Revolusi Peradilan Agama di Tengah Gelombang Digitalisasi

Melalui penguatan kelembagaan yang inklusif dan regulasi yang progresif, peradilan agama dapat menjadi garda depan dalam mewujudkan peradilan yang adaptif terhadap zaman, tanpa kehilangan ruh keadilan substantif dan nilai-nilai syariah yang menjadi pijakannya.
Ilustrasi digitalisasi peradilan agama. Foto YouTube Pengadilan Agama Arga Makmur.
Ilustrasi digitalisasi peradilan agama. Foto YouTube Pengadilan Agama Arga Makmur.

Peradilan agama sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman di Indonesia memiliki fungsi strategis dalam menegakkan hukum dan keadilan bagi masyarakat pencari keadilan di bidang hukum privat Islam.

Berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yurisdiksi peradilan agama meliputi perkara-perkara di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah bagi pihak-pihak yang beragama Islam.

Penulis mengutip sebuah teori dari Lawrence M. Friedman dalam bukunya yang berjudul, The Legal System: A Social Science Perspective (1975) menyatakan, sistem hukum terdiri atas tiga unsur utama: struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal culture). Ketiganya harus berkembang seimbang agar sistem hukum dapat menjawab perubahan zaman, termasuk transformasi digital.

Seiring berjalannya waktu, dinamika masyarakat dan teknologi terus berkembang, khususnya dengan masuknya Indonesia dalam era Society 5.0, sebuah konsep masyarakat cerdas yang berpusat pada manusia dan berbasis integrasi teknologi digital seperti Artificial Intelligence (AI), big data, dan internet of things (IoT). Era ini tidak hanya menuntut perubahan dalam sektor industri dan ekonomi, tetapi juga dalam pelayanan publik, termasuk sistem peradilan.

Sebagai bentuk respons terhadap perkembangan tersebut, Mahkamah Agung telah menginisiasi sejumlah kebijakan digitalisasi peradilan. Di antaranya adalah penerapan sistem peradilan elektronik (E-Court) melalui Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik yang kemudian diperbarui melalui Perma No. 7 Tahun 2022. Melalui kebijakan ini, proses pendaftaran perkara, pembayaran biaya perkara, pemanggilan para pihak, hingga persidangan dapat dilakukan secara daring.

Namun demikian, transformasi digital di lingkungan peradilan agama masih menghadapi sejumlah tantangan. Kesenjangan infrastruktur teknologi antardaerah, rendahnya literasi digital sebagian aparatur dan masyarakat, serta keterbatasan anggaran operasional menjadi kendala yang tidak dapat diabaikan. Di sisi lain, isu keamanan data pribadi dan perlindungan hak para pihak dalam proses litigasi daring juga menimbulkan tantangan etik dan normatif yang harus dijawab oleh sistem hukum nasional.

Dalam konteks inilah, revolusi digital peradilan agama tidak hanya dimaknai sebagai perubahan teknis semata, tetapi juga sebagai upaya sistemik untuk mewujudkan peradilan yang lebih responsif, inklusif, dan berorientasi pada nilai keadilan substantif. Oleh karena itu, penting untuk mengkaji secara kritis sejauh mana efektivitas digitalisasi tersebut, serta bagaimana peradilan agama dapat memperkuat kapasitas kelembagaan dan regulasinya guna menjawab tantangan era Digital 5.0 secara berkelanjutan.

Penguatan Kapasitas Kelembagaan Peradilan Agama.

Di tengah transformasi digital yang tengah digalakkan oleh Mahkamah Agung melalui sistem e-court dan e-litigation, salah satu tantangan utama yang dihadapi peradilan agama adalah ketimpangan infrastruktur teknologi, khususnya di wilayah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal). 

Digitalisasi peradilan tidak akan pernah efektif tanpa perluasan jaringan internet yang merata dan ketersediaan perangkat keras serta lunak yang modern di setiap satuan kerja. Realitas saat ini menunjukkan masih banyak pengadilan agama di daerah terpencil yang belum memiliki akses internet stabil, bahkan sebagian masih mengandalkan sistem administrasi manual. Kondisi ini menimbulkan disparitas pelayanan hukum dan berpotensi menciptakan ketidaksetaraan dalam akses terhadap keadilan. 

Oleh karena itu, negara melalui Mahkamah Agung dan instansi terkait perlu memprioritaskan anggaran pembangunan infrastruktur teknologi secara afirmatif bagi daerah 3T, agar prinsip peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman benar-benar terwujud di seluruh penjuru negeri. Revolusi digital peradilan haruslah bersifat inklusif, dan tidak boleh meninggalkan satupun warga negara di belakang, termasuk mereka yang berada di pinggiran republik.

Di era Digital 5.0, sistem peradilan yang terintegrasi secara elektronik menuntut jaminan keamanan siber dan perlindungan data yang ketat. Hal ini menjadi sangat krusial dalam lingkungan peradilan agama yang menangani perkara-perkara privat umat Islam, seperti perceraian, sengketa waris, hingga ekonomi syariah, yang sering kali menyangkut data sensitif para pihak. Untuk itu, peradilan agama tidak dapat berjalan sendiri. 

Memerlukan kolaborasi strategis dan berkelanjutan dengan Kementerian Komunikasi dan Digital serta Badan Siber dan Sandi Nasional (BSSN) sebagai lembaga yang memiliki otoritas dan keahlian dalam bidang perlindungan data, enkripsi informasi, serta mitigasi risiko serangan siber.

Kolaborasi tersebut, dapat dituangkan dalam bentuk integrasi sistem keamanan digital, audit siber berkala, serta penyusunan protokol perlindungan data perkara yang sejalan dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi. Tanpa jaminan keamanan digital yang kuat, kepercayaan publik terhadap sistem peradilan elektronik akan melemah, dan transformasi digital hanya akan menjadi proyek administratif semata, bukan lompatan peradaban hukum.

Digitalisasi peradilan tidak hanya menuntut kecakapan teknis dalam penggunaan perangkat elektronik, tetapi juga kesadaran etis yang tinggi di kalangan aparatur peradilan. Dalam konteks peradilan agama, di mana integritas moral menjadi fondasi utama dalam menangani perkara-perkara keagamaan dan keluarga, penanaman literasi digital berbasis etika dan integritas menjadi suatu keharusan. Kemudahan akses teknologi, seperti penggunaan e-Court, e-litigation dan komunikasi daring, membuka potensi kerentanan terhadap kebocoran informasi, manipulasi data, hingga konflik kepentingan jika tidak diimbangi dengan pemahaman moral dan tanggung jawab profesional. 

Sebab itu, pentingnya pelatihan dan pembinaan SDM di lingkungan peradilan agama harus mencakup dimensi etika digital, tidak hanya aspek prosedural. Hal ini sejalan dengan prinsip good governance dalam lembaga peradilan, serta mendukung cita-cita mewujudkan badan peradilan yang berintegritas, transparan, dan akuntabel, sebagaimana diamanatkan dalam cetak biru Pembaharuan Peradilan 2010-2035. Etika digital bukan pelengkap, melainkan benteng utama dalam menjaga marwah lembaga peradilan di tengah arus deras transformasi teknologi.

Reformulasi dan Harmonisasi Regulasi

Penerapan sistem peradilan elektronik di Indonesia melalui Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik jo Perma No. 7 Tahun 2022, merupakan tonggak penting dalam reformasi peradilan digital. Namun, seiring pesatnya kemajuan teknologi dan kompleksitas praktik di lapangan, regulasi ini memerlukan revisi dan harmonisasi agar tetap relevan dan operasional. 

Salah satu aspek mendesak adalah penyesuaian prosedur persidangan daring, termasuk validitas kehadiran para pihak, pemeriksaan saksi secara virtual, dan perlindungan terhadap hak para pencari keadilan dalam ruang digital. Selain itu, perlu ada kejelasan mengenai bukti elektronik, baik dalam bentuk dokumen digital, rekaman percakapan, maupun jejak digital lain yang kini sering menjadi alat bukti dalam perkara keluarga, perceraian, maupun ekonomi syariah. 

Harmonisasi tersebut tidak hanya bertujuan menjawab tantangan teknis, tetapi juga menjamin kepastian hukum, asas due process of law, dan tetap menjunjung tinggi prinsip keadilan prosedural dalam sistem peradilan agama. Tanpa revisi yang adaptif, PERMA ini bisa kemungkinan akan berisiko menjadi dokumen administratif yang stagnan di tengah arus perubahan teknologi yang dinamis.

Perkembangan teknologi informasi telah melahirkan berbagai bentuk alat bukti baru yang bersifat digital, seperti pesan WhatsApp, email, tangkapan layar (screenshot), rekaman digital, hingga metadata. Dalam praktik peradilan agama, alat bukti ini kerap muncul dalam perkara perceraian, nafkah, pembuktian hubungan suami-istri, hingga sengketa ekonomi syariah. 

Namun, belum terdapat pengaturan eksplisit dan terstandarisasi yang memberikan kekuatan pembuktian hukum secara tegas terhadap bukti-bukti digital tersebut dalam kerangka hukum acara perdata Islam. Meskipun UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) beserta perubahannya telah mengakui dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah, pengadopsiannya dalam hukum acara peradilan agama masih memerlukan kejelasan teknis dan yuridis yang lebih komprehensif. 

Oleh karena itu, perlu dirumuskan pedoman teknis Mahkamah Agung atau amandemen terhadap hukum acara yang berlaku, yang secara eksplisit mengatur validitas, otentikasi, serta kekuatan pembuktian digital dalam perkara-perkara keagamaan. Pengakuan normatif terhadap bukti digital ini akan memperkuat prinsip equality before the law, meningkatkan efektivitas proses pembuktian, serta menjawab tantangan zaman dalam penyelesaian sengketa keagamaan berbasis teknologi.

Dalam era Digital 5.0 bukan sekadar soal modernisasi teknis, tetapi menuntut reformasi struktural, regulatif, dan kultural dalam tubuh peradilan agama. Melalui penguatan kelembagaan yang inklusif dan regulasi yang progresif, peradilan agama dapat menjadi garda depan dalam mewujudkan peradilan yang adaptif terhadap zaman, tanpa kehilangan ruh keadilan substantif dan nilai-nilai syariah yang menjadi pijakannya.

Penulis: Fahmi Aziz
Editor: Tim MariNews