Cinta Beda Agama: Ketika Hati dan Hukum Berbeda Jalan

Konsistensi penerapan hukum akan memberikan kepastian dan mencegah multitafsir di masyarakat. Apapun alasannya, aturan menegaskan bahwa pernikahan beda agama tidak dapat dilegalkan.
Ilustrasi pernikahan beda agama. Foto istimewa/radardepok.com
Ilustrasi pernikahan beda agama. Foto istimewa/radardepok.com

Cinta memang tak pandang latar belakang, termasuk perbedaan agama. Banyak kisah cinta beda keyakinan yang berakhir bahagia, namun tak sedikit pula yang terhenti di meja hukum. Di Indonesia, isu cinta beda agama bukan sekadar soal hati, tetapi juga menyentuh ranah hukum yang kompleks.

Dalam hukum nasional, pernikahan lintas agama masih menjadi polemik. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan, pernikahan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Artinya, jika dua insan beda agama ingin menikah, mereka harus terlebih dahulu menyesuaikan status agamanya. Hal ini seringkali menjadi batu sandungan, terlebih ketika cinta sudah terlalu dalam.

Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif tertinggi, memiliki tanggung jawab besar dalam menyikapi perkara-perkara yang berkaitan dengan pernikahan lintas agama. Meski bukan pembentuk undang-undang, MA memiliki peran penting dalam memberikan tafsir dan pedoman teknis yudisial kepada hakim di pengadilan tingkat pertama maupun banding. Dalam beberapa kasus, hakim dituntut untuk menyeimbangkan hukum positif dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat.

Penting bagi hakim untuk tetap objektif dan tidak terbawa arus opini publik atau tekanan sosial. Hakim harus berpijak pada aturan hukum, namun juga mampu melihat konteks sosial dan psikologis para pihak yang bersengketa. Dalam hal ini, MA diharapkan dapat terus memperbarui pedoman teknis dan pelatihan bagi para hakim, agar lebih peka terhadap persoalan-persoalan kontemporer seperti cinta beda agama.

Solusinya? Tentu bukan menyeragamkan keyakinan, tapi membuka ruang dialog antara hukum dan kemanusiaan. Pemerintah bersama pemuka agama dan ahli hukum bisa mencari jalan tengah yang tidak mengorbankan prinsip agama, namun tetap menghargai hak asasi manusia untuk mencintai dan membangun rumah tangga yang sah.

Sebagai bentuk kejelasan hukum, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 yang secara tegas melarang pencatatan pernikahan beda agama di Indonesia. SEMA ini menjadi pedoman bagi seluruh hakim untuk menolak permohonan pencatatan perkawinan yang dilakukan oleh pasangan dengan perbedaan keyakinan.

Langkah itu perlu didukung penuh, karena konsistensi penerapan hukum akan memberikan kepastian dan mencegah multitafsir di masyarakat. Apapun alasannya, aturan ini menegaskan bahwa pernikahan beda agama tidak dapat dilegalkan menurut hukum positif di Indonesia.

Penulis: Nur Amalia Abbas
Editor: Tim MariNews