Keadilan bukan hanya soal aturan yang dipatuhi, tetapi tentang rasa benar yang dirasakan oleh hati. Ia bukan sekadar keputusan yang legal, melainkan sesuatu yang hidup dalam batin manusia, memberi ketenangan dan keyakinan bahwa kebenaran telah ditegakkan. Di sinilah letak pentingnya keadilan substansial, suatu bentuk keadilan yang menggali makna terdalam dari hukum, melampaui formalitas dan teks normatif.
Keadilan substansial berusaha menjawab pertanyaan mendasar, apakah hukum yang diterapkan benar-benar adil dalam konteks konkret? Apakah keputusan yang diambil membawa maslahat, menyentuh nurani, dan memberikan pemulihan? Pertanyaan ini sering menjadi batu uji ketika hukum positif, dengan segala kekakuan dan prosedurnya, tidak selalu memberi ruang bagi rasa keadilan yang sesungguhnya.
Sistem hukum positif pada dasarnya dibangun atas prinsip kepastian, ketertiban, dan proseduralisme. Ia menjamin bahwa setiap orang diperlakukan sama di hadapan hukum. Namun keadilan tidak hanya memerlukan kesamaan perlakuan, tetapi juga kepekaan terhadap perbedaan dan kondisi. Keadilan tidak bersifat seragam, ia kontekstual dan manusiawi.
Ketika hukum diterapkan secara kaku tanpa mempertimbangkan konteks sosial, keadilan substantif sering terabaikan. Seseorang bisa saja dinyatakan bersalah karena aturan dilanggar, padahal secara substansi ia sedang memperjuangkan hak hidupnya. Legalitas berjalan, tetapi rasa keadilan masyarakat terluka.
Filsafat hukum modern menyoroti pentingnya keadilan substansial sebagai dimensi etis dari hukum. Ia tidak menolak hukum positif, tetapi menegaskan bahwa hukum tidak boleh berhenti pada teks. Makna hukum harus digali lebih dalam, mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan dan moral universal. Dalam konteks ini, hukum menjadi lebih lentur dan lebih hidup.
Keadilan substansial menuntut hakim dan aparat penegak hukum untuk tidak hanya membaca pasal, tetapi juga membaca kehidupan. Ia menuntut kebijaksanaan, empati, dan kepekaan. Keadilan yang sejati tidak ditemukan di dalam traktat hukum, tetapi di ruang batin manusia. Oleh sebab itu, keadilan substansial lebih dekat kepada kearifan daripada kalkulasi hukum biasa.
Tantangan besar dalam mewujudkan keadilan substansial adalah sistem hukum yang cenderung legalistik. Ketika peraturan dijadikan patokan tunggal tanpa ruang interpretasi nilai, maka hukum kehilangan wajah manusianya. Di titik inilah, muncul dilema antara menegakkan hukum secara tekstual atau memperjuangkan keadilan secara hakiki.
Banyak negara mulai merespons tantangan ini dengan memperkenalkan konsep restorative justice. Di dalamnya terdapat upaya menjembatani hukum positif dengan nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat. Ini menunjukkan bahwa hukum tidak boleh membantu, tetapi harus bertumbuh bersama kesadaran publik.
Dalam sistem hukum Islam, keadilan tidak sekadar instrumen sosial, melainkan amanah spiritual. Setiap putusan hukum adalah kesaksian moral, bukan hanya teknis yuridis. Oleh karena itu, keadilan substansial tidak hanya menjadi harapan publik, tetapi juga kehendak dari Sang Pembuat Hukum.
Keadilan tidak akan pernah tuntas jika hanya dinilai dari prosedur. Ia harus menyentuh rasa, meresap dalam nurani, dan meninggalkan jejak kebaikan. Keadilan substansial menolak mekanisme hukum yang menindas, dan menuntut pendekatan hukum yang menyembuhkan.
Kisah-kisah hukum yang agung bukan lahir dari ketepatan membaca pasal, melainkan dari keberanian menyuarakan kebenaran di balik bunyi pasal. Di sinilah keadilan substansial memancarkan cahaya. Ia tidak membutakan diri oleh legalitas, melainkan membimbing hukum agar tetap berada dalam jalur kemanusiaan dan kebaikan.
Hukum yang adil tidak hanya membuat masyarakat takut melanggar, tetapi membuat mereka percaya dan tenang. Inilah fondasi keadilan substansial, yaitu hukum yang bukan hanya sah, tetapi juga benar. Bukan hanya melarang, tetapi juga memulihkan.
Keadilan substansial menyentuh wilayah hati. Ia menguji integritas para penegak hukum, dan menghidupkan sisi terdalam dari tugas-tugas yuridis. Ia mengajarkan bahwa hukum adalah alat, bukan tujuan. Tujuannya adalah keadilan, dan keadilan sejati selalu punya wajah kemanusiaan.
Dengan demikian, keadilan substansial adalah cahaya yang menuntun hukum ke arah yang benar. Tanpanya, hukum menjadi sunyi dan kering. Dengannya, hukum menjadi hidup dan membawa berkah. Maka, menjaga keadilan substansial bukan hanya urusan profesional, tetapi juga ibadah, dalam makna yang paling mendalam.