David Wilkinson secara filosofis mempertanyakan mengapa lingkungan hidup memerlukan hukum atau dalam kata lain mengapa hukum lingkungan hidup begitu penting.
Setelah memperbandingkan pendapat Plato yang menyatakan bahwa hukum yang efektif dapat mencegah masyarakat jatuh ke jurang kemerosotan dan kemelaratan, dengan pendapat Thomas Hobbes yang menyatakan manusia akan bertindak merugikan satu sama lain, kecuali mereka tunduk dengan penguasa, Wilkinson menyimpulkan manusia dapat menyebabkan kerusakan lingkungan hidup yang massif, bilamana tindakannya tidak dibatasi oleh hukum “it seems that humans are selfish to act in ways that lead to significant deterioration of the earth’s environment, unless their action are placec under legal limitation” (David Wilkinso, Environmemt and Law, Routledge, 2002, Hlm. 5).
Pendapat Wilkinson tersebut, seakan terkonfirmasi dari data Kementerian Kehutanan yang menyatakan pada 2024 terjadi deforestasi sebesar 216,2 ribu hektare, dengan rincian mayoritas deforestasi terjadi di hutan sekunder sebesar 200,6 ribu hektare atau sejumlah 92,8%.
Pemerintah telah melakukan upaya-upaya memulihkan deforestasi dimaksud. Salah satunya mereforestasi atau menghutankan kembali hutan yang sudah rusak.
Hanya saja, laju reforestasi sangat lamban, dibandingkan dengan laju deforestasi yang begitu cepat dan sudah terjadi bertahun-tahun, sebab bukan saja karena keterbatasan kapasitas pemerintah untuk melakukannya, tetapi secara faktual dibutuhkan waktu puluhan atau bahkan ratusan tahun untuk mengembalikan ekosistem hutan yang rusak untuk menjadi seperti sedia kala.
Tahun 2024 pemerintah hanya dapat melakukan reforestasi sebesar 40,8 hektare, angka ini jauh dibandingkan dengan deforestasi sebesar 216,2 ribu hektare (Siaran Pers Kementerian Kehutanan Nomor: SP. 031/HKLN/PPIP/HMS.3/03/2025 tanggal 20 Maret 2025);
Untuk menahan laju deforestasi yang begitu cepat, diperlukan langkah-langkah preventif dan efektif, sehingga ekses kerusakannya masih di dalam ambang batas toleransi. Langkah strategis yang dapat diambil, adalah memaksimalkan penegakkan hukum sebagai deterrent effect bagi pelaku deforestasi.
Seperti kata Wilkinson di atas, hukum diperlukan mencegah kerusakan lingkungan hidup.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Undang-undang Lingkungan Hidup), dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Perusakan Hutan (Undang-undang Pencegahan dan Permberantasan Perusakan Hutan) termasuk Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Tenaga Kerja, telah menyediakan 3 instrumen penegakkan hukum dalam bidang perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup yaitu sanksi administratif, keperdataan, pidana.
Sanksi administratif berupa teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan atau pencabutan izin lingkungan, sementara mekanisme keperdataan dapat dilakukan melalui penyelesaian sengketa di luar pengadilan (settlement out of court), maupun di dalam pengadilan (litigation) dengan tuntutan ganti rugi dan pemulihan lingkungan, dan sanksi pidana sebagai sanksi yang lebih keras berupa sanksi penjara dan denda.
Khusus pelaku korporasi, dapat dijatuhi pidana berupa
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
b. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan;
c. perbaikan akibat tindak pidana;
d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 tahun.
Ketiga instrumen hukum tersebut, dapat berjalan secara simultan dan saling mengisi satu sama lainnya. Kekosongan atau keterbatasan penerapan dari salah satu instrumen hukum, dapat digenapi oleh instrumen hukum lainnya.
Dalam hal ini relasi antara hukum pidana dengan hukum administrasi dan hukum keperdataan, bukan lagi bersifat ultimum remedium the last resort, melainkan saling melengkapi.
Hukum pidana dapat tampil terdepan primum remedium, dalam mencegah dan memberantas pengrusakan hutan dengan ditopang penerapan sanksi administratif dan keperdataan.
Meskipun demikian, jangkauan penegakkan hukum lingkungan hidup, sebagai hukum yang bersifat khusus (lex specialis), hanya sebatas yang diatur di dalamnya, sementara modus operandi perusakan lingkungan hidup dilakukan dengan berbagai macam cara dan sangat kompleks, yang kadang kala di luar jangkauan atau berbenturan dengan kewenangan penegakkan hukum lingkungan hidup.
Sebagai contoh, deforestasi yang dibingkai dalam satu kebijakan yang sah, akan tetapi terdapat faktor bribery yang meliputinya. Instrumen hukum lingkungan hidup tidak dapat serta merta masuk ke dalamnya, sebab hal ini berkaitan dengan aspek hukum lain yaitu tindak pidana korupsi yang di luar jangkauan dari penegakkan hukum lingkungan hidup.
Penggunaan sanksi administratif maupun mekanisme keperdataan, hanya dapat dilakukan apabila terdapat penyimpangan dalam penggunaan izin deforestasi tersebut.
Namun apabila tidak terdapat penyimpangan, maka akan sangat sulit untuk membuktikan adanya perbuatan melawan hukum di dalamnya.
Menghadapi persoalan ini, diperlukan pendekatan penegakkan hukum yang bersifat multidoor atau banyak intu (multi door approach) agar dapat menjangkau pelanggaran atau kejahatan yang beririsan dengan lingkungan hidup, tetapi tidak berada dalam kewenangan hukum lingkungan hidup.
Dalam hal ini aspek penegakkan hukum tindak pidana korupsinya menjadi pembuka bagi penegakkan hukum lainnya.
Penindakan tindak pidana korupsi dapat dijadikan sebagai dasar adanya perbuatan melawan hukum dalam penerbitan izin deforestasi, sehingga perizinannya dapat dibatalkan, dan pelaku dapat dibebankan kewajiban ganti rugi maupun pemulihan lingkungan, apabila penerbitan izin tersebut berdampak terhadap kerusakan lingkungan hidup.
Multidoor approach ini merupakan suatu pendekatan dalam penegakan hukum lingkungan hidup dengan menerapkan berbagai peraturan perundang-undangan demi memastikan lingkungan hidup dapat terlindungi dengan baik.
Selain itu pendekatan ini, juga dapat meminimalisr kemungkinan pelaku lolos dari sanksi pidana yang lebih berat, dan memaksimalkan pengembalian kerugian lingkungan.
Bukan ditujukan untuk mencari-cari kesalahan untuk menghabisi pelaku, sebaliknya pendekatan ini bertujuan menjamin tegaknya hukum yang berkeadilan.
Jangan sampai pelaku pengrusakan lingkungan hidup, tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban dengan dalih perbuatannya di luar kewenangan dari instrumen hukum lingkungan hidup.
Pada tataran implementasinya, multidoor approach sangat memerlukan kesamaan persepsi dan keterpaduan antar sub system penegak hukum.
Ego sektoral antar penegakan hukum mesti disingkirkan, dan setiap tindakan hukum (legal action) yang diambil haruslah berorientasi kepada kelestarian lingkungan hidup (pro natura).
Untuk Hakim, multidoor approach merupakan solusi dalam menghadapi berbagai macam modus operandi kejahatan lingkungan.
Hakim dapat menerapkan berbagai macam hukum sebagai landasan dalam memutus perkara, terlebih secara terdapat pengkotak-kotakan dalam sistem hukum positif Indonesia.
Baik pengkotakan antar-kewenangan mengadili (kompetensi absolut), yaitu antar peradilan administrasi negara dengan peradilan perdata dan pidana, maupun pengkotakan antar sub system peradilan pidana, yaitu adanya pembagian kewenangan antar penyidik kepolisian, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
Melalui pendekatan Multidoor approach ini diharapkan dapat menimbulkan efek gentar (deterrent effect) terhadap setiap pihak yang terlibat dalam deforestasi, sebab segala aspek hukum dapat diterapkan kepadanya, sehingga kemungkinan lolos dari jeratan hukum hampir mustahil.
Bukan saja menggentarkan pelaku yang melakukannya secara ilegal, tetapi juga menggentarkan otoritas penerbit izin deforestasi, yang tentunya lebih selektif dan berhati-hati dalam menerbitkan izin.
Adanya efek gentar ini, niscaya berkorelasi dengan melambannya laju deforestasi, dan pada akhirnya dapat menyeimbangkan laju deforestasi yang begitu cepat dengan laju reforestasi, yang sangat lamban.
Catatan : Hakim Pengadilan Negeri Muara Enim, Dr, Rangga Lukita Denata, juga ikut berkontribusi dalam tulisan ini.