Meneguhkan Integritas Hakim di Tengah Disrupsi Digital: Refleksi atas Nilai-Nilai Pancasila

Di era digital, e-Court dan e-Litigasi membawa kemajuan luar biasa bagi transparansi peradilan, namun juga menimbulkan tantangan baru.
Ilustrasi palu hakim. dok. Freepik
Ilustrasi palu hakim. dok. Freepik

Bagi peradilan agama, nilai-nilai Pancasila menjadi pedoman moral dalam meneguhkan peran strategisnya dalam menjaga keadilan di tengah masyarakat. 

Sebagai lembaga yang dekat dengan kehidupan keluarga, pengadilan agama memiliki tanggung jawab besar memastikan nilai-nilai Pancasila tercermin dalam setiap putusan. 

Di era digital, e-Court dan e-Litigasi membawa kemajuan luar biasa bagi transparansi peradilan, namun juga menimbulkan tantangan baru seperti manipulasi bukti digital, tekanan opini publik, dan ancaman siber. 

Data Peradilan Agama MA RI, menunjukkan target pengguna e-court tahun 2025 sebesar 80% perkara peradilan agama diajukan melalui sistem e-Court. 

Hal tersebut, menunjukkan pergeseran besar dalam tata kelola peradilan. Dalam konteks ini, integritas dan moralitas hakim menjadi penentu utama tegaknya keadilan yang beradab.

Pancasila bukan sekadar dasar negara, tetapi fondasi moral dan panduan etis bagi setiap penyelenggara kekuasaan kehakiman. Lima silanya mengandung nilai-nilai universal yang menuntun hakim dalam menegakkan hukum yang tidak hanya sah secara yuridis, tetapi juga adil secara substansial dan bermartabat secara kemanusiaan. 

Nilai ketuhanan yang maha esa mengingatkan tugas hakim, bukan semata pekerjaan teknis, melainkan amanah moral dan spiritual. 

Setiap putusan yang dijatuhkan sejatinya, merupakan bentuk pertanggungjawaban tidak hanya kepada masyarakat dan konstitusi, tetapi juga kepada Tuhan. 

Hal ini dikarenakan, setiap hakim harus menjaga hati nurani, agar tidak tertutup oleh kepentingan duniawi, politik, maupun materi.

Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, mengajarkan hukum bukanlah alat kekuasaan, melainkan sarana memuliakan martabat manusia. 

Hakim dituntut memahami konteks sosial dari perkara yang dihadapi, menyelami penderitaan dan harapan para pencari keadilan, serta menghadirkan putusan yang tidak sekadar kaku pada bunyi pasal, tetapi menyentuh nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat. 

Sementara nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, memberikan arah keadilan tidak boleh bersifat elitis, eksklusif, atau berpihak pada kekuatan ekonomi dan politik tertentu. 

Keadilan harus hadir sebagai kenyataan sosial yang dapat dirasakan semua lapisan masyarakat, terutama oleh yang lemah dan tidak memiliki akses terhadap sumber daya hukum 

Dalam kerangka itu, hakim tidak sekadar la bouche de la loi (corong undang-undang) yang menyuarakan teks hukum secara mekanis, melainkan penjaga nurani bangsa yang menafsirkan hukum dengan kebijaksanaan dan rasa keadilan. 

Integritas personal menjadi benteng utama bagi hakim dalam menjaga kemandirian dan kehormatannya. Dirinya harus terbebas dari intervensi politik, tekanan ekonomi, maupun opini publik yang dibentuk oleh arus media sosial.

Hakim yang berpegang teguh pada nilai-nilai Pancasila akan mampu menyeimbangkan tiga tujuan hukum klasik kepastian, keadilan, dan kemanfaatan sosial dalam satu kesatuan yang harmonis. 

Kepastian hukum menjadi kerangka, keadilan menjadi jiwa, dan kemanfaatan sosial menjadi tujuan akhir dari setiap putusan. 

Dengan demikian, penerapan nilai-nilai Pancasila dalam integritas hakim, bukan hanya memperkuat marwah peradilan, tetapi juga menegaskan kembali fungsi kehakiman sebagai penjaga moral bangsa dan pelindung kemanusiaan.

Tantangan Era Disrupsi Digital

Transformasi digital peradilan melalui sistem e-court dan e-litigasi merupakan lompatan besar menuju pelayanan hukum yang efisien, transparan, dan modern. 

Namun, di balik kemudahan ini tersimpan tantangan baru yang tidak kalah kompleks. Hakim tidak lagi hanya berhadapan dengan alat bukti konvensional, melainkan juga bukti elektronik yang rentan dimanipulasi, data pribadi yang rawan bocor, serta algoritma kecerdasan buatan (AI) yang dapat mengandung bias tersembunyi. 

Dalam konteks ini, literasi digital menjadi kebutuhan esensial bagi setiap hakim. Hakim wajib memahami cara kerja teknologi, menilai keaslian bukti digital, serta menegakkan prinsip fair trial di ruang sidang virtual. 

Misalnya, tangkapan layar percakapan daring atau rekaman digital harus diuji tidak hanya dari sisi formil apakah sesuai dengan ketentuan UU ITE, tetapi juga secara materiil apakah bukti tersebut benar mencerminkan kebenaran substantif yang tidak direkayasa?

Tantangan lain, dari pemanfaatan kecerdasan buatan dalam proses administrasi peradilan. 

Meskipun AI dapat membantu mengefisienkan penjadwalan sidang atau analisis dokumen, penggunaan, tanpa kendali etis justru berpotensi menggerus nilai-nilai kemanusiaan. 

Di sinilah peran Pancasila sangat vital sebagai kompas moral yang menuntun arah transformasi digital peradilan. 

Nilai ketuhanan mengingatkan keadilan, tidak boleh dikorbankan demi efisiensi nilai kemanusiaan yang adil dan beradab menegaskan pentingnya menjaga martabat para pencari keadilan di ruang digital. 

Sedangkan nilai keadilan sosial mengharuskan teknologi digunakan memperluas akses keadilan bagi semua, bukan hanya bagi mereka yang melek teknologi. 

Maka, integritas dan kebijaksanaan hakim, adalah benteng terakhir agar teknologi tetap menjadi pelayan keadilan, bukan penguasanya. Di tengah derasnya disrupsi digital, hakim yang berpegang teguh pada nilai-nilai Pancasila, wajib menyeimbangkan antara kepastian hukum, keadilan moral, dan kemanfaatan sosial.

Makna Refleksi nilai nilai Pancasila

Nilai nilai Pancasila mengandung pesan mendalam bahwa kekuatan moral adalah benteng terakhir bangsa. 

Pancasila bukan hanya ideologi politik, tetapi juga sumber etika profesi, terutama bagi para hakim yang memikul tanggung jawab menjaga keadilan di tengah perubahan zaman. 

Dalam konteks peradilan, nilai nilai itu tercermin pada keteguhan integritas, kemandirian nurani, dan keberanian menegakkan hukum meski menghadapi tekanan dari berbagai arah. 

Bagi seorang hakim, meresapi nilai yang terkandung dalam Pancasila artinya berani menolak intervensi, baik yang datang dari kekuasaan, kepentingan ekonomi, maupun desakan opini publik. 

Hakim yang berjiwa Pancasila tidak mudah goyah oleh trial by social media atau tekanan politik sesaat, karena memahami putusannya bukan sekadar untuk memuaskan publik, melainkan untuk menegakkan keadilan sejati. 

Sebagaimana ditegaskan oleh Hamdan Zoelva (2015), hakim yang berpijak pada nilai-nilai Pancasila akan mampu menjaga marwah peradilan sebagai benteng keadilan terakhir di Indonesia. 

Dalam diri hakim, nilai ketuhanan menumbuhkan kesadaran spiritual bahwa setiap putusan adalah pertanggungjawaban kepada Tuhan. 

Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab menuntun agar setiap perkara diputus dengan empati dan keseimbangan. Sedangkan persatuan Indonesia dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat menjadi fondasi agar hukum tidak menjadi alat pemecah, melainkan perekat bangsa. 

Di tengah derasnya arus algoritma digital, big data, dan viralitas opini publik, nilai Pancasila menjadi rem moral yang meneguhkan hakim agar tidak kehilangan arah. 

Teknologi boleh mengambil alih sebagian tugas administratif, tetapi nurani dan kebijaksanaan hakim tetap tidak tergantikan. Integritas bukan sekadar sikap pribadi, tetapi juga cermin keimanan dan loyalitas terhadap konstitusi moral bangsa.

Dengan demikian, refleksi atas nilai-nilai Pancasila bagi seorang hakim, bukan sekadar seruan moral, melainkan panggilan nurani untuk terus meneguhkan integritas dan kebijaksanaan di tengah arus digital yang serba cepat, terbuka, dan penuh godaan pragmatisme.

Hakim yang berjiwa Pancasilais, akan selalu sadar keadilan sejati tidak lahir dari algoritma dan sistem digital, tetapi tumbuh dari kejernihan hati, ketulusan niat, dan kebijaksanaan moral dalam menegakkan hukum yang berkeadilan.

Penutup

Era digital membawa peluang besar sekaligus ujian berat bagi hakim. Namun dengan berpegang pada nilai-nilai Pancasila hakim dapat meneguhkan integritas dan moralitasnya di tengah arus disrupsi. 

Menjaga Pancasila berarti menjaga keadilan dan menjaga keadilan artinya menegakkan kembali marwah peradilan sebagai benteng terakhir nurani bangsa. Teknologi boleh berkembang, tetapi nurani dan kebijaksanaan hakim tetap menjadi penentu arah keadilan sejati.

Penulis: Aman
Editor: Tim MariNews