In Memoriam Mantan Hakim Agung Mukhtar Zamzami

Lewat tulisan-tulisannya di FB, penulis menemukan betapa luasnya wawasan beliau. Dari isu radikalisme, hakikat keberagamaan
Mediang Purnabhakti Hakim Agung Dr. H. Mukhtar Zamzami, S.H., M.H.. Foto : Wikipedia
Mediang Purnabhakti Hakim Agung Dr. H. Mukhtar Zamzami, S.H., M.H.. Foto : Wikipedia

Ketika melihat banyaknya ucapan belasungkawa di berbagai WAG, penulis sempat bertanya-tanya. Respon duka itu terasa berbeda, lebih ramai dan lebih dalam dari biasanya. 

Ternyata firasat saya benar, kabar duka datang dari wafatnya seorang tokoh yang sangat akrab di hati para hakim Peradilan Agama, mantan Hakim Agung, Dr. H. Mukhtar Zamzami, S.H., M.H..

Walaupun merasa sangat kehilangan, penulis juga memahami kondisi beliau selama ini. Alumnus IAIN Sunan Kalijaga itu, secara pribadi beberapa tahun lalu pernah menyinggung masalah kesehatannya di salah satu media sosial, setelah purna tugas sebagai Hakim Agung. 

Saat penulis tengah mengagumi keterampilan beliau membuat karikatur, yang merupakan salah satu hobinya, justru tidak sengaja mengetahui kondisi kesehatannya terus menurun, sehingga beliau tidak lagi mampu secara maksimal menyampaikan gagasan-gagasannya. 

Namun, dengan segala keterbatasan fisik itu, Ia tetap setia menebar ilmu melalui media sosial, terutama Facebook (FB).

Lewat tulisan-tulisannya di FB, penulis menemukan betapa luasnya wawasan beliau. Dari isu radikalisme, hakikat keberagamaan, relasi Islam dan pengetahuan, hingga inklusivitas sosial. 

Pada ruang terbatas dan sangat singkat, di mana melalui gaya satire, semuanya dibahas, dengan jernih dan mendalam. 

Cara pandangnya, bukan hanya sebagai hakim agama, tetapi juga sebagai intelektual independen yang tidak segan mengambil posisi berseberangan dengan arus opini publik, selama itu didukung argumentasi ilmiah yang kokoh.

Sebagai Hakim Agung, ia menunjukkan sikap kenegarawanan yang kuat. Sosoknya, dikenal sangat menolak segala bentuk intoleransi, sektarianisme, dan eksklusivitas keberagamaan. 

Dalam salah satu unggahannya, ia bahkan menegaskan radikalisme adalah musuh Islam (at-tatharruf ‘aduwul Islam).

Penulis sempat bertanya-tanya, mengapa ia begitu responsif terhadap berbagai fenomena sosial dan keagamaan? Belakangan penulis memahami, itu semua ia lakukan sebagai bagian dari tanggung jawab moral seorang hakim. 

Dari beliau, penulis belajar pentingnya bagi seorang hakim untuk mengapung sebuah metafora agar hakim mampu melihat persoalan dari sudut pandang yang lebih luas, tidak tenggelam dalam bias atau kepentingan apa pun.

Kini, sosok teladan itu telah kembali kepada Sang Pencipta. Beliau pernah dua kali menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Agama di Palembang dan Pekanbaru, sebelum diangkat sebagai Hakim Agung pada 2007. 

Kecintaannya pada ilmu dan kepeduliannya terhadap isu-isu aktual adalah warisan berharga yang akan selalu penulis ingat. 

Seperti sabda Rasulullah SAW, “Barang siapa menempuh jalan mencari ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” Semoga beliau memperoleh kemuliaan itu, Amin.