Kenal Lebih Dekat Fakta dan Harapan Pengadilan di Titik Utara Indonesia

Sebelum berdirinya Pengadilan Negeri (PN) Melonguane, masyarakat Kabupaten Kepulauan Talaud yang ingin mengakses layanan peradilan harus menempuh perjalanan laut dengan rute Talaud–Manado–Sangihe.
Gedung Pengadilan Negeri Melonguane. Foto dokumentasi PN Melonguane
Gedung Pengadilan Negeri Melonguane. Foto dokumentasi PN Melonguane

“Dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote, dari Sabang sampai Merauke, dari Timor sampai ke Talaud, Indonesia tanah airku”, demikian potongan lirik dari jingle salah satu produk mie instan yang cukup sering diperdengarkan di berbagai stasiun televisi nasional.

Salah satu tempat yang disebutkan dalam lirik tersebut, berlokasi di wilayah paling utara Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Kabupaten Kepulauan Talaud, yang titik paling utaranya terletak di Pulau Miangas.

Sebagai lembaga penegak hukum tertinggi, Mahkamah Agung (MA) bertanggung jawab untuk memastikan keadilan dapat diakses secara merata oleh seluruh rakyat Indonesia, termasuk mereka yang tinggal di wilayah perbatasan. Salah satu wilayah tersebut adalah Kabupaten Kepulauan Talaud, yang berbatasan langsung dengan Provinsi Davao Barat dan Timur, Mindanao, di Filipina Selatan.

Komitmen MA dalam memperluas akses keadilan diwujudkan melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2016 tentang Pembentukan Pengadilan Negeri Melonguane. Pengadilan ini dibentuk untuk melayani wilayah hukum seluruh Kabupaten Kepulauan Talaud.

Sebagai langkah awal, pada 22 Oktober 2018, Ketua Mahkamah Agung saat itu, Prof. Dr. H. Muhammad Hatta Ali, S.H., M.H., meresmikan sementara gedung Pengadilan Negeri Melonguane sekaligus melakukan peletakan batu pertama pembangunan gedung permanen. Peresmian ini dilakukan bersamaan dengan 85 pengadilan negeri baru lainnya di seluruh Indonesia.

Menariknya, dari seluruh lokasi pengadilan baru tersebut, Pengadilan Negeri Melonguane dipilih sebagai pusat peresmian oleh pimpinan MA, mengingat posisinya sebagai salah satu wilayah terluar di Tanah Air. Sejak saat itu, 22 Oktober diperingati setiap tahun sebagai hari lahir Pengadilan Negeri Melonguane.

Sejak diresmikan pada 22 Oktober 2018, Pengadilan Negeri (PN) Melonguane telah mengalami beberapa kali pergantian pimpinan. Ketua pertama adalah Julius Christian Handratmo yang menjabat pada periode 2018–2020. Selanjutnya, tongkat kepemimpinan dipegang oleh Tri Asnuri Herkutanto (2020–2021), lalu dilanjutkan oleh Sugeng Harsoyo (2021–2022). Setelah itu, Syahreza Papelma memimpin sebagai Ketua PN Melonguane dari 2022 hingga 2024, setelah sebelumnya menjabat sebagai Wakil Ketua. Saat ini, posisi Ketua masih kosong dan diisi sementara oleh Nur’ayin yang merangkap jabatan sebagai Wakil Ketua.

Wilayah hukum PN Melonguane mencakup seluruh Kabupaten Kepulauan Talaud, salah satu wilayah perbatasan strategis Indonesia. Kabupaten ini memiliki luas wilayah laut sekitar 37.800 km² (95,24%) dan daratan seluas 1.251,02 km². Di wilayah ini terdapat dua pulau utama, yaitu Pulau Karakelang dan Pulau Salibabu, serta sejumlah pulau kecil lainnya yang tergolong daerah 3T (tertinggal, terluar, dan terdepan).

Beberapa pulau tersebut di antaranya: Pulau Kabaruan, Miangas, Kakorotan, Marampit, Karatung, Mangupun, Malo, Intata, Garat, Saraa Besar, Saraa Kecil, Nusa Topor, Nusa Dolong, serta Karang Napombalu yang merupakan gunung laut. Keberadaan pulau-pulau tersebut menegaskan pentingnya peran PN Melonguane dalam memastikan akses keadilan hingga ke pelosok dan perbatasan terluar Indonesia.

Kabupaten ini berasal dari pemekaran wilayah Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Talaud pada 2002. Kepulauan Talaud terletak di bagian utara pulau Sulawesi, dan merupakan wilayah paling utara di Indonesia Timur yang berbatasan langsung dengan Negara Filipina. Setelah dimekarkan pada 2002 hingga 2018, masyarakat pencari keadilan di wilayah ini masih dilayani oleh Pengadilan Negeri Tahuna di Kabupaten Kepulauan Sangihe. 

Sebelum berdirinya Pengadilan Negeri (PN) Melonguane, masyarakat Kabupaten Kepulauan Talaud yang ingin mengakses layanan peradilan harus menempuh perjalanan laut dengan rute Talaud–Manado–Sangihe. Artinya, warga Kota Melonguane harus terlebih dahulu berlayar ke Manado, baru melanjutkan perjalanan laut ke Kabupaten Kepulauan Sangihe, lokasi Pengadilan Negeri Tahuna berada. Jarak dan waktu tempuh yang panjang tentu menjadi tantangan besar bagi para pencari keadilan.

Kini, dengan hadirnya PN Melonguane, akses terhadap layanan hukum menjadi lebih dekat dan mudah dijangkau oleh masyarakat Talaud. Namun, tantangan belum sepenuhnya hilang. Sebagian besar wilayah hukum PN Melonguane terdiri dari pulau-pulau terpencil yang sulit dijangkau, seperti Pulau Kabaruan, Pulau Karatung, dan Pulau Miangas.

Untuk menjawab tantangan tersebut, sejak 2024, PN Melonguane telah melaksanakan program sidang di luar gedung pengadilan guna menjangkau masyarakat di pulau-pulau terluar. Program ini menjadi solusi konkret dalam memperluas akses keadilan secara merata, meski di tengah keterbatasan geografis.

Kondisi sosial dan ekonomi masyarakat Talaud pun menjadi perhatian. Keterbatasan infrastruktur dan minimnya produksi lokal mengharuskan pasokan bahan pokok didatangkan dari Manado atau Bitung, yang berdampak pada tingginya harga kebutuhan sehari-hari. Ironisnya, hingga kini para hakim di PN Melonguane belum menerima tunjangan kemahalan zona khusus, meskipun PN Tahuna-pengadilan induk sebelumnya-telah menerimanya.

Melihat kondisi geografis yang lebih terpencil dan akses yang lebih sulit, sudah selayaknya aparatur peradilan di PN Melonguane juga mendapatkan tunjangan serupa sebagai bentuk keadilan dan penghargaan atas pengabdian di wilayah perbatasan.

Keadaan alam yang cukup ekstrim, gempa bumi, bahkan tsunami menjadi ancaman di wilayah ini. Karena letaknya yang berada di Samudera Pasifik, dan masuk dalam jalur Lingkaran Api Pasifik.

Meskipun demikian semangat aparatur Pengadilan Negeri Melonguane yang berjumlah tujuh hakim termasuk wakil ketua, 12 pegawai, dan tujuh pegawai pemerintah nonpegawai negeri tidak surut untuk bersama-sama berupaya untuk menegakkan hukum dan keadilan di Bumi Porodisa tersebut. Sejalan dengan semboyan daerah tersebut “Sansiote Sampate-pate” yang bermakna kebersamaan dalam satu persatuan.