Penetapan Nasab Anak dari Pernikahan Tidak Sah: Konstruksi Fikih dan Tantangan Hukum Nasional

Diperlukan evaluasi normatif terhadap struktur regulasi yang belum adaptif terhadap dinamika sosial dan konstruksi fikih kontemporer, khususnya terkait perlindungan hak anak dari pernikahan tidak sah.
Ilustrasi perlindungan anak . Foto depositphotos.com/
Ilustrasi perlindungan anak . Foto depositphotos.com/

Problematika Yuridis Pernikahan Tidak Sah

Salah satu persoalan fundamental dalam hukum pernikahan adalah eksistensi bentuk-bentuk perkawinan yang tidak memenuhi unsur esensial/rukun (arkān) dan persyaratan hukum (syarṭ) sebagaimana diatur secara normatif, sehingga memiliki status invalidity (ketidakabsahan) secara yuridis. Dalam diskursus fikih klasik, konstruksi pernikahan demikian diklasifikasikan ke dalam kategori nikah fāsid (defective marriage) dan nikah bāṭil (void marriage).

Walaupun terminologi tersebut tidak memiliki padanannya secara eksplisit dalam sistem hukum positif Indonesia, realitas praktik pernikahan semacam ini secara substantif bertentangan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 juncto Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam (KHI), sekaligus merupakan pelanggaran terhadap ketentuan larangan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 8–10 Undang-Undang Perkawinan dan Pasal 39-44 KHI.

Namun secara empirik, masih dijumpai praktik pernikahan yang bertentangan dengan ketentuan syarʿī dan regulasi hukum nasional, seperti pernikahan tanpa wali mujbir, tanpa pencatatan resmi, atau dalam keadaan terlarang (masa ʿiddah dan antar maḥram). Kondisi ini menimbulkan kompleksitas yuridis terkait validitas pernikahan, hak-hak sipil pasangan, serta legalitas nasab anak.

Ketidakpastian status hukum tersebut, berdampak pada jaminan perlindungan hukum (legal protection) dan pengakuan administratif (administrative recognition) sebagai dasar pemenuhan hak-hak konstitusional anak.

Distingsi Konseptual antara Nikah Fāsid dan Nikah Bāṭil 

Dalam diskursus hukum Islam, jumhūr al-fuqahāʾ sepakat, tidak terdapat distingsi substantif antara akad nikah bāṭil dan fāsid, karena keduanya termasuk kategori akad yang tidak memenuhi syarat keabsahan syar‘i (ghayr ṣaḥīḥ). Mazhab Hanafiyah mengadopsi pandangan tersebut secara konsisten dalam kerangka metodologi istinbāṭ-nya.

Namun, dalam praktik yurisprudensial, kedua istilah tersebut kerap digunakan secara bergantian (interchangeably) untuk menegaskan oposisi terhadap status keabsahan akad nikah yang sah (ṣaḥīḥ).

Nikah fāsid dalam konstruksi fikih diartikan sebagai akad pernikahan yang mengalami cacat hukum (fasad) pada dalam aspek prosedural atau pelengkap, di mana keabsahannya menjadi locus disputandum antarmazhab fikih. Contohnya meliputi nikah tanpa saksi, dalam keadaan ihrām, tanpa wali sah, atau dalam bentuk nikah syighār. Dalam pandangan mazhab Ḥanafī dan Mālikī, beberapa bentuk nikah fāsid tersebut, masih diakui keabsahannya atau setidaknya dapat diremediasi secara yuridis melalui kompensasi hukum tertentu sehingga memungkinkan konversi ke bentuk akad nikah yang ṣaḥīḥ.

Adapun istilah nikah bāṭil merujuk pada akad pernikahan yang cacat secara substansial pada rukun pokoknya dan telah disepakati keharamannya oleh seluruh mazhab. Termasuk dalam kategori ini adalah pernikahan dengan perempuan yang masih berstatus istri orang lain, perempuan yang telah ditalak tiga (ṭalāq mughallaẓ), perempuan yang berada dalam masa iddah, serta perempuan yang termasuk maḥram karena hubungan nasab, persusuan, atau persemendaan, dan pernikahan dengan istri kelima yang melampaui batas maksimal poligami. Semua bentuk ini tergolong mujma‘ ‘alā buṭlānihi (disepakati kebatilannya) dan tidak menimbulkan akibat hukum sejak awal akad. (Wizarat al-Awqaf wa asy-Syu’un al-Islamiyah – al-Kuwait 1983: jilid. 8, h. 121)

Implikasi Nikah Fasid dan Batil terhadap Penetapan Nasab

Dalam doktrin hukum Islam, akad nikah yang diperselisihkan keabsahannya antarmazhab (nikāḥ mukhtalaf fīh)-seperti tanpa wali, tanpa saksi, dalam keadaan ihrām, atau bentuk syighār—tetap dapat menimbulkan akibat hukum jika telah terjadi hubungan suami istri (dukhūl), antara lain kewajiban iddah dan penetapan nasab anak. Mazhab Hanabilah bahkan menganggap cukup adanya khalwah yang sah untuk menetapkan akibat hukum tersebut, dengan alasan akad tersebut memperoleh legitimasi melalui penetapan hakim (qaḍāʾ al-qāḍī), sehingga dianggap menyerupai akad sah (ashbah al-ṣaḥīḥ) (Wizarat al-Awqaf wa asy-Syu’un al-Islamiyah - al-Kuwait 1983: Jilid 8, h. 123).

Dalam perspektif yurisprudensi Malikiyah, setiap bentuk akad nikah yang terhindar dari sanksi ḥudūd akibat adanya syubḥat (ambiguitas hukum) tetap meniscayakan penetapan nasab anak yang terlahir kepada pihak laki-laki pelaku persetubuhan (wāṭi’). Sebaliknya, apabila hubungan intim tersebut termasuk dalam kategori perbuatan zina yang dikenai ḥudūd (hukuman pidana yang ditetapkan secara tetap dalam syariat Islam) karena unsur kesengajaan dalam melanggar ketentuan syar'i mengenai keabsahan akad, maka status nasab anak tidak dapat dinisbatkan kepada pelaku. (Muḥammad bin Aḥmad Ibn Juzay al-Gharnāthī (w. 741 H), 2013: 364). 

Dalam pandangan jumhur fuqaha, pernikahan yang disepakati keharamannya (al-mujma‘ ‘alā fasādih), tetap dapat menimbulkan akibat hukum apabila telah terjadi hubungan badan (wathʾ) yang disertai unsur syubhat, yakni ketidaktahuan yang objektif terhadap keharaman akad. Dalam konteks ini, berlaku kewajiban masa iddah dan penetapan nasab anak kepada laki-laki yang melakukan hubungan tersebut.

Ketentuan tersebut, mencakup pernikahan yang dilarang secara mutlak, seperti dengan perempuan yang masih dalam masa iddah, berstatus istri orang lain, atau termasuk maḥram. Prinsip ini didasarkan pada kaidah fikih: “Kullu nikāḥin yasqutu bihi al-ḥadd yutsbat bihi al-nasab” bahwa setiap pernikahan yang menggugurkan sanksi ḥudūd (karena adanya syubhat) menjadi pijakan sahnya penetapan nasab. (Wizarat al-Awqaf wa asy-Syu’un al-Islamiyah - al-Kuwait 1983: Jilid 8, h. 123–124).

Wahbah az-Zuḥaylī menegaskan hal serupa, bahwa apabila terdapat unsur syubhat-yakni kekeliruan atau ketidaktahuan yang dapat dibenarkan secara syar‘i terkait keharaman suatu akad pernikahan-maka penerapan sanksi pidana (ḥadd) menjadi gugur, sesuai dengan kaidah fikih darʾal-ḥudūd bi al-shubuhāt (penghindaran ḥudūd karena adanya keraguan).

Dalam kondisi demikian, penetapan nasab anak (itsbāt al-nasab) tetap sah secara yuridis, karena hubungan tersebut masuk dalam kategori wath’u bi al-syubhat atau hubungan badan karena kesalahan yang ditoleransi hukum.

Contoh yurisprudensialnya ialah kasus pernikahan seorang laki-laki dengan bibi dari istrinya, yang dilangsungkan tanpa pengetahuan akan larangan syar‘i terhadap bentuk hubungan tersebut. Dalam situasi seperti ini, pandangan dominan dalam delapan mazhab menyatakan, nasab anak yang lahir dari hubungan tersebut tetap dapat disandarkan kepada suami, dengan pertimbangan bahwa hubungan seksual yang terjadi dikategorikan sebagai wath’u bi syubhat (persetubuhan karena kekeliruan hukum), yang secara yuridis menempatkan perempuan dalam kedudukan firas-yakni status semu sebagai istri-yang cukup menjadi dasar untuk menetapkan nasab meskipun tidak ada akad sah yang mengikat secara penuh (Wahbah az-Zuḥaylī, 2013: Jilid 13, h. 605).

Dalam doktrin hukum Islam, syubhat al-‘aqd-yakni keraguan yuridis yang timbul dari keberadaan suatu akad pernikahan-merupakan konsep yang diperkenalkan secara eksplisit oleh Imam Abū Ḥanīfah, Sufyān al-Tsaurī, dan Zufar bin al-Huḏail. Validitas syubhat dalam konteks ini tidak ditentukan oleh status ḥalāl atau ḥarām materiil dari hubungan tersebut, melainkan oleh keberadaan struktur akad yang secara formal memenuhi unsur-unsur minimal dalam pernikahan, baik rukun maupun bentuk ijab kabul.

Oleh karena itu, konsep ini berlaku universal baik dalam perkara yang disepakati keharamannya (mujma‘ ‘alayh) maupun yang masih menjadi objek khilaf (ikhtilāfī), tanpa mempertimbangkan kondisi subjektif pelaku.

Urgensi Reformulasi Hukum Positif terhadap Status Anak dalam Pernikahan Tidak Sah

Secara yuridis, meskipun fikih Islam telah merumuskan konsepsi hukum terhadap pernikahan fāsid dan bāṭil, termasuk mekanisme penetapan nasab melalui syubhat al-‘aqd dan wath’ bi al-syubhat, namun sistem hukum positif Indonesia belum sepenuhnya mengakomodasi konstruksi normatif tersebut.

Tidak terdapat norma eksplisit dalam Undang-Undang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang secara rinci mengatur status keperdataan anak hasil pernikahan tidak sah, khususnya terkait nasab. Kekosongan regulatif ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan diskriminasi yuridis, serta bertentangan dengan asas legal certainty dan perlindungan hak anak dalam sistem hukum nasional.

Dengan demikian, diperlukan evaluasi normatif terhadap struktur regulasi yang belum adaptif terhadap dinamika sosial dan konstruksi fikih kontemporer, khususnya terkait perlindungan hak anak dari pernikahan tidak sah. Reformulasi hukum melalui revisi KHI atau regulasi turunan secara khusus menjadi urgensi konstitusional untuk mengakomodasi konsep syubhat dalam penetapan nasab.

Reformasi tersebut seyogianya berorientasi pada prinsip ḥifẓ al-nasl sebagai basis normatif, dengan pendekatan maqāṣid al-syarī‘ah dalam penyusunan norma hukum yang inklusif, progresif, dan berkeadilan, demi menjamin status hukum anak tidak tereliminasi oleh kesalahan prosedural pernikahan orang tuanya.

Penulis: Rifqi Qowiyul Iman
Editor: Tim MariNews