Adanya persinggungan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dengan cabang hukum lain bukanlah hal baru, meskipun sedikit mendapat perhatian publik.
Sejauh ini, yang menonjol adanya titik singgung Tipikor dengan Hukum Administrasi Negara. Hal ini diawali dengan munculnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.
Titik singgung Hukum Administrasi Negara dengan Tipikor terjadi karena adanya aturan yang saling bersinggungan yaitu terkait penyalahgunaan wewenang dan penyalahgunaan kewenangan, dimana titik singgung ini hanya berlaku terhadap Pasal 3 Undang-Undang Tipikor dan tidak dengan Pasal 2 ayat (1).
Adapun sering luput dari perhatian adalah irisan Tipikor dengan Perdata termasuk Perdata Khusus yang terdiri dari antara lain Kontrak Bisnis, Kepailitan, Pekerjaan Konstruksi, Utang-Piutang dengan Bank dan lain lain.
Dalam sengketa perdata, bisa saja terlihat kasus perdata murni, padahal mengandung unsur tipikor. Ambil contoh, kasus Perdata Budi Said v. Aneka Tambang (Antam) dan Kasus korupsi Budi Said di Antam.
Sebagai informasi, perkara Perdata tersebut dimenangkan oleh Budi Said sampai berkekuatan hukum tetap
Duduk Perkara
Suatu ketika di 2018 Budi Said pemilik PT Tridjaya Kartika Group, sebuah perusahaan properti di Surabaya mendapat informasi ada emas logam mulia (LM) dengan harga diskon yang dijual di butik emas Antam di Surabaya atau BELM Surabaya 01 Antam.
Kemudian (19/3/2018), Budi Said mendatangi kantor BELM Surabaya 01 Antam untuk mengecek informasi tersebut.
Kala itu, Budi Said bertemu dengan Eksi Anggraeni yang mengaku sebagai Marketing di PT Antam. Belakangan diketahui, Eksi bukanlah karyawan atau marketing PT Antam, Eksi adalah broker atau calo.
Dalam pertemuan di kantor BELM Surabaya 01 Antam itu, hadir juga Endang Kumoro selaku Kepala BELM Surabaya 01 Antam dan Misdianto selaku tenaga administrasi BELM Surabaya 01 Antam.
Eksi, selanjutnya memberi penjelasan terkait pembelian LM dengan harga khusus tersebut, dan menawarkan emas batangan kepada Budi Said dengan harga Rp530 juta per kilogram. Penerimaan barangnya 12 hari kerja setelah uang diterima Antam.
Usai pertemuan, Eksi menawarkan diri menjadi kuasa Budi Said selaku pembeli. Alasannya, agar Budi Said tidak sulit mengurus administrasi pembelian. Atas penawarannya itu, Eksi meminta komisi Rp10 juta per kilogram emas yang dibeli Budi Said.
Budi Said lalu membeli 7071 kg atau 7 ton emas senilai Rp3.5 triliun melalui Eksi dan kemudian melakukan sejumlah transaksi melalui Eksi. Total ada 73 transaksi pembelian emas yang dilakukan Budi Said melalui Eksi.
Dengan nilai beli Rp505 juta sampai dengan Rp525 juta per kilogram yang disebut merupakan harga diskon. Selanjutnya, Budi mentransfer dana secara bertahap sebesar Rp3,5 triliun, tetapi hanya menerima 5.935 kg emas atau 5.9 ton.
Masih ada kekuarangan sebanyak 1.136 kg emas yang tidak pernah diterima Budi Said. Seharusnya Budi Said, sebagaimana kesepakatan, mendapatkan emas dengan berat 7.071 kilogram (7 ton). Namun, ia baru menerima 5.935 kilogram (5,9 ton).
Budi kemudian merasa dirugikan dan mengajukan Gugatan ke PN Surabaya. Gugatan dimenangkan oleh Budi Said sampai dengan PK dan Budi hanya kalah di tingkat PT.
Meski menang di Perdata, kelak Budi Said malah ditetapkan menjadi tersangka kasus Tipikor. Menurut Kejaksaan Agung, Budi Said bersama sejumlah orang diduga terlibat permufakatan jahat yang merugikan PT Antam yang merupakan anak usaha BUMN PT Inalum tersebut.
Kejaksaan Agung menduga ada rekayasa dalam transaksi jual beli emas Antam tersebut dengan cara menetapkan harga di bawah harga resmi seakan-akan ada diskon untuk pembelian emas batangan dalam jumlah besar.
Setelah melalui serangkaian persidangan, Budi Said kemudian dinyatakan secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor jo Pasal 3 UU TPPU jo Pasal 55 ayat (1) KUHP, karena dilakukan secara bersama-sama dengan Broker/marketing Antam Eksi Anggraeni, eks GM Unit Bisnis Pengolahan dan Pemurnian Logam Mulia (UBPP LM) Pulo Gadung Abdul Hadi Aviecena, dan sejumlah pegawai Antam.
Budi Said divonis 15 tahun penjara, denda Rp1 miliar subsidair 6 bulan penjara, dan pidana tambahan berupa uang pengganti 58.841 kg emas Antam atau setara dengan Rp35 miliar.
Secara perdata Budi Said dinyatakan benar dan perjanjian jual-beli yang dilakukan antara Budi Said dengan Antam dinyatakan sah. Bahkan putusan yang menguatkan sudah sampai PK.
Secara sepintas tidak ada masalah disana, namun perbuatannya tersebut terkategori permufakatan jahat disana yang merugikan negara, sehingga dikualifisir memenuhi unsur delik Pasal 2 ayat (1) atau setidaknya Pasal 3 UU Tipikor, bahkan memenuhi unsur Pasal 3 UU TPPU.
Sengketa Perdata atau Tindak Pidana Korupsi
Bagi kalangan umum timbul pertanyaan, kenapa bisa terjadi hubungan hukum yang secara perdata sah, tetapi dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi. Seandainya hubungan hukum antara para pihak tidak melibatkan pihak negara dan tidak menimbulkan kerugian negara, hal tersebut tentu tidak jadi masalah.
Secara akuntasi uang yang digunakan Antam berasal dari BUMN yang merupakan induk usahanya in casu PT Inalum. Sehingga kerugian Antam adalah juga kerugian induknya. Sebab, seandainya Antam kesulitan keuangan untuk beroperasi sudah tentu akan ditalangi (bailout) dari induk usahanya yaitu Inalum. Untuk anak usaha BUMN, dapat berlaku UU Tipikor
Contoh lain, kasus penindakan tipikor pada anak usaha BUMN adalah kasus direktur keuangan PT Elnusa yang merupakan anak usaha BUMN Pertamina. Santun Nainggolan semula divonis 6 tahun penjara dan diputus tingkat kasasi menjadi 12 tahun penjara.
Ada banyak kasus yang bisa merugikan negara pada kasus perdata seperti, sengketa kepemilikan, kontrak kerja sama, sengketa asset, kasus jual-beli, akuisisi, hedging, penjualan produk jangka panjang dengan harga murah dan lain lain.
Kasusnya tidak harus penyalahgunaan keadaan (abuse of circumstances), Bahkan adakalanya para pihak sepakat menguntungkan salah satu pihak dan negara dirugikan.
Dari bahasan di atas terlihat bahwa kasus perdata yang melibatkan Pemerintah, BUMN dan anak usaha BUMN bisa saja tidak murni perdata, tetapi hanya digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan keuntungan baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dengan memanfaatkan sengketa perdata sebagai sarana perlindungan.




