Hukum dan Narasi: Membedah Keadilan Melalui Simbol

Hukum dan narasi bukan dua hal saling bertentangan. Keduanya dapat bersinergi membangun keadilan yang utuh. Narasi memberi jiwa bagi hukum, sementara hukum memberi struktur bagi narasi.
Ilustrasi keadilan hukum. Foto depositphotos.com/
Ilustrasi keadilan hukum. Foto depositphotos.com/

Di balik setiap aturan hukum, tersembunyi sebuah kisah. Hukum tidak hadir dalam ruang hampa. Wujudnya tumbuh dari pengalaman, rasa sakit, perjuangan, dan harapan manusia. Maka hukum sesungguhnya, bukan hanya tentang pasal-pasal, tetapi narasi besar yang dibangun sebuah masyarakat, dalam memahami arti keadilan dan kehidupan.

Narasi adalah jantung dari peradaban. Melalui cerita, nilai-nilai diwariskan, norma disosialisasikan, dan makna keadilan dirumuskan. Hukum yang tidak memahami kekuatan narasi, kehilangan akarnya. Bentuknya menjadi dingin dan mekanis. Sebaliknya, ketika hukum dibaca melalui narasi, jadi lebih manusiawi dan menyentuh nurani.

Dalam sebuah peradilan, simbol dan narasi mainkan peran penting. Seorang hakim yang mengetukkan palu, tidak hanya sedang menjatuhkan putusan, tetapi wujudkan simbol otoritas moral yang bersumber dari kesepakatan sosial. Toga dan bahasa persidangan, bagian  narasi hukum yang dibangun selama berabad-abad.

Narasi, bukan hanya pelengkap hukum, tetapi menjadi dasar pertimbangan. Dalam pendekatan hukum berbasis narasi, seorang hakim mendengarkan bukan hanya fakta formal, tetapi juga latar emosi dan konteks hidup para pihak. Keadilan tidak dilihat dari kacamata hitam-putih, tetapi dari perjalanan hidup yang kompleks dan penuh makna.

Simbol-simbol hukum, tidak boleh diabaikan. Lambang timbangan, bukan hanya ornamen visual, tetapi pesan mendalam tentang keseimbangan, kesetaraan, dan kebijaksanaan. Ketika simbol kehilangan makna, hukum menjadi kosong. Saat simbol dimaknai ulang, hukum menjadi hidup kembali.

Pendekatan naratif dalam hukum membuka ruang bagi empati. Wujdunya mendorong praktisi hukum, untuk tidak hanya memahami hukum sebagai teks, tetapi sebagai kisah manusia yang butuh dipahami dengan hati. Dalam narasi, tidak ada sepenuhnya benar atau salah, yang ada pencarian akan kebenaran, dalam kompleksitas realitas.

Kearifan lokal juga sarat dengan pendekatan naratif. Dalam hukum adat, penyelesaian konflik dilakukan melalui musyawarah, yang dibingkai cerita, petuah, dan perumpamaan. Pendekatan ini, menenangkan jiwa, bukan hanya menyelesaikan perkara. Ia mengobati luka batin, bukan sekadar mengisi kekosongan hukum.

Agama pun menyampaikan hukum melalui cerita. Kisah para nabi, umat terdahulu, dan peristiwa besar dalam kitab suci, adalah bentuk pendidikan hukum dan etika melalui narasi yang hidup. Maka, menghidupkan hukum melalui narasi, sejalan dengan pendekatan spiritual dan transendental.

Hukum yang tidak mampu merangkul narasi, akan mudah kehilangan legitimasi. Bentuknya tidak lagi berbicara dalam bahasa masyarakat dan hanya menjadi alat kekuasaan yang kaku. Padahal, masyarakat membutuhkan hukum yang berbicara dalam bahasa mereka, yakni bahasa cerita, simbol, dan hati.

Di era digital, kekuatan narasi semakin penting. Viralitas kisah korban ketidakadilan, bisa menggerakkan opini publik lebih cepat daripada proses hukum formal. Hal ini menunjukkan, bahwa hukum tidak lagi bisa menutup mata dari kekuatan cerita. Dibutuhkan, bukan hanya argumentasi legal, tetapi juga narasi moral yang kuat.

Pendidikan hukum perlu disegarkan dengan pendekatan naratif. Mahasiswa hukum harus belajar mendengar, memahami latar cerita, dan menyusun argumen, bukan hanya dari pasal, tapi dari pengalaman manusia. Hukum bukan hanya logika, tetapi juga etika yang berakar dalam kisah nyata.

Hukum dan narasi bukan dua hal saling bertentangan. Keduanya dapat bersinergi membangun keadilan yang utuh. Narasi memberi jiwa bagi hukum, sementara hukum memberi struktur bagi narasi. Di titik temu keduanya, lahirlah hukum yang tidak hanya benar, tetapi juga bermakna.

Keadilan, bukan hanya soal apa yang benar, tetapi tentang bagaimana dipahami dan dirasakan oleh mereka yang hidup di dalamnya. Narasi, adalah jembatan menuju pemahaman itu. Sebab keadilan yang tidak dapat diceritakan, tidak akan pernah menyentuh kehidupan.

Dengan demikian, seruan merangkul kembali kekuatan narasi dalam setiap proses hukum, tidak hanya berbicara kepada akal, tetapi juga kepada hati. Maka, biarkan hukum menjadi cerita yang menggugah, bukan sekadar aturan yang membungkam. Dari narasi lahir keadilan yang mengakar dan menyembuhkan. 
 

Penulis: M. Khusnul Khuluq
Editor: Tim MariNews