Negara telah memberikan jaminan pengakuan terhadap tanah ulayat sebagaimana termuat dalam Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang menyebutkan, “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.
Jaminan pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat tersebut memberikan kedudukan hukum mengenai hak masyarakat hukum adat termasuk dalam aspek kewilayahan yang menyangkut pengaturan terkait pertanahan.
Masyarakat hukum adat Minangkabau sejak dahulu kala hingga saat ini masih memegang teguh penormaan adat berkaitan dengan tanah ulayat. Secara adat, dikenal dua jenis tanah harta pusaka Minangkabau sebagai satu kesatuan dari masyarakat hukum adat Minangkabau, yaitu tanah pusaka tinggi dan tanah pusaka rendah.
Harta pusaka tinggi merupakan harta yang bersifat kebendaan yang diterima secara turun temurun dari nenek moyang yang pewarisannya didasarkan pada garis keturunan ibu dan merupakan milik komunal, seperti sawah, ladang, kolam dan rumah.
Sedangkan harta pusaka rendah merupakan harta pencarian yang dapat diberikan kepada keluarga atau orang lain melalui hibah, waris atau wasiat karena berstatus sebagai milik pribadi. Secara terminologis, tanah pusaka tinggi Minangkabau merupakan tanah ulayat sebagaimana dijumpai dalam berbagai literatur dan diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Penormaan tanah ulayat Minangkabau yang secara adat bersifat tidak tertulis mulai ditegaskan secara tertulis dalam peraturan perundang-undangan dengan diterbitkannya Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya.
Perda Sumbar Nomor 6 Tahun 2008 mengatur mengenai ketentuan tentang tanah ulayat Minangkabau, salah satunya terkait pendaftaran tanah ulayat, sebagaimana termuat dalam Bab V Pasal 8 yang mengatur mengenai pendaftaran dan subyek hukum tanah ulayat.
Pasal 8 Perda Sumbar Nomor 6 Tahun 2008 menegaskan mengenai pendaftaran tanah ulayat beserta subyek pemegang hak dari tiap jenis tanah ulayat. Pertama, tanah ulayat Nagari pemegang hak oleh ninik mamak dengan status hak guna usaha, hak pakai, dan hak pengelolaan.
Kedua, tanah ulayat Suku pemegang hak oleh penghulu-penghulu suku dengan status hak milik. Ketiga, tanah ulayat Kaum pemegang hak oleh anggota kaum dan mamak kepala waris dengan status hak milik. Keempat, tanah ulayat Rajo pemegang hak oleh anggota kaum dan pihak ketiga yang diketahui oleh laki-laki tertua pewaris rajo dengan status hak pakai dan hak kelola.
Penegasan pendaftaran tanah ulayat Minangkabau dalam peraturan daerah bertujuan untuk memberikan kepastian hukum eksistensi tanah ulayat Minangkabau. Namun, dalam penerapannya terdapat persoalan yang terjadi atas pendaftaran tanah ulayat, yaitu mengenai status tanah ulayat pusaka tinggi yang bersifat komunal beralih menjadi hak milik pribadi sebagai akibat dari pemaknaan yang keliru atau penyalahgunaan wewenang oleh oknum penghulu suku, mamak kepala waris atau anggota kaum dalam pendaftaran tanah ulayat suku atau kaum yang kemudian setelah dilakukan pendaftaran dianggap sebagai milik perseorangan.
Penghulu suku, mamak kepala waris atau anggota kaum yang memiliki wewenang secara adat untuk mendaftarkan tanah ulayat milik suku atau kaum menyalahgunakan keadaan sehingga dengan pendaftaran tanah ulayat pusaka tinggi menjadikan mereka seolah-olah manjadi pemilik tanah dan dapat mengalihkannya kepada pihak lain, padahal secara adat hanya terbatas berwenang untuk mengatur pengelolaannya.
Dengan demikian, maka tanah ulayat Minangkabau lama kelamaan akan habis seiring banyaknya praktik penyalahgunaan pendaftaran tanah ulayat pusaka tinggi.
Menyikapi persoalan tersebut, sebagai upaya untuk mempertahankan eksistensi tanah ulayat Minangkabau, Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Barat menerbitkan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tanah Ulayat, yang meniadakan pengaturan mengenai pendaftaran tanah ulayat melalui Kantor Pertanahan.
Terbitnya Perda Sumbar Nomor 7 Tahun 2023 tersebut sekaligus mencabut Perda Sumbar Nomor 6 Tahun 2008.
Pasal 27 Perda Sumbar Nomor 7 Tahun 2023 menyebutkan, “Pada saat peraturan daerah ini mulai berlaku, peraturan daerah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya (Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Barat Tahun 2008 Nomor 6), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”.
Apabila ditelisik lebih jauh ketentuan dalam Perda Sumbar Nomor 7 Tahun 2023, tidak ditemukan lagi pengaturan mengenai pendaftaran tanah ulayat, sehingga mengenai kedudukan hukum pendaftaran tanah ulayat Minangkabau sudah tidak diakui dalam Perda Sumbar Nomor 7 Tahun 2023.
Di sisi lain, berkenaan pengadministrasian tanah ulayat dijumpai istilah “Tambo Ulayat” yang merupakan buku tanah di Nagari yang memuat data fisik dan data yuridis atas bidang-bidang tanah ulayat dalam suatu nagari baik tanah ulayat nagari, maupun tanah ulayat suku dan tanah ulayat kaum.
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan secara implisit Perda Sumbar Nomor 7 Tahun 2023 tidak lagi mengakui pendaftaran tanah ulayat pada Kantor Pertanahan, melainkan digantikan dengan pengadministrasian pada buku tanah di Nagari.
Pada 2024, sebagai bentuk pengakuan dan penghormatan hak ulayat serta kepastian hukum terhadap tanah ulayat, telah diterbitkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Administrasi Pertanahan dan Pendaftaran Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang menggantikan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat.
Dalam ketentuan Pasal 15 sampai dengan Pasal 27 Perka BPN Nomor 14 Tahun 2024 tersebut, secara eksplisit mengatur mengenai pendaftaran tanah ulayat berupa hak pengelolaan dan pendaftaran tanah ulayat berupa hak milik.
Pasal 1 angka 1 Perka BPN Nomor 14 Tahun 2024, menyebutkan, “Hak Ulayat atau yang serupa itu dari Masyarakat Hukum Adat yang selanjutnya disebut Hak Ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan”.
Sehingga ketentuan mengenai pendaftaran tanah ulayat dalam Perka BPN tersebut berlaku bagi seluruh kesatuan masyarakat hukum adat termasuk masyarakat hukum adat Minangkabau, dan menjadi pedoman teknis bagi Kantor Pertanahan untuk menerima dan menindaklanjuti permohonan pendaftaran tanah ulayat.
Sebagaimana uraian di atas, dalam konteks penatausahaan tanah ulayat Minangkabau, terdapat perbedaan ketentuan antara Perda Sumbar Nomor 7 Tahun 2023 yang mengatur tanah ulayat Minangkabau dan Perka BPN Nomor 14 Tahun 2024 yang mengatur tanah ulayat pada umumnya, di satu sisi Perda Sumbar Nomor 7 Tahun 2023 tidak mengenal lagi pendaftaran tanah ulayat di Kantor Pertanahan yang digantikan dengan pengadministrasian pada buku tanah di Nagari, sedangkan Perka BPN Nomor 14 Tahun 2024 memberikan penegasan mengenai pendaftaran tanah ulayat tentunya termasuk tanah ulayat Minangkabau.
Dengan demikian, terdapat permasalahan disharmonisasi pedoman penatausahaan tanah ulayat terhadap pusaka tinggi Minangkabau di wilayah Sumatera Barat, sehingga dalam praktiknya berpotensi menimbulkan permasalahan diantaranya kemungkinan disparitas perlakuan atau tindakan oleh tiap-tiap Kantor Pertanahan di wilayah Sumatera Barat terhadap dapat atau tidaknya pendaftaran tanah ulayat Minangkabau, serta potensi terjadinya tumpang tindih penatausahaan tanah ulayat Minangkabau terhadap satu bidang tanah dengan dasar bukti administrasi kepemilikan yang berbeda yaitu sertipikat tanah dan buku tanah nagari oleh orang atau pihak yang berbeda.
Kesimpulan
Dalam pendaftaran tanah ulayat Minangkabau terdapat disharmonisasi pedoman antara Perda Sumbar Nomor 7 Tahun 2023 yang sudah tidak lagi mengenal istilah pendaftaran tanah ulayat pada Kantor Pertanahan melainkan digantikan dengan pengadministrasian pada buku tanah di Nagari, dan Perka BPN Nomor 14 Tahun 2024 yang memberikan penegasan mengenai pendaftaran tanah ulayat pada umumnya yang tentunya termasuk tanah ulayat Minangkabau.
Disharmonisasi terjadi sebagai konsekuensi logis dari perbedaan tujuan dari penormaan terkait pendaftaran tanah ulayat dalam regulasi tersebut.
Dalam perspektif Perda Sumbar Nomor 7 Tahun 2023, ketiadaan pengaturan pendaftaran tanah ulayat bertujuan untuk mempertahankan eksistensi tanah ulayat Minangkabau, sedangkan dari perspektif Perka BPN Nomor 14 Tahun 2024, pendaftaran tanah ulayat sebagai wujud pengakuan dan perlindungan hak ulayat serta kepastian hukum bagi eksistensi tanah ulayat.
Dalam praktiknya, perbedaan ketentuan tersebut berpotensi menimbulkan permasalahan diantaranya disparitas perlakuan atau tindakan oleh Kantor Pertanahan di wilayah Sumatera Barat terhadap dapat atau tidaknya pendaftaran tanah ulayat Minangkabau, serta terjadinya tumpang tindih penatausahaan tanah ulayat Minangkabau terhadap satu bidang tanah dengan dasar bukti adminstrasi kepemilikan yang berbeda oleh orang atau pihak yang berbeda.
Rekomendasi
Diperlukan harmonisasi dan penegasan pengaturan pendaftaran tanah ulayat khususnya pusaka tinggi Minangkabau dikarenakan saat ini terdapat perbedaan pendapat mengenai dapat atau tidaknya pendaftaran tanah ulayat Minangkabau dilakukan, hingga bermuara pada terbitnya sertipikat oleh Kantor Pertanahan.
Hal tersebut penting untuk menghindari disparitas penatausahaan tanah ulayat Minangkabau serta perbedaan perlakuan dan tindakan atas penatausahaan tersebut, mengingat kaitannya sebagai dasar administrasi kepemilikan yang sah dan alat bukti yang kuat ketika terjadi persengketaan.
Referensi
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Administrasi Pertanahan dan Pendaftaran Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya
Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Barat menerbitkan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tanah Ulayat