Hukum Digital vs Institusi Klasik: MA di Era Blockchain & AI

Istilah seperti blockchain dan kecerdasan buatan (AI) kini mulai masuk ke dalam percakapan hukum, menantang cara lama dalam menegakkan keadilan.
Ilustrasi hukum digital. Foto ; Freepik
Ilustrasi hukum digital. Foto ; Freepik

Perkembangan teknologi digital tak lagi bisa diabaikan, bahkan oleh institusi yang selama ini dikenal kaku dan formal seperti pengadilan. 

Istilah seperti blockchain dan kecerdasan buatan (AI) kini mulai masuk ke dalam percakapan hukum, menantang cara lama dalam menegakkan keadilan. 

Masyarakat pun mulai bertanya-tanya: apakah Mahkamah Agung (MA) siap menghadapi era ini?

Fenomena ini terlihat dari meningkatnya kasus-kasus yang berkaitan dengan aset digital, transaksi berbasis blockchain, hingga penggunaan AI dalam pengumpulan dan analisis bukti. 

Teknologi telah mengubah cara orang bertransaksi dan berinteraksi. Namun, hukum sebagai institusi klasik sering tertinggal dalam mengejar perubahan yang begitu cepat.

Secara normatif, hukum Indonesia masih bertumpu pada asas legalitas dan formalitas yang kaku. Banyak regulasi belum mengatur isu-isu digital secara spesifik, apalagi menyentuh aspek teknologi tinggi seperti smart contract atau AI dalam pengambilan keputusan. 

Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi tentu memegang peran penting dalam mengisi kekosongan tersebut melalui pedoman, Peraturan MA, hingga yurisprudensi.

Hakim sebagai aktor utama dalam ruang sidang juga dihadapkan pada tantangan baru. Mereka tidak hanya harus memahami hukum, tapi juga konteks teknologi yang mendasarinya. 

Tanpa pemahaman yang memadai, ada risiko ketidakadilan hanya karena ketidaktahuan terhadap dunia digital yang menjadi latar perkara.

MA sejatinya telah memulai langkah menuju transformasi digital, seperti melalui sistem e-Court dan publikasi putusan secara daring. 

Namun, lebih dari sekadar digitalisasi prosedur, tantangan ke depan adalah menyesuaikan substansi hukum dan cara berpikir lembaga peradilan agar sejalan dengan realitas digital.

Ke depan, dibutuhkan sinergi antara pembuat regulasi, praktisi hukum, akademisi, dan lembaga peradilan untuk menciptakan ekosistem hukum yang adaptif. 

MA perlu terus membuka diri terhadap pembaruan ilmu dan teknologi, serta mendorong pelatihan berkelanjutan bagi para hakim. Dengan begitu, keadilan bisa tetap ditegakkan, bahkan di tengah revolusi digital yang terus bergulir.

Penulis: Nur Amalia Abbas
Editor: Tim MariNews