Dalam lanskap peradilan Indonesia yang kompleks, sebuah pertanyaan mendasar kerap menghinggapi ruang-ruang persidangan, kapankah suatu perkara menjadi terlalu politis untuk diputus oleh hakim? Pertanyaan ini, membawa kita pada konsep yang dalam tradisi hukum Anglo-Saxon, dikenal sebagai political question doctrine. Sebuah doktrin yang membatasi kewenangan lembaga peradilan, untuk memutus perkara yang dianggap berada dalam ranah politik murni.
Di Amerika Serikat, doktrin ini telah lama jadi instrumen untuk menjaga keseimbangan kekuasaan antara cabang yudikatif dengan eksekutif dan legislatif. Konsep ini pertama kali dirumuskan dalam kasus Marbury v. Madison (1803) dan kemudian dikembangkan dalam Baker v. Carr (1962), yang menetapkan enam kriteria untuk menentukan apakah suatu perkara merupakan political question.
Namun, bagaimana relevansinya dengan sistem peradilan Indonesia yang memiliki karakteristik dan tantangan tersendiri? Lebih penting lagi, seberapa besar kemungkinan doktrin ini dapat atau bahkan perlu diterapkan dalam konteks Mahkamah Agung dan peradilan umum di Indonesia?
Anatomi Peradilan dalam Pusaran Politik
Jika kita amati dengan cermat, realitas peradilan Indonesia menunjukkan sebuah dilema yang menarik. Ketentuan Pasal 24A UUD 1945, menjelaskan Mahkamah Agung, sebagai pengadilan negara tertinggi, yang membawahi lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara, seringkali menemukan dirinya berada di persimpangan antara hukum dan politik.
Ambil contoh sederhana, ketika seorang hakim harus memutus perkara yang menjerat mantan menteri, apakah keputusan itu murni berdasar pertimbangan hukum, ataukah ada elemen politik yang tidak terhindarkan? Atau saat Mahkamah Agung melakukan judicial review terhadap peraturan pemerintah yang kontroversial, di mana batas antara penilaian juridis dan pertimbangan politik?
Pembentuk UUD 1945 sebenarnya telah mencoba mengantisipasi dilema ini. Melalui amandemen keempat, melalui pembentukan Mahkamah Konstitusi dengan kewenangan yang diatur dalam Pasal 24C, meliputi pengujian undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, pembubaran partai politik, dan sengketa hasil pemilihan umum.
Pembagian ini mencerminkan kesadaran akan perlunya pemisahan, antara perkara yang bersifat konstitusional politis, dengan perkara hukum konvensional. Namun, dalam praktiknya, batas itu tidak selalu jelas.
Dilema Korupsi dan Kekuasaan
Mari kita cermati kembali area yang paling mencerminkan kompleksitas hubungan hukum dan politik, penanganan kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan pejabat publik. Pengalaman selama dua dekade reformasi, menunjukkan kasus-kasus semacam ini selalu menimbulkan gejolak, bukan hanya substansi hukumnya, tetapi juga implikasi politiknya.
Pertanyaan mendasar pun muncul, kapan sebuah kasus korupsi menjadi terlalu politis, untuk diputus secara objektif? Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, misalnya, kerap menghadapi berbagai tantangan dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan pejabat publik tinggi. Hakim-hakim kasasi di Mahkamah Agung, pun harus berhadapan dengan dilema yang tidak sederhana, menegakkan supremasi hukum di satu sisi, namun beroperasi dalam lingkungan yang sarat tekanan politik dan sosial di sisi lain.
Inilah yang membuat doktrin political question, relevan untuk direfleksikan. Bukan sebagai alat untuk menghindari tanggung jawab, melainkan sebagai mekanisme untuk mengenali kapan sebuah perkara melampaui batas kemampuan peradilan, guna memberikan solusi yang adil dan efektif.
Mengukur Probabilitas: Antara Kemungkinan dan Hambatan
Jika kita analisis secara realistis, apakah doktrin political question bisa diterapkan di Indonesia? Jawabannya tidak sederhana. Ada beberapa faktor yang membuatnya mungkin, dan ada pula yang menjadi penghalang.
Untuk faktor pendukung, pertama, kompleksitas politik Indonesia yang semakin tinggi memang membutuhkan katup pengaman melindungi independensi peradilan. Judicial reasoning dan review di Mahkamah Agung Indonesia, menunjukkan evolusi dalam pendekatan pengadilan terhadap kasus-kasus yang kompleks, meskipun masih memerlukan pengembangan lebih lanjut. Hal ini, menunjukkan pengadilan telah mulai menyadari perlunya batasan diri.
Kedua, prinsip separation of powers yang dianut sistem ketatanegaraan Indonesia, sebenarnya sejalan dengan semangat political question doctrine. Meski tidak disebutkan eksplisit dalam peraturan perundang-undangan, konsep checks and balances memberikan landasan filosofis yang kuat.
Ketiga, praktik judicial review di Mahkamah Agung, khususnya dalam menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, menunjukkan pengadilan sudah terbiasa melakukan penilaian terhadap batas-batas kewenangannya sendiri.
Namun, ada tantangan yang tidak ringan. Tradisi hukum civil law yang dianut Indonesia cenderung lebih kaku, dalam hal pembatasan kewenangan pengadilan dibandingkan dengan tradisi common law tempat doktrin ini berkembang. Hakim-hakim Indonesia terbiasa dengan aturan yang eksplisit, bukan doktrin yang berkembang melalui yurisprudensi.
Ekspektasi publik juga menjadi faktor penting. Masyarakat Indonesia masih memandang pengadilan sebagai benteng terakhir keadilan. Jika pengadilan mulai menolak perkara dengan alasan terlalu politis, apakah publik akan memahami, ataukah justru menganggapnya sebagai bentuk penghindaran tanggung jawab?
Mencari Jalan Tengah: Formulasi ala Indonesia
Daripada mengadopsi doktrin political question secara mentah-mentah, Indonesia perlu mencari formulasi sendiri yang sesuai dengan karakteristik sistem hukum dan politiknya. Ada beberapa kemungkinan yang bisa dipertimbangkan, antara lain seperti:
1. Mengembangkan kriteria justiciability yang lebih jelas.
Mahkamah Agung dapat mengembangkan yurisprudensi, yang berikan pedoman kapan suatu perkara dapat dianggap tidak dapat diadili, karena sifatnya yang terlalu politis. Kriteria ini tidak harus mengikuti formula Amerika, tetapi disesuaikan dengan konteks Indonesia.
2. Memperkuat mekanisme self-restraint.
Pengadilan dapat mengembangkan prinsip-prinsip penahan diri yang memungkinkan menolak mengadili perkara-perkara tertentu, tanpa harus bergantung pada doktrin formal. Ini lebih fleksibel dan sesuai dengan tradisi hukum Indonesia.
3. Memperbaiki koordinasi antarlembaga.
Sistem komunikasi yang lebih efektif antara lembaga peradilan dengan eksekutif dan legislatif dapat mengurangi potensi konflik kewenangan dan memperjelas batasan-batasan, yang perlu dihormati masing-masing pihak.
Refleksi Penutup
Doktrin political question dalam bentuk apapun, pada dasarnya upaya menjaga keseimbangan dalam sistem demokrasi. Wujudnya, bukan tentang menghindari tanggung jawab, melainkan mengenali batas-batas kewenangan yang sehat dalam sistem kompleks.
Bagi Indonesia, pertanyaannya bukan apakah doktrin ini perlu diterapkan secara kaku, melainkan bagaimana mengembangkan mekanisme, yang memungkinkan peradilan tetap independen tanpa kehilangan akuntabilitasnya kepada publik. Dalam konteks ini, doktrin political question dapat menjadi inspirasi, bukan dogma.
Kita perlu ingat bahwa sistem hukum yang baik, adalah mampu beradaptasi tanpa kehilangan jati dirinya. Doktrin political question, bukan solusi siap pakai, tetapi refleksi atasnya dapat membantu peradilan Indonesia menemukan keseimbangan yang tepat antara keadilan, kepastian hukum, dan kebijaksanaan politik.
Dalam era di mana batas antara hukum dan politik semakin kabur, peradilan membutuhkan kompas yang jelas untuk tetap menjadi penjaga keadilan, tanpa terjebak pusaran politik yang dapat menggerus kredibilitasnya.