Hukum Sebagai Mercusuar Harapan

Semua itu dimulai dengan kesadaran, bahwa hukum hidup bukan di ruang rapat, tetapi di hati nurani, yang mendengar tangisan dan menjawabnya dengan keadilan.
Ilustrasi keadilan hukum. Foto depositphotos.com/
Ilustrasi keadilan hukum. Foto depositphotos.com/

Ketika keadilan jadi barang langka dan derita menjadi bahasa umum, muncullah pertanyaan mendalam Dimanakah posisi hukum dalam pusaran ketidakadilan, yang terus berulang? Di tengah jeritan kaum tertindas dan suara yang tidak kunjung didengar, hukum terkadang tampak diam.

Sistemik berarti meluas, berakar, dan menyebar ke banyak lapisan. Ketidakadilan sistemik, bukan semata kesalahan individu, melainkan kesalahan dalam rancangan dan pelaksanaan sistem yang telah lama bertahan. Dalam sistem seperti itu, hukum bisa menjadi alat pembenar, bukan penolong.

Lihat bagaimana ketimpangan ekonomi, berlangsung secara legal. Pemilikan tanah yang timpang, penggusuran dengan dasar hukum, relokasi paksa atas nama proyek nasional, atau akses ke pendidikan dan kesehatan kelas bagus, yang hanya tersedia bagi sebagian orang. Semua sah secara prosedur, namun menindas secara moral.

Contoh lain hadir dalam dunia perburuhan. Banyak pekerja dibayar di bawah standar, bekerja tanpa perlindungan, dan sulit memperjuangkan haknya, karena perangkat hukum lebih berpihak pada pemilik modal. Ketika regulasi dibuat, segelintir elite, maka hukum menjadi jaring laba-laba, kuat menjerat yang lemah dan rapuh di hadapan penguasa.

Hukum seharusnya menjadi penyeimbang, bukan penjaga status quo. Dalam sistem yang timpang, netralitas hukum justru jadi keberpihakan terselubung. Tidak memihak kepada korban, berarti membiarkan pelaku tetap merajalela. Keadilan sejati, menuntut keberanian untuk berpihak pada yang terpinggirkan.

Ketika hukum tidak mampu menjawab jeritan rakyat kecil, kepercayaan runtuh. Masyarakat perlahan menjauh lembaga hukum, karena merasa yang dicari tidak kunjung hadir. Di sinilah ketimpangan, menjadi warisan dari generasi ke generasi.

Namun, hukum tidak dilahirkan menjadi pelayan kekuasaan. Dalam hakikat terdalamnya, hukum pancaran dari nilai-nilai luhur. Nilai-nilai kasih, keadilan, dan tanggung jawab. Jika dijalankan dengan hati nurani, hukum dapat membongkar ketimpangan dan menyembuhkan luka sejarah.

Setiap pasal, seharusnya bukan sekadar teks beku di atas kertas. Bentuknya harus jadi jembatan, antara penderitaan dan harapan, antara yang dilupakan dan pengakuan. Di titik ini, tugas hukum, bukan hanya menertibkan, tetapi juga menebus dan menata kembali yang rusak.

Ketidakadilan sistemik, tidak akan pernah sirna, hanya dengan hukum yang steril dari realitas sosial. Dibutuhkan keberanian, mereformasi sistem, mengubah arah, dan menghidupkan kembali semangat luhur, yang pernah menjadi dasar hukum pertama kali ditata, yakni mengangkat derajat manusia.

Dalam perspektif iman, hukum adalah amanah. Ia bukan instrumen kekuasaan, tetapi titipan Tuhan menegakkan kemaslahatan. Maka siapapun, yang menjadi pengemban hukum, hendaknya sadar bahwa setiap keputusan, bukan hanya berhadapan dengan pasal, tetapi  penghakiman moral, yang lebih tinggi.

Seperti langit menatap bumi, hukum harus mampu melihat, yang kecil dan besar dengan lensa sama. Ketika hukum terlalu akrab, dengan kekuasaan dan terlalu jauh dari penderitaan, maka yang tumbuh bukan keadilan, melainkan frustasi sosial membara.

Oleh sebab itu, penataan hukum, bukan hanya tugas teknokratik, melainkan misi spiritual. Ia mengandung kesadaran, setiap perangkat aturan, menyentuh kehidupan nyata dan hidup manusia, adalah tempat nilai harus dibumikan.

Setiap pembuat, pelaksana dan penafsir hukum, memikul tanggung jawab untuk memastikan bahwa hukum, tidak menjadi alat tirani. Ia harus menjadi mercusuar harapan di tengah gelapnya ketimpangan.

Posisi hukum tidak boleh berada di atas manusia, tetapi bersama manusia. Hukum harus berjalan di sisi rakyat, memberi perlindungan, dan menegakkan harkat kemanusiaan. Hukum yang benar, adalah hukum yang dirasakan adil, bukan hanya dibenarkan oleh prosedur.

Dengan demikian, ketidakadilan sistemik, hanya dapat dilawan oleh hukum yang berani menyentuh akar. Bukan menambal luka permukaan, tetapi dengan membongkar bangunan yang pincang. Semua itu dimulai dengan kesadaran, bahwa hukum hidup bukan di ruang rapat, tetapi di hati nurani, yang mendengar tangisan dan menjawabnya dengan keadilan.

Penulis: M. Khusnul Khuluq
Editor: Tim MariNews