“We do not know, we can only guess.” – Karl R. Popper (The Logic of Scientific Discovery).
Kearifan lokal (local wisdom), cenderung bertolak-belakang dengan pola kerja mekanis pengetahuan dan teknologi. Seorang sarjana di bidang pertanian mungkin “tahu” persis cara membangun sistem pertanian yang terstruktur, namun ia tidak benar-benar “memahami” hakikat tanaman yang ditanamnya.
Mengetahui (scire) dan memahami (comprehendre) adalah dua hal yang berbeda, meski sepintas terlihat serupa. Bila pengetahuan perlahan mengendap sebagai ilmu (termasuk ilmu hukum) dalam peradaban modern, maka pemahaman melarut menjadi kearifan lokal dalam agama, kepercayaan, dan tradisi.
Secara saintifik diketahui bahwa seekor burung tertentu bisa diajari mengingat kata demi kata. Namun demikian, dari cerita dan tradisi kita memahami bahwa menjejakkan ingatan paksa deretan kata dalam batas tertentu justru membunuh sang burung.
Kearifan lokal sederhana semacam ini setidaknya menitipkan satu pesan: marwah manusia bukan terutama untuk mengetahui, tetapi untuk memahami.
Pengetahuan cenderung aforistik (Popper, 1967). Aforisme pengetahuan terlihat dari berbagai paradoks atau ironi yang muncul dalam proses perkembangannya, saat sisi yang dikembangkan bertolak dari sisi lain yang persis bertolak belakang.
Sebagai ilustrasi, pengetahuan yang berkembang di Barat tentang demokrasi berjalan beriringan dengan ide-ide dasar yang ditentangnya tentang hak asasi manusia (HAM).
Banyak pemikir politik dengan ide demokratisnya justru masih melakukan praktik perbudakan. Negara-negara yang menjunjung tinggi peradaban “halus” seperti lukisan dan patung malah melakukan eksploitasi secara masif dan “kasar” di negara jajahannya. Kebebasan berpikir justru melahirkan praktik ujaran kebencian (hate speech) yang menghilangkan hak berpendapat, dan sikap permisif terhadap aborsi yang menegasi hak hidup manusia lain.
Bila demikian, idealnya hukum yang mengetahui atau memahami yang kita perlukan?
Inundasi Data dan Informasi
Sebelum kehadiran teknologi informasi, di abad ke 18 berkembang sikap mental ensiklopedik: semakin banyak yang bisa diingat oleh seseorang, semakin tinggi pencapaiannya. Singkatnya, seorang cendekia mesti memiliki kemampuan seperti perpustakaan berjalan.
Mengingat adalah puncak pencapaian manusia. Di abad ini orang berlomba-lomba untuk mengetahui, tetapi tidak memahami. Setiap sudut pencapaian manusia dianggap sebagai ladang epistemik yang harus ditanami dengan data seekstensif mungkin.
Memasuki abad ke 19 dan terutama abad 20, obsesi akan data semakin memuncak, sehingga melahirkan klaim dataisme (Harari, 2016). Data bertransformasi menjadi big data, dan melahirkan gelagat panoptikon, negara dan korporasi berubah menjadi “policing authority” (Foucault, 1977), atau “big brother” dalam istilah sastrawan George Orwell. Singkatnya data pun banjir (inundasi) melimpah ruah tanpa menjadi informasi.
Bila data menitikberatkan pada pengetahuan, informasi lebih berpijak pada pemahaman.
Studi tentang pemahaman dalam hukum banyak dikaji dari perspektif penafsiran (hermeneutika). Aliran hermeneutik legal berusaha untuk mengonversi informasi menjadi makna (meaning) juridis (Dallmayr, 1992).
Meskipun demikian, sebelum sampai pada tataran pemaknaan, kita perlu kembali ke pemahaman yang menjadi bangun sentral dari informasi perlu dikaji lebih mendalam, terutama dengan kehadiran teknologi kecerdasan buatan (AI).
Informasi sebagai bentuk pemahaman membutuhkan intuisi dan kreativitas khas manusia, sebuah kemampuan untuk berpikir lebih dari satu dimensi sekaligus (Koestler, 1964). Kemampuan mengubah dan mensintesiskan data menjadi informasi adalah sisi keunggulan manusia. Sebaliknya, AI memiliki keunggulan dalam mengelola data dalam jumlah besar dan dengan kecepatan tinggi.
Dengan kata lain, pengelolaan data di abad 21 menjadi dimensi peran AI, sementara pengelolaan informasi, termasuk kepekaan untuk memilah dan memilih serta mengambil keputusan untuk menyaring misinformasi dan disinformasi adalah dimensi peran manusia.
Anggapan bahwa memori manusia dapat menampung data tanpa sedikitpun terdistorsi atau bias adalah anggapan yang keliru.
Pengkaji neurosains Gabriel A. Radvansky, yang mengangkat kajian Hermann Ebbinghaus, mengingatkan bahwa memori memiliki dua fase: belajar (learning curve) dan melupakan (forgetting curve) (Radvansky, 2011:6-7). Dua fase ini ada karena otak manusia harus terus mengelola data untuk diubah menjadi informasi secara efisien. Ini berarti secara sistematis otak manusia akan menghapus data yang sudah tidak dipergunakan dalam mekanisme neuronalnya.
Lebih dari itu, keberadaan inundasi data dari gawai dalam kehidupan sehari-hari, termasuk data dari media sosial, bersifat kontraproduktif terhadap retensi memori. Pakar neurosains Torkel Klinberg mencatat bahwa “Information technology is now starting to present us with such a surplus of information per unit of time that the capacity limitations of our brains” (Teknologi informasi kini mulai menyuguhkan surplus informasi sedemikian besar dalam setiap satuan waktu sehingga keterbatasan kapasitas otak manusia menjadi semakin nyata) (Klinberg, 2009:9). Keterbatasan ini dapat berdampak pada bias data yang tersimpan dalam ingatan manusia.
Keterbatasan Memori sebagai Bukti dalam Hukum
Data yang disimpan dalam memori, bagi kriminolog Mohita Junnarkar dan Sweta Lakhani, tidak dapat diandalkan.
Junnarkar dan Lakhani mengatakan: “It is evident that there is a time difference between a memory encoding and its recall. Between the recall phase and the encoding phase, the memory is retained and is subject to severe reconstruction” (Sudah jelas bahwa terdapat perbedaan waktu antara proses pengkodean memori dan proses pengingatannya kembali. Di antara fase pengingatan dan fase pengkodean tersebut, memori disimpan dan mengalami proses rekonstruksi yang signifikan).
Lebih lanjut keduanya menjelaskan tentang tiga tahapan penting dalam disposisi memori di ranah hukum. Pertama, dalam tahapan deskriptif, saksi menggali ingatannya untuk memberikan deskripsi dari pelaku.
Kedua, dalam tahapan pencarian, deskripsi yang berdasarkan ingatan tersebut menjadi acuan untuk melakukan pencarian pelaku. Ketiga, dalam tahapan identifikasi, saksi mencocokkan deskripsi yang diberikan sebelumnya dengan sosok atau peristiwa yang terjadi.
Bagi Junnarkar dan Lakhani, tahapan pertama dan ketiga rentan terhadap bias memori, yang bisa berakibat fatal pada pihak yang tidak bersalah (Junnarkar dan Lakhani, 2021:210).
Sedikit berbeda pendapat dengan Junnarkar dan Lakhani, pengkaji hukum Henry Otgaar, Mark L. Howe, dan Olivier Dodier mengatakan bahwa ada prasyarat minimum yang harus dipenuhi sebelum memori seseorang dapat dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan.
Mereka mengatakan: “memory science can only meaningfully contribute to the court when the conditions of replicability, generalizability, and practical relevance are minimally met” (Ilmu pengetahuan tentang memori hanya dapat memberikan kontribusi yang bermakna bagi pengadilan apabila syarat-syarat replikabilitas, generalisabilitas, dan relevansi praktis terpenuhi setidaknya pada tingkat minimal) (Otgaar, Howe, dan Dodier, 2022:3).
Maksudnya, bagi Otgaar, Howe, dan Dodier bukti di pengadilan yang baru dapat diperlakukan secara objektif apabila ketiga syarat tersebut dipenuhi. Bila Junnarkar dan Lakhani memilih untuk meragukan keberadaan memori dalam peristiwa juridis, Otgaar, Howe, dan Dodier menerimanya secara bersyarat.
Penstudi Ilmu Hukum Henry L. Roediger, III dan David A. Gallo (2008:5) cenderung bersikap netral. Bagi keduanya, “past knowledge can distort memory by providing us with a set of categories into which we try to pigeonhole our new experiences, whether or not they fit” (Pengetahuan masa lalu dapat mendistorsi memori dengan menyediakan seperangkat kategori yang kita gunakan untuk mengkotakkan pengalaman-pengalaman baru, terlepas dari apakah pengalaman tersebut benar-benar sesuai dengan kategori yang ada atau tidak).
Sebaliknya, apa yang kita ketahui dari masa lalu juga dapat memperkuat ingatan dengan bantuan skemata tertentu: Past experience can also enhance retention. If new information fits well with prior knowledge or schemata, retention of the information is generally better than when information does not fit (Pengalaman masa lalu juga dapat meningkatkan retensi. Apabila informasi baru selaras dengan pengetahuan atau skema yang telah ada sebelumnya, retensi terhadap informasi tersebut umumnya lebih baik dibandingkan ketika informasi tersebut tidak sesuai) (Roediger, III dan Gallo, 2008:5).
Tarik menarik Pengetahuan Hukum dan Pemahaman Hukum
Distorsi memori yang berdampak sangat fatal dapat dilihat dalam kasus Andrew Evans v United Kingdom (Aplikasi Banding No. 27239/95).
Dalam permohonan banding ini, Andrew Evans yang sudah dipenjara selama 25 tahun meminta pengadilan Inggris untuk meninjau ulang kasusnya. Di tahun 1972, Evans dituduh membunuh Judith Roberts. Evans dijatuhi hukuman hanya berdasarkan pengakuannya sendiri, yang diberikan pada saat ia menjalani pengobatan. Selain pengakuannya, tidak ada bukti apapun (termasuk sidik jari dan tes darah) yang mendukung putusan hakim pada waktu itu.
Pengadilan kemudian menganulasi putusan tersebut, dan Evans diberikan kompensasi senilai 1,5 juta poundsterling dengan penyesuaian kurs saat ini (The Guardian, Patrick Weir, 20 Juni 2000).
Hukum yang demikian pun menuntut seorang hakim untuk memperluas cakrawala pemahaman dan bukan hanya mengandalkan daftar pengetahuan atau preseden normatif semata.
Ketika mesin mampu menelusuri jejak digital dan menyimpan miliaran data dengan ketepatan tinggi, justru manusia sebagai pelaku hukum ditantang untuk mengolah makna dari data tersebut dalam ruang kehidupan yang lebih rumit, yakni sosial, budaya, dan psikologis.
Dalam kerangka ini, pemahaman menjadi jembatan antara keterbatasan biologis ingatan manusia dan kecanggihan teknologi pengelola data. Maka, hukum tidak lagi hanya berpijak pada keabsahan prosedural dan bentuk-bentuk formalitas hukum semata, melainkan juga pada kepekaan untuk menilai kerapuhan ingatan, bias kognitif, serta kerumitan situasi batin dan sosial seseorang.
Di titik inilah hukum tidak cukup sekadar menjadi ilmu tentang aturan, tetapi juga suatu kebijaksanaan dalam memahami secara utuh manusia dan peristiwa yang dihadapinya.