Masih hangat di ingatan masyarakat Indonesia peristiwa meninggalnya Brigadir Polisi Yosua Hutabarat, ajudan Irjen Pol. Ferdy Sambo, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Div Propam) Mabes Polri.
Brigadir Polisi Yosua Hutabarat menghembuskan nafas terakhirnya di komplek rumah dinas Mabes Polri, Kecamatan Duren Tiga, Jakarta Selatan. Peristiwa tersebut melibatkan beberapa oknum anggota kepolisian antara lain Irjen Pol Ferdy Sambo, Bripka Ricky Rizal dan Bhayangkara Dua Richard Eliezer (Bharada E).
Selain itu, terdapat juga beberapa oknum anggota Kepolisian RI seperti Brigjen Hendra Kurniawan, Kombes Agus Nurpatria dan beberapa nama lainnya yang diputuskan bersalah karena melakukan tindakan obstruction of justice akibat melakukan perintangan dalam penyidikan atas kejadian meninggalnya Brigadir Yosua Hutabarat.
Salah satu hal yang disorot masyarakat dan secara khusus praktisi atau akademisi hukum dalam meninggalnya Brigadir Yosua Hutabarat adalah, vonis terhadap Bhayangkara Dua Richard Eliezer selama satu tahun dan enam bulan. Bhayangkara Dua Richard Eliezer diputus bersalah turut serta melakukan pembunuhan berencana sebagaimana Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 798/Pid.B/2022/PN Jkt. Sel dan telah berkekuatan hukum tetap. Hukuman tersebut, jauh lebih ringan dari putusan terhadap Terdakwa lainnya yang terlibat dalam pembunuhan Brigadir Polisi Yosua Hutabarat.
Vonis terhadap Bhayangkara Dua Richard Eliezer terkategori ringan untuk perkara pembunuhan berencana, karena Majelis Hakim menilai, Bhayangkara Dua Richard Eliezer sebagai pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum dalam mengungkap perkara (justice collaborator).
Selanjutnya Penulis akan menguraikan lebih lanjut pertimbangan hukum dari Putusan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 798/Pid.B/2022/PN Jkt. Sel tersebut, yang mempertimbangkan status Bhayangkara Dua Richard Eliezer sebagai justice collaborator.
Sejarah Penerapan Justice Collaborator Dalam Pengungkapan Tindak Pidana
Amerika Serikat merupakan entitas negara yang memiliki sistem hukum baik dan sering menjadi contoh pemberlakuan suatu konsep hukum di negara-negara lain. Amerika Serikat pada 1963 memperkenalkan justice collaborator sebagai instrumen pendekatan hukum baru dalam mengungkap suatu tindak pidana, khususnya bagi perkara yang pembuktiannya sulit.
Status justice collaborator pertama kali diberikan di Amerika Serikat kepada Joseph Michael Valachi. Dia dianggap telah bekerja sama dan membantu penegak hukum untuk mengungkap perdagangan narkotika yang dilakukan perkumpulan gangster Genevese, yang mana sebelumnya Joseph Michael Valachi terlibat di dalamnya. Bahkan kesaksiannya diberikan di depan anggota Kongres Amerika Serikat. Akibat keterangannya tersebut, Kepolisian Amerika Serikat melakukan penangkapan terhadap berbagai anggota dari gangster dimaksud.
Penerapan justice collaborator di Amerika Serikat, mendorong berbagai negara untuk menerapkannya, terutama dalam membantu pengungkapan perkara narkotika atau terorisme seperti Italia yang menerapkannya pada 1979, Portugal pada 1980 dan Prancis pada1986.
Pendekatan justice collaborator dalam mengungkap suatu perkara khususnya bagi perkara yang sulit dan terorganisir telah dirumuskan secara internasional melalui dua konvensi yakni, United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) pada 2003 atau Konvensi PBB tentang Anti Korupsi dan United Nation Convention Against Transnational Organized Crime (UNCATOC) atau Konvensi PBB melawan tindak pidana terorganisir transnasional. Adapun kedua Konvensi Internasional dimaksud, telah diratifikasi Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC dan Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan UCATOC.
Selain itu, pemerintah Indonesia juga telah mengakomodir pelaku bekerja sama dengan penegak hukum dalam Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Mahkamah Agung RI juga telah mengeluarkan kebijakan yang memberikan pedoman mengadili pelaku yang berkedudukan sebagai justice collaborator melalui Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (WhistleBlower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborators) Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.
Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Status Justice Collaborator Bhayangkara Dua Richard Eliezer
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengadili perkara Bhayangkara Dua Richard Eliezer diketuai oleh Wahyu Iman Santoso, S.H., M.H. dengan didampingi Morgan Simanjuntak, S.H., M.Hum dan Alimin Ribut Sujono, S.H., M.H. menguraikan dalam pertimbangannya putusannya mengenai dapat atau tidaknya Bhayangkara Dua Richard Eliezer ditetapkan sebagai justice collaborator. Meskipun telah diajukan bukti rekomendasi dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) RI mengenai status Bhayangkara Dua Richard Eliezer sebagai justice collaborator, namun tidak serta merta langsung menjadi justice collaborator.
Selanjutnya Majelis Hakim sebagaimana ketentuan angka 9 Huruf a dari SEMA Nomor 4 Tahun 2011, menentukan seseorang sebagai pelaku yang bekerja sama (justice collaborator), yakni merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini, mengakui kejahatan yang dilakukannya bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.
Selain itu, menurut SEMA Nomor 4 Tahun 2011 dimaksud, justice collaborator dapat diberikan kepada pelaku tindak pidana serius yang bekerja sama seperti korupsi, terorisme, narkotika, pencucian uang, perdagangan orang atau tindak pidana lain yang bersifat terorganisir, telah menimbulkan masalah dan ancaman serius terhadap stabilitas serta keamanan masyarakat sehingga meruntuhkan lembaga serta nilai-nilai demokrasi, etika dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum.
Kemudian Majelis Hakim berpendapat, sesuai perkembangan hukum dan keadilan di masyarakat, pemberlakuan justice collaborator tidak hanya untuk tindak pidana tertentu seperti narkotika dan korupsi, tetapi juga mengacu pada tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai Pasal 28 Ayat 2 Huruf a Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang menjelaskan LPSK RI akan memberikan perlindungan terhadap saksi pelaku yang memiliki syarat tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan Keputusan LPSK sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ayat 2.
Adapun Pasal 5 Ayat 2 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menjelaskan selain tindak pidana korupsi, narkotika dan tindak pidana terorisme, di mana perlindungan LPSK dapat diberikan dalam tindak pidana yang mengakibatkan posisi saksi dan korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan.
Selain itu, negara melalui pembentuk undang-undang telah memberikan kewenangan kepada LPSK untuk memutuskan adanya tindak pidana kasus tertentu antara lain “tindak pidana yang mengakibatkan posisi saksi dan korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan”. Maka dapat dinilai rekomendasi LSPK RI tersebut menjelaskan tindak pidana yang dihadapi Bhayangkara Dua Richard Eliezer termasuk dalam kategori tindak pidana dalam kasus tertentu.
Demikian juga justice collaborator tidak dapat diberikan kepada pelaku utama tindak pidana sesuai Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Meskipun Pasal 55 Ayat 1 KUHP tidak mengenal istilah pelaku utama dalam ajaran deelneming atau penyertaan dan hanya menyebutkan siapa yang termasuk sebagai pelaku/dader, oleh karenanya siapa yang dimaksudkan sebagai pelaku utama diserahkan pada praktek pengadilan.
Bahwa sesuai fakta persidangan, benar Bhayangkara Dua Richard Eliezer melakukan penembakan terhadap Brigadir Yosua Hutabarat, tetapi ide, aktor intelektual dan perancang sekaligius juga yang telah menembak Brigadir Yosua Hutabarat dilakukan Ferdy Sambo. Maka ditarik kesimpulan Ferdy Sambo adalah pelaku utamanya, sedangkan Bhayangkara Dua Richard Eliezer bukanlah pelaku utamanya.
Bhayangkara Dua Richard Eliezer juga telah membuat terang perkara hilangnya nyawa Brigadir Yosua Hutabarat karena memberikan keterangan yang jujur, konsisten, dengan keberanian, keteguhan, logis, serta berkesesuaian dengan alat bukti lainnya, sehingga membantu perkara dimaksud terungkap meskipun untuk itu menempatkan Bhayangkara Dua Richard Eliezer dalam posisi dan situasi yang sangat membahayakan jiwanya, mengingat Bhayangkara Dua Richard Eliezer praktis berjalan sendirian.
Maka Majelis Hakim berpendapat Bhayangkara Dua Richard Eliezer berhak ditetapkan sebagai pelaku bekerjasama (justice collaborator) serta mendapatkan penghargaan sesuai Pasal 10A Ayat 1 dan 3 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, antara lain keringanan penjatuhan pidana, pembebasan bersyarat, remisi tambahan dan hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi saksi pelaku yang berstatus narapidana.
Demikianlah dasar pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 798/Pid.B/2022/PN Jkt. yang mengadili dan memutus perkara Bhayangkara Dua Richard Eliezer. Dengan demikian penjatuhan hukuman pidana kepada Bhayangkara Dua Richard Eliezer salah satunya didasarkan pada perbuatan yang bekerja sama dengan penegak hukum mengungkap peristiwa tersebut.