Dimensi Teologis dan Yuridis Julukan ‘Wakil Tuhan’ bagi Hakim dalam Sistem Peradilan

Julukan ini muncul dari pandangan hakim merupakan pihak yang diberi kewenangan untuk memutus perkara dengan adil, sebagaimana keadilan Tuhan
Ilustrasi hakim agung. Foto : freepik.com
Ilustrasi hakim agung. Foto : freepik.com

Dalam wacana hukum dan etika kehakiman di Indonesia, istilah “wakil Tuhan di bumi” sering disematkan kepada hakim sebagai simbol tanggung jawab luhur dalam menegakkan hukum dan keadilan. 

Julukan ini muncul dari pandangan hakim merupakan pihak yang diberi kewenangan untuk memutus perkara dengan adil, sebagaimana keadilan Tuhan yang menjadi sumber nilai moral tertinggi. 

Hakim diharapkan tidak hanya menegakkan hukum secara formal, tetapi menghadirkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang bersifat substantif. Oleh karena itu, posisi hakim seringkali ditempatkan dalam kedudukan yang mulia, bahkan sakral, sebagai perpanjangan tangan Tuhan dalam mewujudkan keadilan di muka bumi.

Penggunaan istilah “wakil Tuhan” tidak lepas dari perdebatan teologis, etis, dan yuridis. 

Secara teologis, muncul pertanyaan apakah manusia, dalam hal ini hakim, layak disematkan sebagai wakil Tuhan, mengingat kesempurnaan hanya milik Tuhan semata. 

Sementara itu, dari sisi etis dan yuridis, julukan ini berpotensi menimbulkan implikasi terhadap cara pandang hakim terhadap kewenangannya. Jika tidak dimaknai secara proporsional, sebutan ini dapat menimbulkan kesan absolutisme kekuasaan kehakiman, yang justru bertentangan dengan prinsip keadilan, objektivitas, dan akuntabilitas hukum.

Dalam konteks sistem peradilan khususnya di Indonesia, hakim memiliki kedudukan yang diatur secara tegas dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan. 

Hakim adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari intervensi, namun tetap terikat pada hukum, kode etik, dan prinsip pertanggungjawaban moral. Oleh sebab itu, pemaknaan istilah “wakil Tuhan” perlu ditempatkan dalam kerangka yang seimbang antara nilai-nilai teologis dan norma-norma yuridis.

Dimensi Teologis

Dalam perspektif teologis konsep hakim sebagai “wakil Tuhan” berakar pada pandangan, di mana keadilan merupakan sifat dan kehendak Ilahi yang harus diimplementasikan dalam kehidupan manusia. 

Tuhan dalam berbagai kitab suci merupakan sebagai sumber keadilan tertinggi (al-‘Adl), sementara manusia sebagai khalifah di muka bumi, berkewajiban untuk menegakkan keadilan sesuai dengan kemampuan dan batas-batas kemanusiaannya. 

Dalam konteks ini, hakim menjalankan fungsi moral dan spiritual yang sangat penting, yaitu menghadirkan keadilan Tuhan dalam ranah sosial dan hukum melalui keputusan yang jujur, objektif, dan bertanggung jawab.

Dalam syariat Islam, keadilan merupakan prinsip utama dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam proses penegakan hukum. Al-Qur’an berulang kali menegaskan perintah menegakkan keadilan tanpa memandang kepentingan pribadi, kelompok, atau pun tekanan sosial. 

Dalam QS. An-Nisa’ [4]: 58, dinyatakan; “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kamu menetapkannya dengan adil.” Ayat ini menegaskan keadilan adalah amanah Tuhan yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Sosok hakim, menjadi pihak yang memikul amanah tersebut secara langsung.

Pandangan teologis ini melahirkan pemahaman hakim bukanlah “wakil Tuhan dalam arti ontologis, melainkan dalam pengertian moral dan fungsional. Hakim bukan menggantikan posisi Tuhan, melainkan meneladani sifat-sifat keadilan Ilahi dalam menjalankan tugasnya. 

Julukan “wakil Tuhan” seharusnya dimaknai secara simbolik, sebagai pengingat akan tanggung jawab spiritual yang melekat pada jabatan hakim. Hakim diharapkan memiliki integritas, kejujuran, dan kebijaksanaan yang mencerminkan nilai-nilai ketuhanan, tanpa mengklaim otoritas mutlak atas kebenaran.

Dalam konteks ini, nilai-nilai teologis berfungsi sebagai dasar etik bagi hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan. Setiap putusan yang dijatuhkan bukan hanya sekadar hasil penalaran rasional atas norma hukum, melainkan juga cerminan dari nurani dan tanggung jawab moral di hadapan Tuhan Yang Maha Agung. 

Dengan demikian, dimensi teologis menempatkan hakim sebagai sosok yang tidak hanya berorientasi pada legal justice (keadilan hukum), tetapi juga pada divine justice (keadilan Ilahi) yang menjadi sumber utama legitimasi moral dalam penegakan hukum dan keadilan.

Dimensi Yuridis

Secara yuridis, kedudukan hakim dalam sistem peradilan Indonesia diatur secara tegas dalam konstitusi, 

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 24 Ayat (1) menegaskan “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.” 

Rumusan ini menegaskan dua hal pokok. Pertama, hakim memegang kekuasaan kehakiman secara mandiri; kedua, tujuan utama kekuasaan tersebut adalah menegakkan hukum dan keadilan secara seimbang.

Kemandirian hakim dalam menjalankan fungsi yudisial dijamin dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 3 Ayat (1) menyebutkan “dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.” Artinya secara hukum, hakim bukan wakil dari lembaga manapun, melainkan pelaksana kekuasaan negara yang berdiri sendiri, bebas dari pengaruh pihak luar, dan bertanggung jawab hanya demi hukum, hati nuraninya dan kepada Tuhan, sehingga putusan sebagai mahkotanya harus memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Dengan demikian, istilah “wakil Tuhan” dalam konteks yuridis tidak dapat dimaknai sebagai legitimasi absolut terhadap kekuasaan hakim, melainkan sebagai simbol tanggung jawab moral dalam menjalankan amanat konstitusi. 

Kekuasaan kehakiman sejatinya dijalankan berdasarkan prinsip independensi, imparsialitas, dan akuntabilitas, bukan atas dasar klaim Ilahi yang tidak terkendali. 

Hakim memang diharapkan meneladani nilai-nilai ketuhanan dalam menegakkan keadilan, tetapi secara hukum positif, hakim tetap tunduk pada norma-norma yang diatur oleh peraturan perundang-undangan dan kode etik profesi hakim. 

Lebih lanjut, melalui Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) menegaskan hakim wajib menjunjung tinggi nilai-nilai integritas, kejujuran, kebijaksanaan, dan tanggung jawab. Prinsip-prinsip ini sejalan dengan nilai teologis yang menempatkan hakim sebagai penjaga amanah keadilan. 

Namun, dari sisi yuridis, nilai tersebut harus dioperasionalkan dalam bentuk perilaku profesional dan penerapan hukum yang objektif. Dengan demikian, tugas hakim bukan untuk memposisikan dirinya sebagai perwujudan Tuhan di muka bumi, melainkan sebagai penegak hukum dan keadilan yang menjalankan mandat konstitusional dengan menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan secara etis dan rasional.

Dalam praktik peradilan, hakim dituntut untuk menafsirkan dan menerapkan hukum secara adil, proporsional, dan sesuai dengan hati nurani. Akan tetapi, hati nurani tersebut tidak dapat berdiri sendiri tanpa dasar hukum yang jelas. 

Oleh karena itu, keseimbangan antara dimensi yuridis dan teologis menjadi penting, agar hakim tidak terjebak pada legalisme kaku di satu sisi, maupun subjektivitas moral di sisi lain. 

Dalam kerangka hukum positif Indonesia, hakim berfungsi bukan sebagai “wakil Tuhan” secara teologis, melainkan sebagai “wakil negara dan konstitusi” yang bertugas mewujudkan keadilan yang mencerminkan nilai-nilai Ilahi dalam batas-batas hukum yang berlaku.

Analisis dan Sintesis

Julukan “wakil Tuhan” bagi hakim pada hakikatnya lahir dari upaya menegaskan peran moral dan spiritual hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan. Akan tetapi, penggunaan istilah tersebut seringkali menimbulkan ambiguitas, baik dari segi makna maupun implikasinya dalam praktik hukum. 

Dari satu sisi, istilah tersebut meneguhkan pandangan tugas hakim adalah suci dan bernilai ibadah, karena berkaitan langsung dengan nasib, hak, dan kehormatan manusia di hadapan hukum. 

Namun di sisi lain, jika tidak dimaknai secara proporsional, julukan tersebut berpotensi menimbulkan kesalahpahaman yang dapat melahirkan sikap absolut, merasa tidak dapat digugat, atau bahkan menimbulkan kesan superioritas moral di atas pihak lain.

Secara teologis, konsep “wakil Tuhan” harus dimaknai secara simbolik dan fungsional, bukan literal. Hakim tidak memiliki sifat ketuhanan, tetapi dituntut meneladani nilai-nilai keadilan Ilahi dalam menjalankan kewenangannya. 

Dalam pandangan Islam, manusia adalah khalifah fi al-ardh (wakil Tuhan di bumi) dalam pengertian bertanggung jawab atas amanah dan pengelolaan kehidupan dunia secara adil dan benar. Artinya, hakim sebagai bagian dari manusia memiliki tanggung jawab moral untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan nilai-nilai Ilahi, namun tetap dalam keterbatasan dan ketidaksempurnaan sebagai makhluk.

Sementara itu, secara yuridis, kekuasaan kehakiman dalam sistem hukum Indonesia tidak bersifat mutlak. Hakim terikat oleh hukum, asas-asas keadilan, serta prinsip akuntabilitas publik. 

Dalam hal ini, sebutan “wakil Tuhan” tidak boleh dijadikan dasar legitimasi bagi penyalahgunaan kewenangan. 

Kekuasaan kehakiman merupakan bagian dari sistem negara hukum (rechtstaat), di mana setiap tindakan dan putusan hakim harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, etik, dan moral. 

Dengan demikian, hakim bukan pemegang kebenaran mutlak, tetapi pelaksana hukum yang harus memastikan keadilan tidak hanya bersifat prosedural, melainkan juga substantif.

Dari analisis ini dapat disintesiskan makna “wakil Tuhan” bagi hakim harus dipahami sebagai bentuk idealisme moral yang melekat pada jabatan kehakiman, bukan sebagai kedudukan metafisis yang menempatkan hakim di atas hukum. 

Dimensi teologis memberikan arah nilai, sementara dimensi yuridis memberikan batas dan mekanisme kontrol. Keduanya harus berjalan seiring: ‘nilai ketuhanan memberi jiwa pada hukum, dan hukum memberi kerangka pada nilai-nilai tersebut agar tidak berubah menjadi kekuasaan yang sewenang-wenang’. 

Dengan keseimbangan ini, hakim dapat menjalankan perannya secara utuh, sebagai pelaksana hukum yang berkeadilan dan sebagai pribadi yang berintegritas, bertanggung jawab di hadapan hukum, masyarakat, dan Tuhan Yang Maha Esa.

Penutup

Julukan “wakil Tuhan” bagi hakim merupakan ekspresi simbolik yang mengandung makna moral, spiritual, dan filosofis yang dalam.

Secara teologis, istilah tersebut mencerminkan tanggung jawab luhur seorang hakim untuk menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana keadilan Tuhan yang menjadi sumber nilai tertinggi. 

Hakim diharapkan mampu meneladani sifat-sifat ketuhanan seperti kejujuran, kebijaksanaan, dan keadilan dalam setiap putusannya. Namun demikian, secara yuridis, hakim tetaplah manusia biasa yang menjalankan fungsi konstitusional dalam sistem hukum yang memiliki batas-batas normatif, etik, dan prosedural. 

Kekuasaan kehakiman yang dimiliki bukanlah otoritas Ilahi, melainkan mandat negara yang harus dijalankan dengan integritas dan akuntabilitas tinggi.

Istilah “wakil Tuhan” harus dimaknai secara proporsional bukan dalam pengertian ontologis, melainkan etis dan fungsional. 

Hakim tidak menggantikan Tuhan dalam menegakkan keadilan, tetapi berperan sebagai pelaksana nilai-nilai ketuhanan dalam kerangka hukum positif. 

Keseimbangan antara dimensi teologis dan yuridis inilah yang menjadi landasan bagi tegaknya sistem peradilan yang adil, bermartabat, dan berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan yang berkeadilan.

Daftar Bacaan

Amran Suadi. (2019). Filsafat dan etika profesi hakim dalam penegakan hukum di Indonesia. Prenadamedia Group.
Bagir Manan. (2009). Etika hakim dan penegakan keadilan. Mandar Maju.
Mukti Arto. (2017). Prinsip-prinsip dan asas-asas peradilan yang baik bagi hakim Indonesia. UII Press.
Departemen Agama Republik Indonesia. (2010). Al-Qur’an dan terjemahannya. Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an.

Penulis: Al Fitri
Editor: Tim MariNews