Posisi Strategis dan Tantangan Hukum Penetapan Nasab Anak Syubhat
Penetapan nasab anak dalam hukum Islam memiliki posisi strategis karena menyentuh langsung hak-hak keperdataan, seperti waris, nafkah, perwalian, dan identitas hukum. Salah satu doktrin penting dalam penetapan nasab adalah wath’u bi syubhat-hubungan seksual yang terjadi karena kekeliruan hukum (legal mistake) yang dapat ditoleransi secara syar‘i.
Doktrin tersebut, membedakan anak hasil hubungan syubhat (al-walad bi al-syubhah) dari anak zina (walad al-zinā), sehingga tidak semua anak di luar perkawinan sah otomatis dikualifikasikan sebagai anak zina (Az-Zuhayli 2013).
Secara fikih, wath’u bi syubhat adalah hubungan seksual tanpa akad nikah sah maupun fasid, namun dilakukan dengan keyakinan bahwa hubungan tersebut halal, misalnya karena salah identifikasi pasangan atau ketidaktahuan status hukum pernikahan. Berbeda dari zina yang dilakukan dengan kesadaran akan keharamannya, wath’u bi syubhat mengandung unsur kekeliruan yang dimaafkan (al-jahl al-ma‘fū) sehingga dapat melahirkan akibat hukum, termasuk penetapan nasab.
Dalam hukum positif Indonesia, istilah “anak syubhat” tidak disebut eksplisit. UU No. 1 Tahun 1974 hanya mengenal anak sah (Pasal 42) dan anak luar kawin (Pasal 43). Melalui Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010, anak luar kawin dapat memiliki hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya bila dibuktikan secara ilmiah atau dengan alat bukti sah. Namun, putusan ini belum mengatur secara khusus anak hasil wath’u bi syubhat yang pembuktiannya tidak semata berdasar kebenaran biologis, melainkan konstruksi hukum syubhat sebagaimana fikih.
Kondisi ini menimbulkan regulatory gap yang berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum dan disparitas perlindungan anak. Dalam praktik, anak yang sah menurut hukum Islam karena lahir dari hubungan syubhat kerap dikualifikasi sebagai anak biologis dengan hak terbatas, bertentangan dengan asas kepastian hukum (Pasal 28D ayat (1) UUD 1945), asas non-diskriminasi, dan prinsip best interest of the child dalam UU No. 35 Tahun 2014 maupun CRC.
Doktrin Wath’u bi Syubhat sebagai Dasar Yuridis
Dalam konstruksi hukum Islam, Wahbah az-Zuhayli mendefinisikan wath’u bi syubhat sebagai hubungan seksual yang tidak tergolong perzinaan dan tidak berlandaskan akad nikah yang sah maupun fasid, tetapi berlangsung akibat kekeliruan yang secara syar‘i dapat dimaafkan, seperti namun tidak terbatas pada kesalahan persepsi yang membuat seseorang menyangka lawan jenisnya adalah pasangan sahnya (az-Zuhayli, 2013: 246). Secara konseptual, syubhat dipahami sebagai suatu keadaan yang memiliki kemiripan dengan kebenaran normatif, namun secara substansial tidak memenuhi hakikat kebenaran itu sendiri.
Berdasarkan konstruksi doktrinal tersebut, terminologi anak syubhat secara yuridis merujuk pada individu yang dilahirkan dari suatu hubungan seksual yang-dalam perspektif hukum Islam-tidak dapat dikualifikasikan sebagai perzinaan murni (zinā mahḍ), namun juga tidak bersumber pada ikatan pernikahan yang memenuhi persyaratan hukum, baik dalam bentuk pernikahan yang sah (ṣaḥīḥ) maupun cacat hukum (fasid).
Elemen esensial yang membedakan adalah adanya error in ius (kekeliruan dalam hukum) yang dapat dimaafkan secara syar'i, sehingga menciptakan diskrepansi substantif dengan tindakan zina yang dilaksanakan dengan itikad buruk. Dengan demikian, status hukum anak syubhat secara prima facie berbeda secara dengan anak zina (walad al-zinā), khususnya karena adanya unsur kekeliruan yang secara hukum dapat ditoleransi dalam hubungan kausal yang melahirkannya.
Perbedaan Zina, Wath’u bi Syubhat, dan Nikah Fasid/Batil
Dalam terminologi hukum Islam, zina dipahami sebagai hubungan seksual yang dilakukan di luar ikatan perkawinan sah secara syar‘i, tanpa adanya unsur syubhat al-‘aqd (praduga sah akad). Karakter hukum zina bersifat ekstra matrimonial, sehingga tidak melahirkan konsekuensi hukum di bidang keperdataan, baik terkait nasab, hak waris, maupun hak-hak keluarga lainnya. Karena merupakan pelanggaran berat terhadap kehormatan dan tatanan sosial, zina dikenai sanksi ḥadd berupa seratus kali cambukan, sebagaimana diatur secara tegas dalam QS. al-Nūr ayat 2.
Sementara itu, wath’u bi syubhat adalah hubungan seksual yang terjadi akibat kekeliruan yang dapat ditoleransi menurut syariat, seperti salah identifikasi pasangan atau ketidaktahuan status hukum pernikahan. Dalam perspektif hukum pidana Islam, perbuatan ini tidak dikenakan sanksi ḥadd berdasarkan kaidah al-ḥudūd tudra’u bi al-shubuhāt (sanksi pidana gugur karena adanya unsur syubhat), meskipun tetap digolongkan sebagai perbuatan haram (Al-Maqdisi 1969). Adapun nikah fāsid adalah akad perkawinan yang mengandung cacat hukum namun masih menimbulkan akibat hukum terbatas, sedangkan nikah bāṭil adalah akad perkawinan yang tidak sah sama sekali menurut kesepakatan para ulama.
Konstruksi Yuridis Penetapan Nasab Anak Syubhat
Mayoritas ulama (jumhūr al-fuqahā) berpendapat, wath’u bi syubhat dapat menjadi dasar penetapan nasab, karena dalam perbuatan tersebut melekat unsur praduga sah (ẓann mu‘tabar) pada pihak pelaku. Apabila anak lahir setelah jangka waktu sekurang-kurangnya enam bulan sejak terjadinya hubungan syubhat, maka nasabnya dapat secara sah disandarkan kepada pelaku, tanpa mensyaratkan adanya pembuktian unsur syubhat dari pihak perempuan (Al-Haskhifiy 2002). Pandangan ini dianut pula oleh Imam al-Syafi‘i dan Imam Abu Hanifah.
Menurut Imam Aḥmad bin Ḥanbal, setiap hubungan seksual yang terbebas dari penerapan sanksi ḥadd karena adanya unsur syubhat (wathʾ bi al-shubhat) menimbulkan konsekuensi hukum berupa kewajiban penyandaran nasab kepada pelaku. Landasan filosofis utama doktrin ini adalah adanya keyakinan subjektif pelaku terhadap kehalalan hubungan tersebut, sehingga secara yuridis perbuatan tersebut dipersamakan dengan nikah fāsid dalam hal akibat hukumnya, khususnya terkait penetapan status anak.
Dengan demikian, doktrin ini secara tegas membedakan antara senggama syubhat dengan zina, karena zina secara inheren tidak disertai niat maupun keyakinan akan keabsahan hubungan tersebut.
Menurut penulis, untuk saat ini pendapat jumhur ulama dan Imam Ahmad bin Hanbal dalam menetapkan nasab anak syubhat merupakan pandangan yang paling kompatibel dengan nilai-nilai keadilan, perlindungan hak anak, dan prinsip maqāṣid al-syarī‘ah. Keduanya tidak hanya memperkuat posisi anak dalam struktur hukum keluarga Islam, tetapi juga menjamin perlindungan hukum yang holistik di tengah dinamika sosial dan perkembangan teknologi pembuktian dewasa ini. Oleh karena itu, pendekatan ini layak dijadikan pijakan normatif dan yudisial dalam sistem hukum Islam kontemporer, khususnya dalam perkara penetapan asal-usul anak di pengadilan agama.
Kerangka Normatif dan Tantangan Perlindungan Hukum Anak Syubhat
Meskipun istilah “anak syubhat” tidak disebut secara eksplisit, pengakuannya secara substantif tercermin dalam UU Perkawinan, KHI, UU Perlindungan Anak, dan putusan Mahkamah Konstitusi. Pasal 42 UU Perkawinan menetapkan anak sah sebagai yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan sah, sementara Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 memperluas makna anak luar kawin untuk dapat memiliki hubungan keperdataan dengan ayah biologis.
UU Perlindungan Anak menjamin hak atas identitas hukum dan asal-usul, sedangkan Pasal 103 KHI mengatur mekanisme pembuktian asal-usul anak, termasuk melalui penetapan pengadilan jika tidak tersedia akta kelahiran, dengan mempertimbangkan pengakuan, bukti administratif atau digital, serta bukti medis.
Dalam praktik, pengakuan dan perlindungan hukum terhadap anak syubhat masih menghadapi hambatan struktural dan sosiologis. Secara sosio-kultural, stigma masyarakat kerap menyamakan anak syubhat dengan anak zina, meskipun keduanya memiliki implikasi hukum berbeda.
Dari sisi hukum formil, kesulitan pembuktian hubungan keayahan dan ketidakjelasan status perkawinan-terutama pada kasus nikah sirri-menjadi kendala utama. Di ranah yudisial, kekeliruan konseptual sering terjadi, di mana anak yang sah menurut fikih justru dikualifikasikan sebagai “anak biologis”, sehingga hak-hak keperdataannya terabaikan.
Perbedaan status ini memunculkan disparitas perlindungan: anak sah memperoleh hak penuh, termasuk waris, nafkah, hadhānah, dan wilāyah; sedangkan anak biologis hanya berhak terbatas. Dikotomi ini melahirkan perlakuan diskriminatif yang bertentangan dengan asas non-discrimination dan prinsip best interest of the child sebagaimana diamanatkan dalam CRC.
Untuk menjamin perlindungan hukum yang optimal bagi anak syubhat, diperlukan reformulasi regulasi yang lebih adaptif terhadap konstruksi fikih kontemporer. Pertama, perlu dilakukan revisi Kompilasi Hukum Islam atau penyusunan peraturan pelaksana khusus yang secara eksplisit mengatur definisi, kriteria, dan prosedur penetapan nasab anak syubhat, termasuk pengakuan terhadap wath’u bi syubhat sebagai dasar yuridis penetapan nasab. Kedua, sistem pembuktian dalam perkara asal-usul anak perlu diperluas dengan memasukkan unsur syubhat sebagai substitute evidence yang diakui hukum, di samping pembuktian biologis.
Ketiga, aparat penegak hukum, khususnya hakim pengadilan agama, perlu diberikan pedoman teknis dan pelatihan yang memadai untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi hubungan syubhat secara tepat, guna menghindari kesalahan terminologi yang dapat merugikan hak-hak anak. Keempat, diperlukan upaya sosialisasi dan edukasi publik untuk menghilangkan stigma sosial terhadap anak syubhat, sehingga prinsip kesetaraan hak anak dapat terwujud secara substantif.
Dengan langkah-langkah tersebut, harmonisasi antara prinsip maqāṣid al-syarī‘ah dan sistem hukum nasional dapat dicapai, sekaligus memperkuat perlindungan hak anak dalam kerangka hukum keluarga Islam di Indonesia.