Wetboek van strafrecht (Wvs) yang diberlakukan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan translate dari KUHP Belanda yang dibentuk tahun 1881 dan diberlakukan pada tahun 1886.
Artinya, KUHP positif kita yang dipakai sebagai substansi operasionalisasi penegakan hukum pidana di Indonesia merupakan copy paste KUHP yang dibuat dengan situasi dan kondisi abad 19.
Hukum itu mengikuti peradaban manusia. Sehingga, sangat logis jika terdapat legal gaps antara hukum yang dibentuk pada abad 19 dan diterapkan untuk kehidupan pada abad ke-21. Lebih dari itu, hukum pada dasarnya adalah refleksi dari nilai-nilai sosiokultural sebuah bangsa.
Sehingga, penerapan suatu aturan hukum dari suatu bangsa belum tentu cocok jika diterapkan di bangsa lain. Hal ini sejalan dengan pendapat Robert B Seidman (1982) yang mencetuskan teori “The law of nontransferability of law” yang mengemukakan bahwa hukum suatu negara tidak serta merta dapat dialihkan/diterapkan pada negara lainnya karena setiap negara memiliki kompleksitas yang berbeda terkait nilai, budaya, sosial-politik, dan ekonomi.
Oleh sebab itu, KUHP positif kita pada dasarnya memiliki dua problema yakni ketertinggalan peradaban dan disorientasi nilai yang dilatarbelakangi perbedaan kondisi sosio-kultural antara materi dari substansi KUHP dibentuk (Belanda) dengan dimana substansi KUHP diterapkan (Indonesia).
Di Belanda sendiri, KUHP lama yang ditranslate menjadi KUHP positif sekarang ini sudah diubah secara signifikan untuk menyesuaikan dengan perkembangan teori hukum pidana kontemporer dan dinamika zaman.
KUHP positif yang dibentuk pada abad ke-19 cenderung beraliran pidana klasik yang mengutamakan pendekatan retributif dimana penegakan hukum pidana dimobilisasi dengan menekankan pada nilai pembalasan. Penegakan hukum pidana diorkestrasi untuk memberikan penjeraan pada pelaku tindak pidana melalui fungsionalisasi pidana penjara.
Oleh sebab itu, sanksi pidana penjara secara substansi maupun praktis kemudian diletakkan dalam posisi sentral dan arus utama dalam penegakan hukum pidana.
Konstruksi berpikir yang dibangun bahwa pidana penjara adalah solusi utama untuk optimalisasi fungsi hukum pidana guna menegakkan ketertiban. Penjeraan melalui perampasan kemerdekaan di penjara dianggap sebagai kunci utama untuk menegakkan ketertiban dan perlindungan pada masyarakat karena perampasan kemerdekaan dapat membuat orang jera dan membuat orang lain takut untuk meniru melakukan tindak pidana karena akibatnya adalah penjara.
Implikasi praktisnya, penjatuhan sanksi pidana penjara menjadi preferensi utama dalam menegakkan hukum pidana sehingga berimplikasi dalam melahirkan residu-residu masalah seperti terenggutnya asumsi keadilan publik terhadap kasus-kasus ringan serta over capacity lembaga pemasyarakatan/rumah tahanan yang berderivasi dalam melahirkan masalah-masalah sistemtik seperti prisonisasi dan disfungsi peran pemasyarakatan sehingga praktik kejahatan terus berulang bahkan berkoloni membentuk jaringan.
Merujuk data dari Direktorat Jenderal Kementrian Imipas bahwa situasi overcapasity lembaga pemasyarakatan/rumah tahanan di Indonesia per Juli 2025 mencapai 93%.
Kapasitas lapas/rutan di Indonesia untuk kuota 146.260 oang namun realitasnya dihuni oleh 281.762 orang. Konstruksi pidana penjara sebagai sarana sentral dalam penegakan hukum pidana merupakan akar dari problematika laten tersebut.
Oleh sebab itu, KUHP Nasional yang baru yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 yang mulai berlaku 2 Januari 2026 mendatang kemudian merekonstruksi dengan melakukan reposisi terhadap konstruksi pidana penjara yang tidak lagi menjadi sentral dalam penegakan hukum pidana.
Pidana penjara dikenakan hanya terhadap kejahatan berat sedangkan terhadap kejahatan yang ancaman hukumannya 5 tahun ke bawah pidana penjara berfungsi sebagai subsidaritas sehingga lebih diutamakan untuk dikenakan sanksi pidana lainnya.
Hal ini berbeda dengan konstruksi pidana penjara dalam KUHP positif dimana kejahatan apapun orientasi pidana penjara selalu diutamakan.
Reposisi Pidana Penjara
Pertama, diterapkan permaafan hakim, Pasal 54 ayat (2) KUHP Nasional. Menurut Pasal 54 ayat (2) KUHP Nasional: Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu dilakukan Tindak Pidana serta yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.
Ketentuan ini dikenal dengan asas rechterlijke pardon atau judicial pardon yang memberi kewenangan kepada hakim untuk memberi maaf pada seseorang yang bersalah melakukan tindak pidana yang sifatnya ringan.
Pemberian maaf ini dicantumkan dalam putusan hakim dan tetap harus dinyatakan bahwa terdakwa terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
Kedua, pengutamaan sanksi pidana yang lebih ringan jika tindak pidana diancam pidana pokok secara alternatif, Pasal 57 KUHP Nasional. Dalam hal Tindak Pidana diancam dengan pidana pokok secara alternatif, penjatuhan pidana pokok yang lebih ringan harus lebih diutamakan, jika hal itu dipertimbangkan telah sesuai dan dapat menunjang tercapainya tujuan pemidanaan.
Ketiga, pidana penjara sedapat mungkin tidak dijatuhkan jika terdapat faktor dan kondisi sebagaimana tertuang dalam Pasal 70 KUHP Nasional.
Dengan tetap mempertimbangkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 sampai dengan Pasal 54, pidana penjara sedapat mungkin tidak dijatuhkan jika ditemukan keadaan: a. terdakwa adalah anak; b. terdakwa berumur di atas 75 (tujuh puluh lima) tahun; c. terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana; d. kerugian dan penderitaan korban tidak terlalu besar; e. terdakwa telah membayar ganti rugi kepada korban; f. terdakwa tidak menyadari bahwa tindak pidana yang dilakukan akan menimbulkan kerugian yang besar; g. tindak pidana terjadi karena hasutan yang sangat kuat dari orang lain; h. korban tindak pidana mendorong atau menggerakkan terjadinya tindak pidana tersebut; i. tindak pidana tersebut merupakan akibat dari suatu keadaan yang tidak mungkin terulang lagi; j. kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan tindak pidana yang lain; k. pidana penjara akan menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa atau keluarganya; l. pembinaan di luar lembaga pemasyarakatan diperkirakan akan berhasil untuk diri terdakwa; m. penjatuhan pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi sifat berat tindak pidana yang dilakukan terdakwa; n. tindak pidana terjadi di kalangan keluarga; dan/ atau o. tindak pidana terjadi karena kealpaan.
Keempat, penerapan pidana tutupan menggantikan pelaksanaan pidana penjara. Menurut Pasal 74 KUHP Nasional, orang yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara karena keadaan pribadi, perbuatannya dapat dijatuhi pidana tutupan.
Keadaan pribadi disini adalah karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati.
Kelima, penerapan pidana denda menggantikan pelaksanaan pidana penjara. Menurut Pasal 71 KUHP Nasional, jika seseorang melakukan tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana penjara di bawah 5 (lima) tahun, sedangkan hakim berpendapat tidak perlu menjatuhkan pidana penjara setelah mempertimbangkan tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan orang tersebut dapat dijatuhi pidana denda.
Keenam, penerapan pidana pengawasan menggantikan pelaksanaan pidana penjara. Merujuk Pasal 75 KUHP Nasional, terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dapat dijatuhi pidana pengawasan dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 sampai dengan Pasal 54 dan Pasal 70.
Ketujuh, penerapan pidana kerja sosial menggantikan pelaksanaan pidana penjara. Merujuk Pasal 85 KUHP Nasional, pidana kerja sosial dapat dijatuhkan kepada terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara kurang dari 5 (lima) tahun dan hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
Perumusan pidana pengawasan, tutupan dan kerja sosial sendiri tidak diatur secara khusus dalam rumusan delik karena merupakan cara pelaksanaan pidana penjara.
Artinya, pelaksanaan pidana penjara dapat disubsidaritaskan dengan pengenaan pidana pengawasan, tutupan, kerja sosial, dan juga termasuk denda. Hal tersebut pada dasarnya merupakan bentuk reposisi pidana penjara yang tidak lagi menjadi pendekatan sentral dan arus utama dalam penegakan hukum pidana.