Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) memiliki peran penting dalam menyelesaikan sengketa antara warga masyarakat dan badan/pejabat pemerintah, termasuk dalam sengketa kepegawaian.
Namun, dalam praktiknya, sering kali putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap tak dilaksanakan secara sukarela oleh badan/pejabat pemerintahan. Hal ini menimbulkan beberapa masalah, termasuk menurunnya wibawa pengadilan dan redupnya kepercayaan publik.
Salah satu penyebab utama adalah ketidakpatuhan pejabat. Selain itu, proses penyelesaian sengketa yang lama, terutama dengan pemeriksaan acara biasa, sering kali membuat putusan tak dapat dieksekusi, karena Penggugat sudah memasuki Batas Usia Pensiun (BUP), masa jabatan sudah habis jangka waktunya, maupun jabatannya sudah diisi oleh orang lain.
Di samping itu, mekanisme pemeriksaan dengan acara cepat yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara beserta perubahannya (UU PTUN) hanya berlaku di tingkat pertama, sehingga proses upaya hukum banding dan kasasi tetap menyita waktu yang panjang.
Faktor lain adalah tak adanya upaya paksa seperti yang ada di peradilan umum. Eksekusi di PTUN hanya mengandalkan uang paksa dan/atau sanksi administratif, sehingga sering kali PTUN harus mengandalkan atasan tergugat hingga Presiden dan DPR RI untuk mendesak pelaksanaan putusan.
Untuk mengatasi hal ini, diperlukan pembatasan upaya hukum, sinergi antara yudikatif dan eksekutif, serta peningkatan kualitas putusan itu sendiri, yang harus didasarkan pada aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis.
Urgensi Eksekusi Putusan PTUN
Dalam eksekusi putusan PTUN, keterlibatan ketua pengadilan hanya sebatas pengawas eksekusi. Oleh karena itu, kepatuhan pejabat pemerintah atas putusan PTUN merupakan faktor utama keberhasilan eksekusi putusan.
Ketidakpatuhan pejabat pemerintah terhadap putusan pengadilan dapat dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan tak sejalan dengan konsep negara hukum.
Konsep HAM mewajibkan negara untuk memenuhi, menghormati, dan melindungi hak-hak warga negara. Oleh karena itu, pengoptimalan eksekusi putusan PTUN adalah bentuk nyata dari perlindungan HAM.
Dalam rangka mempercepat eksekusi putusan PTUN, ada beberapa langkah konkret yang dapat diambil. Pertama, peningkatan kewenangan lembaga eksekusi melalui regulasi.
Prof. Dr. Yulius, S.H., M.H. mengusulkan pembentukan Lembaga Eksekusi Negara (LEN) untuk menjalankan fungsi eksekutorial lembaga peradilan, yang bertujuan mewujudkan perlindungan hukum proporsional bagi masyarakat dan menuntut terwujudnya pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance) (Yulius, 2018).
Kedua, perlu adanya sanksi tegas bagi pejabat yang tak patuh terhadap putusan pengadilan. Pejabat yang mengabaikan putusan hakim dianggap tak menjalankan prinsip negara hukum.
Sanksi yang diusulkan mencakup sanksi administratif berat, seperti pemberhentian dari jabatan, karena pejabat yang tak melaksanakan putusan pengadilan tak layak disebut pelayan masyarakat.
Selain itu, dapat pula diterapkan sanksi pidana melalui tindak pidana contempt of court sepanjang terdapat mens rea dan unsur tindak pidana penghinaan terhadap proses peradilan, sehingga Presiden dan DPR RI perlu mempercepat pembahasan RUU tentang contempt of court.
Ketiga, peran Ombudsman RI perlu diperkuat untuk memastikan penyelenggaraan negara bebas dari maladministrasi.
Keempat, instansi yang tidak patuh terhadap eksekusi putusan tidak boleh diberi predikat WBK/WBBM dalam batas waktu yang ditentukan.
Di samping itu, partisipasi publik dan akademisi berperan strategis dalam mendorong kepatuhan pejabat terhadap putusan PTUN.
Pengawasan publik dapat memberi tekanan sosial yang kuat, sementara diskursus akademik dan eksaminasi publik berfungsi sebagai kontrol intelektual untuk memastikan pejabat tidak mengabaikan putusan.
Dengan demikian, kombinasi pengawasan sosial dan akademik menjadi faktor penentu dalam memperkuat efektivitas eksekusi putusan PTUN.
Eksekusi Putusan Sengketa Kepegawaian
Dalam konteks PTUN, putusan dengan diktum mengabulkan gugatan menjadi krusial. Setelah berkekuatan hukum tetap, putusan tersebut bersifat final dan dapat dieksekusi.
Tergugat diwajibkan membatalkan atau mencabut Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang telah ditetapkan. PTUN juga dapat mewajibkan penerbitan KTUN baru, memberikan rehabilitasi, atau ganti rugi kepada Penggugat.
Namun, dalam praktiknya, PTUN kerap menghadapi ketidakpatuhan badan/pejabat pemerintahan dalam melaksanakan putusan, termasuk dalam sengketa kepegawaian.
Prof. Dr. Supandi, S.H., M.Hum menyatakan bahwa budaya tak patuh hukum ini menimbulkan ketidakpastian hukum, merendahkan marwah pengadilan, dan melemahkan kepercayaan publik terhadap efektivitas putusan PTUN (Jiwantara & Wibowo, 2014).
Prof. Yulius menguraikan problematika eksekusi putusan PTUN dari dua sisi: norma perundang-undangan (in abstracto) dan keengganan pejabat melaksanakan putusan (in concreto). Secara struktural, lembaga eksekusi PTUN hanya mengandalkan jurusita dan pengawasan ketua pengadilan, yang kadang tak berjalan optimal.
Oleh karena itu, Prof. Yulius mengusulkan pembentukan LEN untuk menjalankan fungsi eksekutorial secara lebih efektif (Yulius, 2018).
Dalam konteks eksekusi putusan sengketa kepegawaian menghadapi beberapa problematika.
Problematika tersebut muncul karena pemeriksaan acara biasa dalam sengketa kepegawaian memakan waktu lama, sehingga saat putusan keluar Penggugat bisa sudah memasuki BUP, masa jabatan berakhir, BKN enggan mengaktifkan kembali NIP, atau jabatan sudah diisi pihak lain, sehingga putusan yang dikabulkan tidak dapat dieksekusi.
Oleh karena itu, sesuai ketentuan Pasal 117 UU PTUN, Penggugat mengajukan permohonan kompensasi, dan permohonan tersebut dikabulkan dengan beberapa perbedaan besaran nominalnya.
Penetapan Kompensasi PTUN Serang dalam perkara No. 31/G/2021/PTUN.SRG menunjukkan pemberian kompensasi kepada Penggugat yang melampaui batas maksimal Rp2.000.000 sebagaimana diatur dalam PP No. 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya pada Peradilan Tata Usaha Negara.
Berbeda dengan itu, PTUN Palangkaraya dalam perkara No. 12/G/2017/PTUN.PLK tetap “kekeh” pada ketentuan PP No. 43 Tahun 1991 dengan menetapkan kompensasi sebesar Rp2.692.000, terdiri atas Rp2.000.000 sesuai Pasal 14 PP No. 43 Tahun 1991 ditambah biaya perkara gugatan dan biaya permohonan eksekusi (Susilo, 2025).
Mengatasi problematika eksekusi putusan, perlu mekanisme pemeriksaan dengan acara cepat (speedy process), sebagaimana diatur dalam Pasal 98-99 UU PTUN, yang menetapkan jangka waktu 14 hari untuk proses jawab-menjawab dan pembuktian.
Namun, acara cepat hanya berlaku di tingkat pertama, tak di tingkat banding maupun kasasi. Sengketa kepegawaian perlu diberikan batas waktu seperti sengketa informasi publik, sengketa proses Pemilu, penilaian unsur penyalahgunaan wewenang, dan sengketa TUN tertentu agar harmonisasi durasi penyelesaian sengketa tercapai.
Bagi sengketa dengan objek upah minimum provinsi atau regional, speedy process juga penting karena bersifat einmalig.
Oleh karena itu, hakim perlu memiliki sense of crisis untuk memprioritaskan penyelesaian sengketa kepegawaian sesuai asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Pembatasan upaya hukum juga penting, seperti pembatasan kasasi dalam Pasal 45 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung beserta perubahan terakhirnya, SEMA No. 2 Tahun 2019, SEMA No. 10 Tahun 2020, dan limitasi Peninjauan Kembali berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 24/PUU-XXII/2024.
Tujuannya mencegah badan/pejabat pemerintahan mengulur waktu (buying time) dengan mengajukan upaya hukum.
Kerja sama lembaga yudikatif dan eksekutif diperlukan untuk sinergi pelaksanaan eksekusi putusan sengketa kepegawaian. Pasal 64 ayat 5 dan Pasal 66 ayat 5 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menegaskan bahwa putusan berkekuatan hukum tetap harus dilaksanakan paling lambat 21 hari kerja. Bila tak dilaksanakan, pejabat dapat dikenai sanksi administratif sedang sesuai PP No. 48 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif kepada Pejabat Pemerintahan.
Eksekusi paksa dengan aparat keamanan tak dimungkinkan di PTUN; upaya paksa terbatas pada uang paksa dan sanksi administratif. Oleh karena itu, PTUN menaruh harapan pada atasan Tergugat hingga Presiden untuk memastikan pelaksanaan putusan.
Yang tak kalah penting adalah kualitas putusan PTUN. Putusan yang baik, didasarkan pada aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis, akan memastikan keadilan, kepastian hukum, dan manfaat bagi warga masyarakat, sehingga putusan bersifat executable dan tak menjadi menang di atas kertas (blank check).
Penutup
PTUN berperan penting dalam menyelesaikan sengketa warga masyarakat dengan badan/pejabat pemerintah, termasuk sengketa kepegawaian.
Namun, praktik menunjukkan banyak putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap tidak dilaksanakan, sehingga meruntuhkan wibawa pengadilan, menurunkan kepercayaan publik, dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Problematika berupa lamanya proses beracara di peradilan, BKN tidak mau mengaktifkan kembali NIP, berakhirnya masa jabatan, hingga jabatan yang sudah diisi orang lain membuat eksekusi putusan kerap tidak efektif.
Untuk mengatasinya, perlu pembatasan upaya hukum, penerapan pemeriksaan cepat di semua tingkat, dan penguatan instrumen eksekusi melalui sanksi administratif berat maupun pidana.
Usulan pembentukan LEN, peran Ombudsman, serta diskursus akademik juga penting untuk mendorong kepatuhan pejabat.
Pada akhirnya, kualitas putusan PTUN harus ditingkatkan agar lebih executable dan mampu mewujudkan keadilan serta perlindungan hak asasi dalam negara hukum.




