Ketua MA Isi Kuliah Umum di Udayana: Bahas Integritas Profesi Hukum

Tanggung jawab profesi hukum, tidak hanya terbatas pada klien, tetapi juga pada masyarakat dan sistem peradilan secara keseluruhan.
Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. H. Sunarto, S.H., M.H. memberikan sambutan dan kuliah umum pada Senin (30/6) di Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar. Foto YouTube MA
Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. H. Sunarto, S.H., M.H. memberikan sambutan dan kuliah umum pada Senin (30/6) di Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar. Foto YouTube MA

MARINews, Denpasar-Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, menyelenggarakan kuliah umum bertemakan “Membangun Integritas dan Tantangan Etika Profesi Hukum Di Era Society”, dengan salah satu narasumber Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. H. Sunarto, S.H., M.H. pada Senin (30/6) di Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar.

Ketua MA dalam sambutannya menyampaikan bahwa tema yang diangkat oleh panitia mencerminkan betapa besarnya tantangan yang dihadapi profesi hukum di Era Society 5.0. Sehingga dia berharap, Fakultas Hukum Universitas Udayana (FH Unud) tidak hanya berkontribusi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, namun juga menanamkan nilai-nilai integritas bagi para mahasiswa yang akan memilih karir pada profesi hukum.

Sunarto mengatakan, profesi hukum merupakan pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus yang memiliki asosiasi profesi, kode etik, dan proses sertifikasi yang khusus.

Profesi hukum dimaknai sebagai pekerjaan yang berkaitan dengan penerapan, penegakan, dan pelayanan hukum kepada masyarakat. Profesi ini mencakup hakim, jaksa, polisi, advokat, notaris, dan lain-lain, yang semuanya memiliki kode etik profesi.

Dalam sambutannya disampaikan, Era Society 5.0 ini, juga ditandai dengan integrasi teknologi canggih, seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence), internet untuk segalanya (internet of things), big data, dan robotika, dengan keahlian manusia, untuk meningkatkan kesejahteraan. Sehingga pada Era Society 5.0, teknologi digunakan untuk mengatasi masalah sosial dan meningkatkan kualitas hidup manusia. 

Dalam paparannya, Prof. Sunarto mengutip pandangan sejumlah ahli mengenai peran teknologi dalam reformasi sistem peradilan. Berikut adalah tiga perspektif kunci yang disorot:

1. Richard Susskind (1996): Dalam bukunya "The Future of Law," Susskind telah memprediksi pergeseran paradigma dari layanan peradilan konvensional ke layanan berbasis teknologi.

2. Adriaan Bedner (2008): Bedner mengidentifikasi adanya pola suap di lembaga peradilan untuk mempercepat proses kasus. Ia mengusulkan solusi penggunaan teknologi untuk memerangi praktik suap ini.

3. Dory Reiling (2009): Reiling mengidentifikasi tiga masalah universal di pengadilan seluruh dunia, yaitu keterlambatan penyelesaian perkara, kurangnya akses keadilan, dan korupsi. Menurutnya, ketiga masalah ini dapat diselesaikan melalui penerapan teknologi di pengadilan.

Poin-poin ini menunjukkan bahwa penggunaan teknologi bukan sekadar inovasi, tetapi juga solusi strategis untuk meningkatkan efisiensi dan integritas peradilan.

 "Ketiga tokoh tersebut, memberikan ‘warning’ kepada kita soal urgensi pemanfaatan teknologi dalam sistem pelayanan peradilan,” pungkasnya.

Dengan hadirnya Era Society 5.0, maka warga dunia sedang mengalami situasi dan tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya, yaitu munculnya perkembangan teknologi, khususnya kecerdasan buatan, di tengah tantangan dinamika ekonomi, sosial, dan politik global yang juga sulit diprediksi.

Dia juga mengingatkan tantangan bagi profesi hukum di Era Society 5.0 adalah, penggunaan teknologi dalam pelayanan peradilan. Tantangan tersebut, membawa dampak besar, karena saat ini ketersediaan data sangat mudah diperoleh oleh masyarakat, apalagi ditunjang dengan kemampuan komunikasi yang instan, dan akses yang lebih mudah terhadap informasi hukum. Sehingga mendorong perubahan besar dalam praktik hukum, dan mau tidak mau, mengharuskan para profesional hukum untuk beradaptasi dengan teknologi baru.

Dia pun menyebut kalau perkembangan teknologi telah membuka efisiensi dan keterbukaan dalam proses peradilan, namun juga membawa tantangan baru dalam menjaga integritas dan etika profesi hukum. Karena teknologi digunakan menjadi sarana untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan yang hakiki, bukan sebaliknya menjadi alat manipulasi.

Untuk itu, tanggung jawab profesi hukum, tidak hanya terbatas pada klien, tetapi juga pada masyarakat dan sistem peradilan secara keseluruhan. Profesi hukum harus memahami proses bisnis teknologi yang digunakan, dan harus selalu update dengan etika digital yang menjadi bagian dari pengembangan profesional.

Turut hadir dalam kuliah umum tersebut yakni Ketua Kamar Perdata Mahkamah Agung, Rektor Universitas Udayana, Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana, para Guru Besar Universitas Udayana, para pejabat pada Universitas Udayana, para mahasiswa, dan tamu undangan.

Penulis: Andy Narto Siltor
Editor: Tim MariNews