Dalam empat tahun terakhir, terjadi pergeseran signifikan dalam tata kelola administrasi kependudukan di Indonesia. Berdasarkan Pasal 5 Ayat (2) huruf b dan Permendagri Nomor 108 Tahun 2019 Pasal 10 Ayat (2) Permendagri Nomor 109 Tahun 2019, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) memperkenalkan status baru dalam dokumen kependudukan termasuk Kartu Keluarga (KK) yaitu status kawin belum tercatat dan cerai belum tercatat.
Pencatatan ini, termasuk untuk Akta Kelahiran anak dari perkawinan belum tercatat, yang diakomodasi dengan pengisian Formulir Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) Perkawinan/Perceraian Belum Tercatat.
Kebijakan tersebut, langsung menimbulkan polemik tajam di kalangan akademisi dan praktisi hukum. Satu pandangan menyatakan bahwa pencatatan ini murni merupakan administrasi pendataan status keluarga untuk penertiban data kependudukan (single identity number) dan sama sekali bukan pengakuan negara terhadap sahnya perkawinan atau perceraian yang belum tercatat.
Namun, pandangan tersebut justru mengabaikan sebuah aspek krusial yang terancam semakin tergerus, yakni tingkat kesadaran hukum (legal consciousness) masyarakat akan pentingnya pencatatan perkawinan yang sah menurut undang-undang.
Definisi dan Indikator Tingkat Kesadaran Hukum
Sebelum melangkah lebih jauh, penting memahami esensi dari kesadaran hukum. Kesadaran hukum (legal consciousness) dapat didefinisikan sebagai perasaan (feelings), pendapat dan pemahaman (collection of ideas, views and understandings), serta sikap dan perilaku (legal attitudes and behaviors) individu atau masyarakat tentang keberadaan dan urgensi hukum dalam mengatur kehidupan sosial.
Kesadaran hukum memiliki beberapa tingkatan yang menentukan kualitas negara hukum berhasil menegakkan hukumnya (rule of law).
Sebagai ilustrasi, seorang sarjana hukum yang pandai memahami dan menyebutkan syarat sahnya suatu perjanjian menurut KUHPerdata (kognitif) belum bisa dikategorikan memiliki kesadaran hukum yang tinggi, namun ketika sarjana tersebut melakukan perbuatan hukum perjanjian, dan dia menerapkan seluruh syarat sah perjanjian yang termaktub dalam KUHPerdata, barulah kesadaran hukum yang tinggi itu akan terwujud (Konatif).
Maka, seseorang yang hanya memahami dan mengetahi perkawinan harus dicatat, memiliki tingkat kesadaran hukum yang rendah. Namun, ketika ia benar-benar menikah dan mendatangi Kantor Urusan Agama (KUA) atau Dukcapil untuk mencatatkan perkawinannya, barulah kesadaran hukumnya berada pada level yang sempurna.
Tingkat kesadaran hukum konatif pencatatan perkawinan di lapangan menunjukkan realitas yang memprihatinkan.
Sebagai sampling, Penulis memperoleh data dari Dukcapil Kabupaten Pandeglang yang menunjukkan 211.000 (dua ratus sebelas ribu) pasangan suami istri yang pernikahannya belum tercatat dan 7.000 (tujuh ribu) pasangan suami istri yang perceraiannya tidak tercatat.
Data ini, sangat memprihatinkan, mengingat kewajiban pencatatan perkawinan telah diundangkan sejak 1974 melalui Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974. Hal ini berarti 51 tahun lamanya, tingkat kesadaran hukum masyarakat Kabupaten Pandeglang tentang pencatatan perkawinan masih sangat rendah.
Ancaman Kemunduran Kesadaran Hukum Semakin Nyata
Awalnya kebijakan Dukcapil yang mengakomodasi status belum tercatat, didasari oleh alasan penertiban data kependudukan dan perlindungan terhadap istri dan anak-anak yang secara faktual sudah hidup dalam status berkeluarga, meskipun perkawinan mereka belum tercatat karena berbagai sebab, seperti multitafsir UU Perkawinan, rendahnya kesadaran hukum, maraknya perkawinan adat dan nikah siri, serta perkawinan beda agama.
Namun, dari sudut pandang kesadaran hukum, terobosan administratif ini justru membawa dampak serius yang bersifat kontradiktif dan destruktif terhadap fondasi negara hukum khususnya perintah pencatatan perkawinan.
Hal ini dapat dilihat dari berbagai faktor di bawah ini:
1. Disharmonisasi dan Inkonsistensi Norma Hukum
Kebijakan Permendagri jelas tidak sinkron dan disharmonis dengan norma hukum yang lebih tinggi dan bersifat khusus (lex superior dan lex specialis), yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (diperbarui dengan UU No. 16 Tahun 2019). UU Perkawinan secara tegas mewajibkan pencatatan perkawinan.
Tindakan Dukcapil menciptakan ketidakpastian hukum dalam administrasi kependudukan. Satu sisi, terdapat asas keharusan (wajib catat), namun di sisi lain muncul kebolehan (dicatat sebagai belum tercatat).
Negara, melalui Dukcapil, justru ikut andil dalam melegitimasi sebuah peristiwa yang belum sempurna sebagai peristiwa hukum perkawinan dengan mencatatkannya dalam dokumen hukum resmi (KK dan KTP).
2. Erosi Kesadaran Hukum Masyarakat (Legal Consciousness)
Ancaman terbesar dari kebijakan ini adalah degradasi kesadaran hukum warga negara dalam pencatatan perkawinan. Dengan adanya kolom kawin belum tercatat dalam KK, kelompok masyarakat yang selama ini berpendapat bahwa nikah siri sah secara agama, namun belum tercatat secara negara, akan merasa lebih aman dan seakan-akan terlindungi.
Pencatatan di KK tersebut, berpotensi memberikan rasa aman semu yang pada akhirnya justru menghambat motivasi mereka untuk mengurus Isbat Nikah (Pengesahan Perkawinan) di Pengadilan Agama.
Hal ini bukan semata-mata asumsi, namun berdasarkan fakta yang Penulis temukan dalam persidangan. Terdapat 20 perkara pengesahan nikah di PA Pandeglang yang telah Penulis wawancara selama pemeriksaan persidangan terkait mengapa mereka tidak mencatatkan perkawinannya dan tidak mengurus segera pencatatan perkawinan.
Para responden menjawab dengan jawaban senada, karena kekurangan biaya, telah memiliki kartu keluarga sehingga menunda pengurusan pengesahan nikah, dan baru mengurus pengesahan nikah karena ada kebutuhan mendesak yang mengharuskan kepemilikan buku nikah, seperti pembuatan paspoor untuk keberangkatan umroh dan haji.
Penulis menggarisbawahi pernyataan para pihak yang menyatakan telah memiliki kartu keluarga, sehingga menunda pengurusan pengesahan nikah.
Terdapat pemahaman para pihak yang merasa aman dan merasa perkawinannya telah diakui oleh negara, karena status perkawinannya dimuat dalam kartu keluarga. Hal inilah yang akhirnya menjadi motivasi untuk menunda-nunda pengajuan pengesahan perkawinan di Pengadilan.
Ketika sebagian masyarakat yang pernikahannya tidak tercatat merasa aman dan merasa perkawinannya telah diakui oleh negara, karena diakomodir dalam kartu keluarga, maka ancaman selanjutnya tentunya akan terjadinya peningkatan nikah tidak tercatat yang baru dan akan terus bertambah.
Hal ini, juga akan menjadi salah satu hambatan baru dalam program sosialisasi perkawinan tercatat yang digadang kementerian dan lembaga lain, seperti Kementerian Agama dan Mahkamah Agung (melalui sidang terpadu Isbat Nikah), yang gencar mensosialisasikan kewajiban pencatatan perkawinan demi kepastian hukum.
3. Menurunkan Nilai Sakral Perkawinan
Secara filosofis, perkawinan dalam Islam dikenal sebagai mitsaqan ghalizhan (perjanjian yang agung dan kokoh). Kewajiban Pencatatannya oleh Negara justru untuk memperkuat posisi perkawinan sebagai mitsaqan ghalizhan (perjanjian yang agung dan kokoh) menjadi peristiwa hukum yang dilindugi negara karena mengandung konsekuensi hak dan kewajiban hukum suami dan istri yang patut dilindungi.
Kebijakan Dukcapil yang membolehkan pencatatan status belum tercatat, tanpa disertai sanksi atau kewajiban untuk segera mencatatkan secara sah, secara implisit mendegradasi nilai mulia perkawinan, seakan-akan hanya menjadi urusan administrasi, dan bukan lagi sebagai perjanjian mulia yang wajib dilindungi hukum negara.
Kesimpulan
Kolom kawin belum tercatat dan cerai belum tercatat pada dokumen kependudukan, meskipun memiliki niat baik untuk perlindungan perempuan dan anak dan penertiban data kependudukan, pada hakikatnya dari perspektif kesadaran hukum (legal consciousness) justru merupakan langkah mundur dalam upaya penegakan rule of law dan penertiban administrasi perkawinan di Indonesia.
Tindakan ini mengancam penurunan kesadaran hukum masyarakat, menciptakan disharmonisasi peraturan, dan melunturkan nilai kepatuhan terhadap Undang-Undang Perkawinan.
Oleh karena itu, penulis berpendapat, perkawinan yang tidak tercatat (yang berarti belum menjadi perbuatan/peristiwa hukum yang dilindungi secara penuh) tidak patut diberi ruang untuk dicatatkan dalam dokumen kependudukan resmi, seperti Kartu Keluarga dan KTP sebagai status yang dilegitimasi secara administratif.




