Bom Waktu Badan Atau Pejabat Tata Usaha Negara Tidak Dapat Mengajukan Peninjauan Kembali

Sesaat setelah putusan MK dibacakan, sudah mulai terdengar suara-suara kebimbangan dari beberapa PTUN yang menanyakan bagaimana sikap Mahkamah Agung
Ilustrasi administrasi pemerintahan atau tata usaha negara. Foto : Freepik
Ilustrasi administrasi pemerintahan atau tata usaha negara. Foto : Freepik

Istilah bom waktu secara metaforis digunakan untuk menggambarkan situasi/keadaan, atau masalah yang dampaknya terakumulasi dan berpotensi menyebabkan malapetaka atau masalah besar di kemudian hari. 

Dalam kasus Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak dapat mengajukan Peninjauan Kembali berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi ternyata juga mengandung potensi malapetaka atau masalah besar dikemudian hari khususnya bagi Pengadilan Pengaju yaitu PTUN.

Pada 20 Maret 2024, Mahkamah Konstitusi telah menjatuhkan putusan dalam perkara nomor 24/PUU-XXII/2024 yang menyatakan “Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha yang berbunyi, “Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, kecuali oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara”, sehingga norma Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara selengkapnya menjadi berbunyi, “Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, kecuali oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara”.

Sesaat setelah putusan MK dibacakan, sudah mulai terdengar suara-suara kebimbangan dari beberapa PTUN yang menanyakan bagaimana sikap Mahkamah Agung terhadap putusan MK tersebut, apakah mengikuti atau ada sikap lain ? Bagaimana jika ada Tergugat yang mengajukan PK, apakah tetap dikirim ke Mahkamah Agung atau seperti apa ?

Dikarenakan permintaan sikap semakin kencang, maka pada forum rapat pleno kamar Tahun 2024, Mahkamah Agung menyikapi sebagaimana yang tertuang didalam SEMA Nomor 2 Tahun 2024 tanggal 17 Desember 2024 rumusan kamar tata usaha negara yang salah satu rumusannya menyebutkan :“Badan atau pejabat tata usaha negara tidak dapat mengajukan peninjauan kembali sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XXII/2024, kecuali dalam hal :

  • ditemukannya bukti baru (novum);
  • adanya 2 (dua) atau lebih putusan berkekuatan hukum tetap (BHT) yang saling bertentangan; atau
  • mempertahankan kepentingan hak keperdataan badan atau pejabat tata usaha negara (aset negara atau daerah).“

Rumusan Pleno Kamar Mahkamah Agung tersebut bukan menafikan putusan Mahkamah Konstitusi, melainkan menyesuaikan dengan praktik hukum yang terjadi, berdasarkan asas tidak ada prinsip tanpa pengecualian, karena selama ini banyak PK dari Tergugat yang dikabulkan oleh Mahkamah Agung karena adanya ”kenakalan” oknum Penggugat. 

Sebagai contoh kasus sengketa tanah lapangan Gasibu dan sekitarnya di Kota Bandung, dimana Penggugat telah menggunakan surat-surat palsu sebagai novum yang akhirnya membuat ia dipidana berdasarkan putusan pidana berkekuatan hukum tetap. 

Jika Tergugat tidak diberikan hak untuk mengajukan PK, maka lapangan Gasibu dan sekitarnya saat ini sudah tidak dimiliki lagi oleh negara melainkan menjadi milik swasta atau perorangan.

Untuk menegaskan rumusan pleno tersebut kemudian Panitera Mahkamah Agung juga mengeluarkan surat nomor 735/PAN/HK1.2.3/IV/2024 perihal Penegasan Ulang Beberapa Ketentuan terkait pengajuan upaya hukum Kasasi/Peninjauan Kembali dimana pada poin angka 2 dijelaskan:

”Terhadap Permohonan Peninjauan Kembali, pengadilan tingkat pertama hanya berwenang menilai aspek formalitas yakni tenggang waktu pengajuan dan waktu penyampaian memori/alasan-alasan peninjauan kembali. Pengadilan tingkat pertama tidak berwenang menilai aspek substansi alasan-alasan permohonan peninjauan kembali sebagaimana ditentukan dalam Pasal 67 UU Nomor 5 Tahun 1986. Penilaian terhadap substansi alasan peninjauan kembali merupakan kewenangan Majelis Hakim Peninjauan Kembali.”

Apakah dengan adanya rumusan pleno kamar dan surat Panitera Mahkamah Agung sudah tidak ada persoalan lagi dilapangan ? Ternyata tidak.

Realitanya pengajuan peninjauan kembali oleh Tergugat tetap berdampak terhadap Pengadilan pengaju dalam hal ini Pengadilan Tata Usaha Negara. Penggugat tidak mau tahu dengan SEMA dan Surat Penitera, baginya SEMA dan Surat Panitera hanya berlaku internal dan tidak berlaku umum sehingga yang dipedomani hanyalah putusan MK.

Sikap Pengadilan pengaju yang tetap mengirim berkas PK ke Mahkamah Agung yang sesuai dengan SEMA dan Surat Panitera setidaknya diprotes oleh Penggugat. Protes akan lebih keras lagi jika permohonan Peninjauan Kembali oleh Tergugat dikabulkan oleh Mahkamah Agung, maka kemungkinan PTUN akan didemo dan yang terakhir dilaporkan kemana-mana karena dicurigai ”bermain mata” dengan Tergugat.

Keadaan tersebut tidak selesai dalam satu kali karena akan terus terjadi. Setiap kali ada pengajuan permohonan Peninjauan Kembali dari Tergugat berdasarkan tiga alasan tersebut diatas, sudah ada rasa ketar-ketir dari Pengadilan Pengaju, jangan-jangan Penggugat akan protes, demo dan melaporkan kemana-mana. Kondisi seperti ini tentunya sangat tidak nyaman bagi Pengadilan pengaju.

Itulah pentingnya mewujudkan keadilan harmoni yaitu keadilan yang serasi, selaras dan seimbang antar lembaga Penegak Hukum khususnya Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Jangan sampai lagi terjadi A menurut MK dan B menurut MA atau sebaliknya. 

Dalam kasus Pengajuan PK oleh Tergugat, MK didalam putusan nomor Nomor 24/PUU-XXII/2024 menyebutkan pada poin (3.9) sebagai berikut :

[3.9] Menimbang bahwa oleh karena permohonan a quo telah jelas, Mahkamah berpendapat tidak terdapat urgensi maupun kebutuhan untuk mendengar keterangan pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 UU MK;

Sikap tersebut sepertinya kurang tepat, karena putusan MK akan berdampak pada Badan/Pejabat TUN dan Mahkamah Agung, sehingga seharusnya MK meminta keterangan dari Mahkamah Agung dan Tergugat yaitu Badan/Pejabat TUN agar putusannya komprehensif dan dapat diterapkan dalam praktik hukum sehari-hari. 

Namun demikian nasi sudah menjadi bubur, semoga saja ada Badan/Pejabat TUN yang mau menguji ulang Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan semoga saja kelak MK mau merubah keputusannya dan membuat semua pihak menjadi lebih nyaman. Wallahua’lam bishowab.