Hukum sebagai Medan Dialektika Nilai

Hukum, dalam pengertian yang paling konseptual, tidak semata-mata berupa norma positif dalam teks undang-undang.
Ilustrasi hukum. Foto dokumentasi pa-surabaya.go.id/
Ilustrasi hukum. Foto dokumentasi pa-surabaya.go.id/

Hukum sebagai suatu entitas normatif, tidak hadir dalam ruang ontologis yang steril dari nilai. 

Wujudnya senantiasa berada dalam relasi dialektis, yang penuh tensi antara asas-asas fundamental yang secara inheren bersifat antinomis, khususnya kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. 

Relasi antinomis tersebut, bukanlah suatu cacat konseptual, melainkan ciri ontologis hukum itu sendiri, yang dalam tradisi pemikiran Jerman dikenal sebagai Spanungsverhältnis yaitu suatu permanent state of tension yang inheren dalam sistem hukum.

Karakter Dialektis Hukum 

Hukum, dalam pengertian yang paling konseptual, tidak semata-mata berupa norma positif dalam teks undang-undang. Bentuknya adalah konstruksi sosial-politik yang bergerak dalam horizon hermeneutik nilai. 

Proses legislasi dan adjudikasi tidak lain adalah praksis dialektis yang merepresentasikan, menegosiasikan, sekaligus mengkonflikasikan nilai kepastian, keadilan, dan kemanfaatan.
Kepastian hukum meniscayakan positivasi norma secara tegas (lex certa), prediktabilitas (predictability), serta konsistensi penerapan (consistency), sementara keadilan bersifat evaluatif, partikular, dan seringkali non-formalistik sehingga menuntut kepekaan etis terhadap konteks partikular yang kerap melampaui rigiditas teks.

Saat norma positif terlalu ditekankan, hukum berpotensi jatuh dalam positivisme kaku yang mengabaikan dimensi etis. 

Namun, ketika keadilan partikular diprioritaskan tanpa batas, hukum terjerumus ke dalam arbitrariness yang mengancam stabilitas sistem. 

Kemanfaatan menambah lapisan kompleksitas, yakni hukum tidak hanya cukup adil dan pasti, melainkan juga harus berguna, efektif, dan responsif terhadap kebutuhan sosial. 

Ketiga nilai ini tidak pernah mencapai sintesis final, yang potensinya adalah equilibrium dinamis yang terus-menerus diperbaharui.

Formulasi Pendapat Ahli

Gustav Radbruch, melalui Radbruchsche Formel, mengajukan prioritas keadilan apabila konflik antara kepastian hukum dan keadilan mencapai titik intolerabel, maka hukum positif kehilangan legitimasi, dan keadilan harus diutamakan. 

Formula ini, kemudian berfungsi sebagai justifikasi bagi penolakan terhadap Nazi laws yang secara formal sah, namun secara substansial tidak adil.

Namun, pemikiran Radbruch bukan tanpa kritik. Hans Kelsen, dengan teori hukum murninya, menolak subordinasi kepastian pada keadilan, karena baginya keadilan bersifat subjektif. 

Fuller di sisi lain menekankan moralitas internal hukum, asas-asas yang jika diabaikan akan menghancurkan hukum itu sendiri. 

Ketiga posisi ini, menunjukkan bahwa Spanungsverhältnis tidak sekadar fenomena, melainkan epistemic battle ground dalam filsafat hukum.

Hukum sebagai Medan Dialektis

Hukum harus dikelola sebagai medan dialektis yang mempertemukan nilai-nilai yang secara inheren berada dalam ketegangan. 

Spanungsverhältnis tidak boleh dipandang sebagai kontradiksi destruktif, melainkan sebagai struktur ontologis hukum yang justru menjamin vitalitasnya.

Dengan demikian, hukum bukanlah sistem monolitik, melainkan proses hermeneutik yang selalu bergerak di antara kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan.

Menutup mata terhadap dialektika tersebut, berarti menjerumuskan hukum ke dalam positivisme reduksionistik yang kehilangan legitimasi moral dan sosiologis. 

Sebaliknya, mengelola ketegangan ini secara sadar, berarti menghidupkan hukum sebagai institusi yang dinamis, historis, dan berakar pada cita hukum itu sendiri.

Penulis: Fariz Prasetyo Aji
Editor: Tim MariNews