Keadilan sebagai Cita, Hukum sebagai Realita: Bagaimana Keduanya Bertemu?

Jika hukum dan keadilan mampu saling mendekat, maka masyarakat akan merasa bahwa sistem hukum bukan hanya ruang formal, tetapi rumah tempat mereka berlindung.
Ilustrasi hukum dan keadilan. Foto freepik.com
Ilustrasi hukum dan keadilan. Foto freepik.com

Setiap hukum lahir dari upaya untuk mewujudkan keadilan. Namun dalam praktiknya, keadilan justru kerap menjadi bayang-bayang samar yang sukar disentuh. Antara harapan luhur tentang keadilan dan kenyataan formal dari hukum, terbentang jurang yang tidak mudah dijembatani.

Keadilan adalah cita abadi umat manusia. Ia bersumber dari suara hati dan nilai-nilai moral yang melintasi zaman. Keadilan membisikkan bahwa setiap manusia layak diperlakukan setara, dihargai haknya, dan dibela martabatnya. Ia cenderung sulit dirumuskan, tetapi selalu bisa dirasakan.

Hukum, di sisi lain, adalah realita yang dibangun oleh akal, struktur, dan sistem. Ia butuh tertib, prosedur, dan kepastian. Hukum tidak selalu bisa mengakomodasi seluruh rasa, karena ia bekerja dalam batasan yang dirancang agar objektif, netral, dan terukur.

Masyarakat adat bisa saja dipersoalkan karena mempertahankan tanah yang diwariskan secara turun-temurun. Hukum mungkin berbicara tentang keputusan penguasa yang menjadikan suatu wilayah menjadi wilayah proyek strategis nasional. Namun keadilan bertanya, mengapa tradisi dan hak adat yang telah berumur ratusan tahun bisa kalah oleh sebuah keputusan penguasa?

Pertemuan antara hukum dan keadilan seringkali terhambat oleh pendekatan yang terlalu legalistik. Pada umumnya, hukum disakralkan secara tekstual, seolah setiap pasal telah sempurna menjawab kompleksitas kehidupan. Padahal realitas sosial jauh lebih dinamis dan penuh nuansa.

Di sinilah muncul kebutuhan akan tafsir yang hidup. Hukum harus dibaca dengan hati yang terbuka. Penegak hukum perlu menghadirkan sensitivitas sosial dalam proses hukum, bukan hanya kecermatan teknis. Di titik ini, hukum tidak kehilangan kepastian, namun menemukan jiwa.

Keadilan bukan hanya hasil akhir, tetapi juga proses yang membentuknya. Ketika prosedur dijalankan dengan adil, ketika semua pihak merasa didengar, dihargai, dan diperlakukan manusiawi, maka hukum telah menjadi jalan bagi keadilan, bukan penghalangnya.

Dalam sejarah, para pemikir besar hukum selalu mencari titik temu antara norma dan nilai. Dari Aristoteles hingga Al-Mawardi, dari Aquinas hingga Harkristuti, muncul kesadaran bahwa hukum tanpa keadilan adalah kekosongan, dan keadilan tanpa hukum adalah kekacauan.

Sistem hukum yang bijak adalah sistem yang adaptif. Ia mampu membaca konteks, menerima masukan moral, dan terbuka terhadap perubahan. Hukum yang terlalu kaku akan membatu, sementara hukum yang terlalu cair akan kehilangan bentuk. Di antara keduanya, ada keseimbangan yang harus dicapai.

Islam mengajarkan bahwa hukum adalah wasilah (perantara), bukan tujuan. Tujuan sejatinya adalah keadilan dan kemaslahatan. Maka setiap bentuk hukum yang mengingkari nilai-nilai itu patut ditinjau kembali, bukan disembah buta.

Dalam masyarakat yang semakin kompleks, pertemuan antara keadilan dan hukum harus terus diperjuangkan. Bukan dengan membenturkan keduanya, tetapi dengan merajut dialog antara cita dan realita.

Penegak hukum bukan hanya pelaksana undang-undang. Mereka adalah penjaga nilai, pelayan kebenaran, dan wakil dari harapan masyarakat. Dalam setiap putusan, tersimpan peluang untuk mempertemukan cita keadilan dengan realita hukum secara nyata.

Keadilan tidak harus selalu menang dalam angka. Ia bisa hadir dalam proses yang manusiawi, dalam alasan yang bijak, dan dalam sikap yang tulus. Hukum yang adil tidak selalu memuaskan semua pihak, tetapi ia menumbuhkan rasa hormat dan kepercayaan.

Jika hukum dan keadilan mampu saling mendekat, maka masyarakat akan merasa bahwa sistem hukum bukan hanya ruang formal, tetapi rumah tempat mereka berlindung. Dan saat itulah, keadilan sebagai cita akan menemukan bentuknya dalam hukum sebagai realita.

Penulis: M. Khusnul Khuluq
Editor: Tim MariNews