Iqrār bi al-Nasab Sebagai Solusi Atribusi Nasab Anak Luar Kawin

Institusi iqrār bi al-nasab dalam khazanah hukum Islam layak diadopsi sebagai instrumen yuridis sah yang memungkinkan atribusi nasab dalam kerangka syar‘i serta menjamin kesetaraan perlindungan hukum bagi setiap anak.
Ilustrasi hamil di luar nikah. Foto kibrispdr.org/
Ilustrasi hamil di luar nikah. Foto kibrispdr.org/

Rekonstruksi Status Anak dalam Hukum Indonesia 

Sistem hukum nasional Indonesia mendefinisikan anak sah sebagai anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah, sebagaimana diatur dalam Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan jo. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 dan Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam. Definisi ini mencakup anak hasil konsepsi dari hubungan suami istri yang sah, sekalipun pembuahan terjadi di luar rahim, asalkan dilahirkan oleh istri yang sah.

Senada dengan itu, Pasal 250 Burgerlijk Wetboek menegaskan, bahwa keabsahan anak secara hukum juga dapat diperoleh apabila kelahiran atau pengasuhan anak terjadi selama ikatan perkawinan berlangsung. Secara yuridis, status anak sah ini, membawa konsekuensi berupa pengakuan otomatis sebagai anak kandung (natuurlijk kind) dan hak keperdataan penuh, termasuk hak menggunakan nama keluarga (geslachtsnaam) sebagai bagian dari identitas hukum dan hubungan genealogisnya.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 mencerminkan transformasi paradigmatik dalam yurisprudensi nasional melalui reinterpretasi progresif terhadap Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, yang menegaskan, anak luar kawin dapat memiliki hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya apabila dibuktikan secara sah melalui metode ilmiah atau alat bukti yuridis.

Putusan tersebut, turut memperluas pengakuan atas relasi hukum anak tersebut dengan keluarga dari pihak ayah, sehingga secara konseptual merekonstruksi hubungan hukum anak-ayah biologis melampaui batas formalitas perkawinan, meskipun Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam masih membatasi atribusi nasab anak luar kawin hanya kepada ibu.

Diskriminasi Yuridis  dan Kekeliruan Konseptual terhadap Anak di Luar Kawin

Ketentuan normatif sebagaimana tersebut di atas, telah menimbulkan praktik yudisial yang beragam dalam proses penetapan status keperdataan anak di lingkungan peradilan, khususnya dalam hal pembedaan antara anak sah (yang dilahirkan dari perkawinan yang sah) dan anak biologis (yang lahir di luar ikatan perkawinan).

Perbedaan status hukum ini secara inheren melahirkan konsekuensi yuridis yang bersifat distingtif. Seorang anak sah memperoleh perlindungan hukum secara menyeluruh, meliputi hak atas warisan, nafkah, pengasuhan (hadhānah), dan perwalian (wilāyah). Adapun anak biologis, hanya memiliki hak terbatas, terutama dalam hal nafkah hidup serta hak untuk mengetahui asal-usul dan menerima wasiat dari ayah biologisnya.

Konsepsi dikotomis antara anak sah (yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan yang sah menurut hukum) dan anak biologis (yang lahir di luar perkawinan), dalam praktiknya telah menciptakan disparitas dalam perlindungan hukum, khususnya terhadap anak luar kawin.

Pemisahan konseptual tersebut, menimbulkan implikasi yuridis yang diskriminatif, yang pada akhirnya bertentangan dengan asas non-discrimination sebagaimana diamanatkan dalam Convention on the Rights of the Child (CRC) serta prinsip the best interest of the child sebagai asas fundamental dalam sistem perlindungan hukum anak.

Dalam praktik peradilan, kerap ditemukan kekeliruan konseptual dalam penetapan status anak, di mana seorang anak yang secara hukum Islam (fiqh) telah memenuhi syarat sebagai anak sah-karena proses metode isbāt an-nasab yang sah secara syar‘i-namun justru dikualifikasikan sebagai anak biologis.

Terminologi “anak biologis” dalam konteks tersebut, sering kali merupakan eufemisme dari “anak hasil perzinaan”, sehingga menimbulkan implikasi stigma serta mereduksi hak-hak keperdataan anak yang bersangkutan. Kekeliruan klasifikasi ini tidak hanya bertentangan dengan prinsip keadilan, tetapi juga berpotensi mencederai perlindungan terhadap harkat, martabat, dan nasab anak sebagaimana dijamin dalam prinsip maqāṣid al-syarī‘ah.

Pengakuan Nasab (Iqrār bi al-Nasab) dalam Fiqh Islam dan Urgensi Integrasi ke dalam Hukum Nasional

Dalam kerangka yurisprudensi Islam (fiqh), penetapan nasab dapat dilakukan melalui mekanisme iqrār bi al-nasab, sepanjang memenuhi syarat-syarat syar‘i yang ditetapkan oleh para fuqaha. Esensi pengakuan ini bergantung pada keberadaan ikatan perkawinan yang sah menurut syariat, meskipun tidak tercatat secara administratif atau dilangsungkan setelah kelahiran anak.

Legitimasi perkawinan tersebut, menjadi dasar moral dan yuridis yang diperlukan untuk mencegah justifikasi terhadap praktik perzinaan, serta menjamin atribusi nasab dilakukan dalam koridor hukum yang sejalan dengan prinsip-prinsip syariah.

Abdul Manan (2006) menegaskan, Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) belum mengatur secara rinci mekanisme pengakuan anak luar kawin, berbeda dengan regulasi hukum keluarga di sejumlah negara Islam yang telah menyediakan ketentuan komprehensif. Lembaga pengakuan anak ini, telah lama menjadi diskursus penting dalam literatur fiqih klasik dan kontemporer, bahkan diyakini turut memengaruhi konstruksi hukum di beberapa yurisdiksi Eropa, meskipun mengalami penyesuaian kontekstual.

Namun demikian, di Indonesia, mekanisme ini belum terinstitusionalisasi secara utuh dalam sistem hukum positif, sehingga belum memperoleh pengaturan eksplisit dan sistematis sebagaimana lazimnya di negara-negara bertradisi hukum Islam lainnya.

Dalam khazanah ilmu hukum Islam kontemporer, Wahbah az-Zuhaili (2012) dalam karya monumentalnya al-Mawsū'ah al-Fiqhiyyah al-Islāmiyyah wa al-Qaḍāyā al-Mu'āṣirah telah, melakukan eksplorasi komprehensif mengenai konstruksi yuridis mekanisme pengakuan nasab (iqrār bi al-nasab).

Pakar fiqh tersebut, secara sistematis mengelaborasi bahwa dalam sistem hukum Islam, validitas penetapan nasab dapat ditempuh melalui tiga kanal hukum yang diakui (thuruq itsbāt an-nasab), yakni: (1) institusi perkawinan baik yang memenuhi syarat kesahan secara formil maupun materil atau pun tidak memenuhi (az-zawāj as-shahīh wa al-fāsid), (2) pernyataan pengakuan nasab secara sukarela (al-iqrār bi an-nasab) oleh subjek hukum yang berkompeten, dan (3) pembuktian hukum melalui instrumen alat bukti yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan secara syar'i (al-bayyinah al-masyrū'ah).

Secara doktrinal, metode iqrār bi al-nasab terbagi menjadi dua bentuk varian yuridis, yaitu: pertama, al-iqrār al-mulzim li nafs al-muqir, yakni pengakuan deklaratif yang bersifat personal dan hanya mengikat pihak yang mengaku; dan kedua, al-iqrār al-mutaʿaddī, yaitu pengakuan yang bersifat relasional dan menimbulkan konsekuensi hukum terhadap pihak ketiga yang terkait dalam struktur hukum keperdataan.

Metode iqrār bi al-nasab sebagai salah satu bentuk itsbāt an-nasab dalam hukum Islam mensyaratkan empat unsur utama untuk memperoleh keabsahan hukum: (1) prinsip majhūl an-nasab, yakni anak yang diakui harus belum memiliki penetapan nasab secara yuridis; (2) terpenuhinya biological plausibility, yaitu kesesuaian usia antara pihak yang mengaku dan anak yang diakui secara logis dan rasional; (3) adanya legal capacity, berupa persetujuan (ridā) dari anak yang telah mencapai usia taklīf, kecuali bagi anak yang belum cakap hukum; dan (4) prinsip exclusivity of acknowledgment, yang melarang pengakuan jika terdapat penisbatan kepada pihak ketiga tanpa bukti (bayyinah) atau pengakuan langsung dari pihak yang bersangkutan.

Pengakuan nasab kehilangan validitas yuridisnya apabila terbukti secara formil melalui mekanisme hukum jināyat (pidana Islam), anak yang diakui merupakan hasil dari hubungan al-zinā yang telah dijatuhi sanksi pidana syar‘i (hudud). Dalam konstruksi hukum Islam, perzinaan yang terbukti dengan standar pembuktian jināyat tidak dapat dijadikan sebagai sabab shar‘ī untuk atribusi nasab, karena bertentangan dengan prinsip ḥifẓ al-nasab dan larangan legitimasi terhadap hubungan yang tidak sah secara syar‘i.

Sebaliknya, apabila seluruh unsur substantif dalam mekanisme iqrār bi al-nasab terpenuhi secara kumulatif, dan tidak terdapat pembuktian formil adanya perzinahan sebagaimana dimaksud, maka penetapan nasab memperoleh kekuatan hukum penuh yang melahirkan konsekuensi keperdataan seperti hak waris (ḥaqq al-mīrāth) dan bersifat tidak dapat dicabut secara sepihak oleh pihak yang mengaku (irrevocable).

Sebagai penutup, dapat ditegaskan bahwa perkembangan hukum nasional Indonesia terkait penetapan nasab anak luar kawin meniscayakan harmonisasi antara norma hukum positif dan prinsip-prinsip fiqh Islam yang menjunjung keadilan substantif. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 memang telah membuka ruang pengakuan keperdataan anak luar kawin, namun dikotomi antara anak sah dan anak biologis masih menyisakan disparitas normatif.

Dalam konteks ini, institusi iqrār bi al-nasab dalam khazanah hukum Islam layak diadopsi sebagai instrumen yuridis sah yang memungkinkan atribusi nasab dalam kerangka syar‘i serta menjamin kesetaraan perlindungan hukum bagi setiap anak. Integrasi mekanisme tersebut ke dalam sistem hukum nasional merupakan bentuk aktualisasi maqāṣid al-syarī‘ah, khususnya dalam menjaga kehormatan dan kesinambungan nasab (ḥifẓ al-nasab), serta penegakan asas nondiskriminasi demi terwujudnya kepentingan terbaik anak dalam kerangka hukum Indonesia.
 

Penulis: Rifqi Qowiyul Iman
Editor: Tim MariNews