Fenomena Men Marry Down dan Disparitas Status sebagai Pemicu Pecahnya Perkawinan yang Tidak Kafa’ah

Disparitas status dan tidak kafa’ahnya sebuah perkawinan, seringkali bertransformasi ke dalam dua alasan perceraian yang paling mendominasi
Ilustrasi pernikahan. Foto : Ilustrasi oleh penulis
Ilustrasi pernikahan. Foto : Ilustrasi oleh penulis

Di Indonesia, budaya patriarki sudah mengakar di setiap lapisan masyarakat sebagai akibat dari perkembangan budaya yang diwariskan secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama. 

Secara harfiah, patriarki atau patriarkat, memiliki arti sistem pengelompokan sosial yang sangat mementingkan garis keturunan bapak. 

Dalam makna kontemporer, patriarki kini dapat diartikan sebagai dominasi laki-laki dalam berbagai aspek yang kemudian menempatkan perempuan dalam posisi subordinat atau lebih rendah. 

Berdasarkan beberapa studi menyebutkan, adanya keberlanjutan dari tradisi budaya lokal atau adat (customs) yang mengandung nilai-nilai dominasi laki-laki turut menjadi salah satu faktor mengapa patriarki sulit untuk dihilangkan dari kehidupan masyarakat. 

Patriarki dan segala stigma yang mengikuti di belakangnya, menyebabkan adanya ketidaksetaraan gender dan banyak permasalahan terkait gender di Indonesia.

Awal mula budaya patriarki, disebabkan dari peperangan zaman dahulu yang ‘mengizinkan’ kekerasan, dianggap suci dengan simbol-simbol religius, dan laki-laki dianggap sebagai pahlawan sementara perempuan diminta untuk tetap tinggal di rumah. 

Seiring berjalannya waktu, patriarki kini berkembang lebih lanjut menjadi sebuah sistem dan ideologi. 

Dominasi laki-laki di kalangan masyarakat, kini bukan lagi dipandang sebagai sebuah fenomena, tetapi sebagai normalitas yang memberikan pemikiran, memang sudah seharusnya laki-laki memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada perempuan.

Salah satu output dari patriarki, adalah fenomena sosial dalam segi hukum perkawinan, yaitu fenomena men marry down. 

Men marry down, adalah kecenderungan laki-laki menikahi perempuan dengan status sosial, pendidikan, atau ekonomi di bawahnya. 

Dan hal ini menyebabkan tidak jarang pula adanya fenomena woman marrying up di mana wanita mencari atau memilih laki-laki dengan status sosial, pendidikan atau ekonomi di atasnya, sebagai efek keberlanjutan fenomena men marry down. 

Dengan demikian, muncullah disparitas atau kesenjangan sosial antara suami dan istri dalam menjalani rumah tangga. 

Disparitas status antara suami dan istri ini, tentu bertentangan (atau setidak-tidaknya mengabaikan) prinsip kafa'ah (kesetaraan atau sekufu) dalam pernikahan. 

Secara definitif, kafa`ah bisa diartikan sebagai kesetaraan derajat suami di hadapan istrinya. 

Hal tersebut sebagaimana disampaikan Mustafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha dalam Al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam al-Syâfi’i yang menjelaskan, al-kafa`ah adalah kesetaraan kondisi suami terhadap kondisi istri. 

Terdapat perbedaan signifikan antara pandangan ulama klasik dan ulama kontemporer dalam memahami kafa’ah. 

Ulama klasik dari berbagai mazhab menekankan, kesetaraan antara calon pasangan harus diperhitungkan dalam aspek ekonomi, nasab, kebebasan (bukan budak), dan bahkan profesi untuk menjaga keharmonisan rumah tangga dan status keluarga.

Sementara itu, dalam perspektif modern, banyak ulama menekankan, kafa’ah lebih berkaitan dengan kesetaraan dalam keimanan dan akhlak, bukan dalam aspek sosial-ekonomi. 

Pergeseran ini, dipengaruhi oleh perubahan sosial, pendidikan, serta perkembangan hukum Islam di berbagai negara Muslim yang semakin menekankan prinsip kesetaraan dan keadilan gender.

Dalam Fikih Islam, kafa'ah atau sekufu, bukanlah syarat sah pernikahan (syarat in'iqad), melainkan syarat kelangsungan (syarat luzum) akad. 

Artinya, pernikahan tetap sah meskipun tidak sekufu, tetapi hak untuk menuntut pembatalan (faskh) berada pada pihak perempuan atau walinya jika dirasa mudharat (bahaya) yang timbul akibat ketidaksetaraan. 

Hal tersebut, sebagaimana dijelaskan Imam Zakaria al-Anshari dalam Fathul Wahab bi Syarhi Minhaj al-Thalab, yang menyatakan pasal tentang kafa`ah yang menjadi pertimbangan dalam nikah, bukan pada soal keabsahannya.

Namun, hal tersebut merupakan hak calon istri dan wali, maka mereka berdua berhak menggugurkannya. 

Meskipun begitu, Pasal 61 Kompilasi Hukum Islam mengatur, tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaafu al-dien.

Fenomena ini menyebabkan (walaupun tidak semuanya), secara tidak langsung menghalangi tercapainya tujuan perkawinan untuk mencapai sakinah, mawaddah, wa rahmah (kedamaian, cinta, dan kasih sayang). 

Perkawinan yang tidak sekufu, awalnya dianggap sebagai sebuah romantisme, namun, dalam jangka panjang, perbedaan ini menuntut penyesuaian peran dan ekspektasi. 

Disparitas status dalam suatu perkawinan, berpotensi menjadi "bom waktu" yang meledak dan berakibat perceraian.

Transformasi Disparitas Status dan Perkawinan Tidak Kafa’ah Menjadi Alasan Perceraian

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Pasal 61 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan, tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaafu al-dien. 

Dengan telah diaturnya alasan perceraian secara spesifik dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam juncto Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka Penulis menyimpulkan, alasan tidak kafa’ahnya sebuah perkawinan yang berdiri sendiri dalam dalil gugatan, tidak dapat dijadikan sebagai alasan suatu perceraian. 

Namun, dengan semua potensi permasalahan yang muncul akibat disparitas status dan tidak kafa’ahnya sebuah perkawinan, menyebabkan adanya sebuah transformasi ke alasan perceraian yang dibenarkan oleh ketentuan hukum. 

Disparitas status dan tidak kafa’ahnya sebuah perkawinan, seringkali bertransformasi ke dalam dua alasan perceraian yang paling mendominasi, yaitu:

a. Faktor Ekonomi: Kelalaian Nafkah 

Kelalaian dalam pemenuhan nafkah, menjadi salah satu alasan perceraian di Pengadilan. Suami memiliki kewajiban untuk menanggung nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri disesuaikan dengan penghasilannya. 

Dalam perkawinan men marry down, dengan kesenjangan ekonomi yang tinggi dan adanya dependensi finansial yang besar dari istri ke suami, kegagalan atau kelalaian suami untuk memenuhi ekspektasi finansial ini menjadi masalah serius. Apalagi, jika istri tidak memiliki sumber daya ekonomi sendiri. 

Secara materiil, kegagalan pemenuhan nafkah yang menjadi ini telah diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022 - C. Rumusan Hukum Kamar Agama Tahun 2022 angka 1 huruf b.

Aturan tersebut mengatur, dalam upaya mempertahankan suatu perkawinan dan memenuhi prinsip mempersukar perceraian maka perkara perceraian dengan alasan suami/istri tidak melaksanakan kewajiban nafkah lahir dan/atau batin, hanya dapat dikabulkan jika terbukti suami/ istri tidak melaksanakan kewajibannya setelah minimal dua belas bulan.

Faktor ekonomi inlah, yang menjadi hasil transformasi disparitas status dan perkawinan tidak kafa’ah, menjadi sebuah alasan cerai gugat dari seorang istri. 

Ketidakstabilan finansial yang awalnya direlakan, kini menjadi pelanggaran kewajiban suami yang sah dijadikan alasan cerai.

b. Perselisihan dan Pertengkaran Terus-Menerus 

Perselisihan dan pertengkaran secara terus menerus, merupakan alasan perceraian terbanyak yang dijadikan dasar cerai gugat maupun cerai talak di Pengadilan di Indonesia. 

Menurut data BPS yang didapatkan dari Badan Peradilan Agama dan Mahkamah Agung Republik Indonesia, jumlah perceraian dengan alasan perselisihan dan pertengkaran secara terus menerus pada 2024, sejumlah 251.125 perkara. 

Hal ini, menjadikan alasan perceraian antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran, dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga sebagaimana diatur dalam Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam juncto Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menjadikan sebuah pasal sapu jagat yang menjadi alasan utama perceraian di Indonesia. 

Dengan begitu luasnya penjelasan, latar belakang dan alasan yang berdampak dan mengerucut pada terus-menerusnya terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga, banyak hal dan aspek yang dapat dijadikan dasar alasan perceraian ini.

Salah satunya, diakibatkan disparitas status dalam perkawinan. 

Berdasarkan analisis Penulis selama menangani perkara perceraian di Pengadilan Agama, disparitas status dan perkawinan yang tidak kafa’ah secara tidak langsung dapat memicu:

   1. Perbedaan Pola Pikir dan Nilai

Disparitas pendidikan dan status sosial menciptakan diferensial dalam mengambil keputusan, mengasuh anak, atau berinteraksi dengan lingkungan sosial. 

Suami dan istri yang kesulitan menemukan titik temu karena referensi nilai mereka berbeda akan berujung pada cekcok yang tidak berkesudahan.

   2. Kesulitan Komunikasi

Ketidaksetaraan intelektual (tidak terbatas pada gelar akademik) dapat menghambat komunikasi yang efektif. 

Dalam fenomena men marry down, suami pada jangka waktu yang tidak dapat ditentukan akan merasa tidak didukung secara mental dan intelektual, sementara istri merasa diremehkan atau diabaikan.

   3. Krisis Peran

Suami, dalam posisinya yang lebih superior, dengan sengaja maupun tidak akan bersikap otoriter atau meremehkan istri sehingga menimbulkan kekerasan psikis terhadap istri. 

Istri, merasa inferior, mungkin menjadi tidak percaya diri atau justru menuntut kompensasi atas ketidaksetaraan tersebut.

Di luar dua alasan perceraian tersebut, masih ada beberapa alasan perceraian yang dibenarkan peraturan perundang-undangan sebagai dampak dari disparitas status dan perkawinan yang tidak kafa’ah, seperti suami meninggalkan isteri atau penganiayaan berat. 

Namun, menurut pendapat pribadi Penulis, pengaruh disparitas status dan perkawinan yang tidak kafa’ah cenderung kecil terhadap alasan tersebut. 

Realitas Fenomena Men marry down di Indonesia

Dengan budaya patriarki yang masih mengakar dan sebagian besar wilayah Indonesia, perkembangan fenomena men marry down di Indonesia justru mengalami trend sebaliknya. 

Ariane J. Utomo di artikel “Marrying Up? Trends in Age and Education Gaps Among Married Couples in Indonesia” (2014) menjelaskan, dalam rentang 1980-an hingga 2010, tidak hanya usia pasangan yang semakin dekat, ternyata kecenderungan perempuan menikah dengan laki-laki berpendidikan di atasnya mengalami penurunan. 

Ariane berargumen, perubahan sosial serta semakin meratanya pendidikan untuk laki-laki dan perempuan berperan dalam fenomena perempuan “marrying down” di Indonesia. 

Sepanjang periode 1982-2010, proporsi pasangan yang istrinya mengenyam pendidikan tinggi daripada suaminya naik dari 10 persen ke angka 19 persen.

Akan tetapi, di tahun 2025 justru muncul anomali menarik, di mana banyak isteri yang diangkat menjadi PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) di beberapa instansi di berbagai daerah di Banten, Jawa Barat hingga Jawa Timur mengajukan gugatan cerai usai mendapat surat Surat Keputusan PPPK. 

Sebagai contoh, fenomena ini terjadi di Pandeglang, Banten. Dinas Pendidikan, Kepemudaan, dan Olahraga (Dindikpora) Pandeglang mencatat ada 50 orang guru yang mengajukan gugatan perceraian terhadap pasangannya. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan tahun sebelumnya.

Berdasarkan logika berpikir di artikel ini, seharusnya dengan meningkatnya status seorang istri (jabatan dan finansial), dapat “meng-kafa’ah-kan” sebuah perkawinan serta memperkuat rumah tangga, namun justru malah sebaliknya. 

Ternyata, kafa’ah dalam hal status jabatan dan finansial, menimbulkan ketimpangan baru. 

Suami-istri yang sebelumnya menemukan titik temu dalam menjalankan rumah tangga dengan segala kekurangan dan kelebihan masing-masing, kini merasa berada di jalur yang berbeda. 

Waktu, perhatian, dan energi yang dulu diprioritaskan untuk keluarga, mulai terbagi ke dalam urusan dinas, pelatihan, pergaulan baru, dan tuntutan profesionalisme.

Berdasarkan penelitian Gillian Parker, CS (2022) dalam jurnal Why women choose divorce: An evolutionary Perspective menjelaskan:

“With women’s greater earnings comes less interdependence between partners. This could change women’s willingness to tolerate annoyances in their marriage by altering their welfare trade-off ratio (i.e. the willingness to sacrifice personal welfare to increase partner’s welfare). This framework predicts that many women will be less willing to tolerate unsatisfying treatment from their partners d and more willing to escalate conflicts – because they are in a better position to walk away.” 

Berdasarkan penelitian tersebut, Penulis mengambil kesimpulan naiknya status seorang istri akan menjadikan istri cenderung tidak menoleransi perlakuan tidak memuaskan dari suaminya dan justru lebih cenderung meningkatkan konflik, karena naiknya status istri memberikan ‘modal’ dan posisi yang lebih baik untuk meninggalkan suaminya. 

Meskipun begitu, analisis dalam artikel ini, tidak dapat disama ratakan ke dalam semua kondisi rumah tangga di Indonesia, karena kehidupan perkawinan suami istri yang kompleks tidak dapat dilihat hanya lewat satu atau dua point of view saja. 

Dalam bingkai hukum, kita bisa sepakat, perkawinan memerlukan fondasi yang kokoh dan seimbang (kafa'ah), namun apabila ditemukan adanya disparitas di dalamnya diharapkan cepat menemukan titik temu yang membuat sebuah rumah tangga tetap harmonis. 

Mengabaikan keseimbangan ini demi alasan apa pun, sama saja dengan sengaja menanam benih yang bertransformasi sebagai alasan perceraian yang suatu saat akan dipanen di meja hijau.

Penulis: Fakhir Tashin Baaj
Editor: Tim MariNews