Apakah Tenggang Waktu Pengajuan Gugatan 90 Hari ke PTUN Masih Menakutkan?

Pada dasarnya telah terjadi berbagai dinamika yang membuat terjadinya perubahan-perubahan menyangkut penghitungan tenggang waktu 90 hari,
Ilustrasi putusan pengadilan. Foto : Freepik
Ilustrasi putusan pengadilan. Foto : Freepik

Pengajuan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) memiliki tenggang waktu 90 hari sebagaimana diatur dalam Pasal 55 UU No.5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. 

Bunyi pasal 55 tersebut adalah ‘Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara’.

Pertanyaannya, apakah ketentuan tenggang waktu pengajuan gugatan 90 hari ke PTUN masih menakutkan ketika disadari gugatan memang sudah melewati 90 hari? 

Pada dasarnya telah terjadi berbagai dinamika yang membuat terjadinya perubahan-perubahan menyangkut penghitungan tenggang waktu 90 hari tersebut.

Dinamika perubahan penghitungan 90 hari mulai terjadi sejak 2015 saat dikeluarkan SEMA No. 3 Tahun 2015. 

SEMA No.3 Tahun 2015 memberikan pedoman terkait tenggang waktu pengajuan gugatan bagi pihak yang tidak dituju langsung oleh keputusan tata usaha negara (KTUN).

Bagi pihak yang tidak dituju langsung KTUN, maka perhitungan tenggang waktu dihitung sejak yang bersangkutan pertama kali mengetahui keputusan tata usaha negara yang merugikan kepentingannya.

Aturan berikutnya yang mengubah cara penghitungan 90 hari terdapat dalam PERMA Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemerintahan Setelah Menempuh Upaya Administratif. 

Pasal 5 Perma 6 Tahun 2018 mengatur bahwa ‘Tenggang waktu pengajuan gugatan di Pengadilan dihitung 90 (sembilan puluh) hari sejak keputusan atas upaya administratif diterima oleh Warga Masyarakat atau diumumkan oleh Badan dan/ atau Pejabat Administrasi pemerintahan yang menangani penyelesaian upaya administratif’.

Peraturan ini membuat penghitungan 90 hari menjadi dapat dibantarkan selama penerima keputusan tata usaha negara (KTUN) sedang dalam proses pengajuan upaya administratif. 

Misalnya, jika sebuah KTUN terbit pada 5 November 2025 dan pihak penerima KTUN mengajukan upaya administratif berupa keberatan pada 15 November 2025, maka penghitungan tenggang waktu dibantarkan sejak 15 November 2025 dan baru mulai dihitung lagi setelah upaya administratif selesai.

Namun, menyangkut Perma 6/2018 terdapat banyak model penghitungan. Terdapat Majelis Hakim yang menghitung dengan cara membantarkan seperti digambarkan di atas. 

Akan tetapi ada juga yang kembali menghitung 90 hari sejak keputusan atas upaya administratif diterima atau diumumkan.

Pada intinya tenggang waktu pengajuan gugatan merupakan kebenaran formil, tetapi dalam perkara di PTUN, yang paling penting bagi hakim adalah mencari kebenaran materiil.

Ketua Muda Tata Usaha Negara (TUN) Prof. Dr. Yulius, S.H.,M.H, juga pernah menceritakan di mana kebenaran materiil membuat kebenaran formil dikesampingkan.

Yulius mengungkapkannya dalam pembinaan kepada seluruh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha se-Indonesia melalui zoom meeting disela-sela meresmikan Mushola Al-Hakim di PTUN Denpasar, Jumat (8/8/2025).

Menurut Yulius hakim harus berani "menabrak" hukum acara jika itu dibutuhkan untuk menegakkan hukum materiil.

"Sudah banyak hasil pleno Mahkamah Agung yang menunjukkan bahwa hakim TUN harus lebih mementingkan substansi daripada formalitas," tambahnya.

Sebagai contoh, Yulius pernah menangani kasus di mana seseorang dinyatakan sebagai pemilik sah oleh hukum perdata, tetapi sertifikatnya dibatalkan karena  terlambat mengajukan kasasi di TUN. 

Yulius memutuskan untuk mengenyampingkan hukum acara demi mengembalikan hak substansi penggugat. 

YM Yulius memberikan contoh lain tentang kasus seorang pegawai yang dipecat karena tidak masuk kerja selama tiga bulan akibat hamil anak ketiga—hal yang tidak diatur dalam UU kepegawaian. 

Ia memutuskan: "Perempuan bersuami yang hamil dan memiliki anak adalah hal yang kodrati. Tidaklah benar jika negara menghukum hal yang alamiah seperti itu." Ia pun memerintahkan pegawai tersebut untuk kembali bekerja.

"Jika kaidah hukum formil sangat menghalangi tegaknya kaidah substansi, itu boleh dikesampingkan. Kembalikan ke tujuan awal hukum acara, yakni tujuan hukum acara adalah untuk menegakkan hukum materiil,” ujar Yulius dalam pembinaan tersebut.

Namun, Yulius juga mengingatkan tidak boleh sembarangan ketika hakim memutuskan menabrak hukum acara. 

Menurutnya, kepentingan menegakkan materiilnya harus lebih besar dan lebih kuat ketika hakim memilih menabrak hukum formal.

Yulius juga berharap hakim TUN bisa lebih manusiawi dan tidak menjadi "makhluk kertas" yang hanya berpedoman pada aturan formal.

“Saudara jangan pernah lupa bahwa yang kita sidangkan adalah manusia, bukan hanya kertas. Ada realitas hidup di belakangnya. Ada orang yang menangis, ada rumah yang dirobohkan, ada pegawai yang dipecat sehingga anaknya tidak makan, ada pejabat yang diberhentikan jabatannya sehingga istrinya malu dan anaknya berhenti sekolah. Ini adalah realitas kehidupan yang tidak boleh lepas dari pandangan mata hakim TUN,” ujar Yulius.