tidak dapat dinyatakan bersalah tanpa bukti yang sah.
Indepedensi hakim ditegaskan dalam banyak hadis, termasuk sabda Nabi SAW bahwa hanya hakim yang memutus dengan kebenaran yang berada di surga. Semua ini menunjukkan adanya titik temu yang sangat kuat antara maqasid dan sistem hukum modern.
Lebih jauh, Islam memberikan perhatian yang tinggi terhadap integritas, independensi, dan ketidakberpihakan hakim.
Al-Qur’an dalam QS. An-Nisā’ ayat 58 memerintahkan, “Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, maka tetapkanlah dengan adil.” QS. Al-Mā’idah ayat 8 bahkan memperingatkan agar kebencian tidak mendorong seseorang berlaku tidak adil.
Dalam hadis sahih riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi, Nabi SAW menggambarkan beratnya tanggung jawab hakim dengan menyatakan bahwa dua dari tiga jenis hakim berada di neraka, dan yang selamat hanya hakim yang memutus berdasarkan kebenaran.
Sementara Rasulullah SAW juga bersabda bahwa Allah melaknat pemberi dan penerima suap dalam urusan hukum (HR. Ahmad).
Menurut Imam al-Māwardi, hakim adalah wakil Tuhan dalam menegakkan keadilan di bumi, sehingga integritas dan keteladanan moral menjadi syarat mutlak bagi hakim sebagai seorang penegak hukum.
Berdasarkan pijakan teologis, historis, dan normatif tersebut, penggunaan maqāṣid al-syarī‘ah sebagai pertimbangan hukum bukan hanya diperbolehkan, tetapi juga relevan dan mendukung lahirnya putusan yang benar-benar mencerminkan keadilan substantif.
Dalam ranah hukum modern yang menghadapi kompleksitas persoalan sosial, ekonomi, hingga moralitas publik, maqasid dapat berfungsi sebagai kompas etik yang membantu hakim memahami esensi keadilan di balik teks hukum.
Sejalan dengan pandangan Prof. Satjipto Rahardjo, hukum harus berpihak pada manusia, dan maqasid menyediakan nilai-nilai kemanusiaan yang mampu menghidupkan kembali semangat keadilan itu.
Pada akhirnya, marwah lembaga peradilan tidak akan pernah tegak hanya oleh bangunan megah atau aturan yang tertulis, tetapi oleh jiwa para hakim yang menjunjung integritas sebagai napas hidupnya.
Setiap palu yang diketukkan, setiap kata yang dicatatkan dalam amar putusan, adalah saksi sejarah tentang apakah keadilan benar-benar hadir atau hanya sekadar lewat di hadapan rakyat yang menaruh harapannya.
Hanya dengan keberanian untuk tidak tunduk pada tekanan, dengan ketulusan untuk tidak tergoda oleh pamrih, dan dengan istiqamah dalam menjaga kesucian sumpah jabatan, para hakim dapat memelihara kehormatan Mahkamah Agung sebagai sebuah kehormatan yang tidak diwarisi, tetapi diperjuangkan setiap hari.
Berpegang pada nilai-nilai luhur, termasuk maqāṣid al-syarī‘ah sebagai kompas moral, hakim bukan sekadar pemutus sengketa, melainkan penjaga terakhir harapan bangsa.
Dari tangan merekalah kepercayaan masyarakat lahir kembali; dari sikap merekalah hukum berdiri; dan dari keteguhan merekalah keadilan menemukan maknanya yang paling dalam di negeri ini.





