Kesiapan Mahkamah Agung Menghadapi Kejahatan Pembakaran Hutan

Kesiapan Mahkamah Agung melalui Pengadilan Negeri menghadapi kejahatan pembakaran hutan, tercermin dari penanganan berbagai kasus lingkungan hidup sepanjang 2025.
Petugas gabungan yang salah satunya terdiri dari unsur kepolisian berhasil memadamkan titik api di Rokan Hulu. Foto Instagram Kapolda Riau: instagram.com/herryheryawan/
Petugas gabungan yang salah satunya terdiri dari unsur kepolisian berhasil memadamkan titik api di Rokan Hulu. Foto Instagram Kapolda Riau: instagram.com/herryheryawan/

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi di Rokan Hulu pada Juli 2025, kembali mengingatkan urgensi penegakan hukum yang tegas terhadap kejahatan lingkungan. Tragedi yang menghanguskan sekitar 200 hektare kawasan hutan di Desa Menaming, Kecamatan Rambah, bukan hanya merusak ekosistem, tetapi juga mengganggu aktivitas pendidikan dengan meliburkan 208 sekolah.

Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif, telah menjaga komitmen penegakan hukum lingkungan, termasuk dalam kejahatan pembakaran hutan. Sebagai contoh praktik, penegakan hukum kejahatan pembakaran hutan, dapat merujuk pada perkara reseden penting dalam penegakan hukum karhutla, sebagaimana putusan Nomor 349/Pid.B.LH/2019/PN Plw.

Perkara 349/Pid.B.LH/2019/PN Plw menjatuhkan pidana yang tegas pada terdakwa, yakni PT Sumber Sawit Sejahtera. Putusan tersebut, tidak hanya menjatuhkan pidana denda sebesar Rp3 miliar, tetapi juga menetapkan pidana biaya perbaikan lingkungan sejumlah Rp38 miliar . Pendekatan ini, menunjukkan bahwa pengadilan telah memahami kerusakan lingkungan memerlukan pemulihan yang proporsional dengan tingkat kerugian ditimbulkan.

Kesiapan Mahkamah Agung melalui Pengadilan Negeri menghadapi kejahatan pembakaran hutan, tercermin dari penanganan berbagai kasus lingkungan hidup sepanjang 2025. Data menunjukkan adanya peningkatan putusan pidana khusus lingkungan hidup, yang diproses tingkat kasasi, di mana menandakan sistem peradilan bekerja secara sistematis, dari tingkat pertama hingga tingkat tertinggi.

Efektivitas penegakan hukum, tidak hanya bergantung pada putusan yang berat. Pengadilan Negeri perlu diperkuat kapasitasnya, dalam memahami aspek teknis kerusakan lingkungan, termasuk metode perhitungan kerugian ekologis dan ekonomis. Hakim-hakim yang menangani perkara lingkungan, memerlukan pemahaman mendalam tentang dampak jangka panjang pembakaran hutan terhadap perubahan iklim dan keanekaragaman hayati.

Pengejawantahan keadilan lingkungan, perlu menjadi falsafah dari pemeriksaan peradilan.
Situasi karhutla Rokan Hulu 2025, dapat jadi momentum bagi Mahkamah Agung untuk memperkuat standardisasi penanganan kasus pembakaran hutan di Pengadilan Negeri.

Diperlukan pedoman yang jelas mengenai perhitungan ganti rugi lingkungan, mekanisme eksekusi putusan, dan koordinasi dengan instansi terkait dalam pemulihan ekosistem.

Kesiapan Mahkamah Agung didukung Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), yang telah memperluas sistem pembuktian dengan menambahkan kategori alat bukti baru, melengkapi ketentuan dalam KUHAP.

Alat bukti tambahan dimaksud, mencakup data elektronik yang dapat ditransmisikan, diterima, atau disimpan dalam format digital, magnetik, maupun elektronik lainnya. Selain itu, meliputi berbagai bentuk dokumentasi seperti rekaman, keterangan, atau informasi, yang dapat diakses melalui indra penglihatan, pendengaran, dan bacaan, baik dengan dukungan teknologi maupun tanpa bantuan lembaga tertentu.

Ketua Mahkamah Agung melalui Keputusan Nomor 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup, turut memperkuat ekspansi sistem pembuktian dalam kasus-kasus lingkungan. Regulasi ini, memperkenalkan konsep alat bukti ilmiah sebagai instrumen pembuktian yang tidak tercantum dalam KUHAP konvensional.

Alat bukti ilmiah dirancang khusus menganalisis dan memvalidasi permasalahan lingkungan hidup. Sebagai ilustrasi, bukti ilmiah dapat digunakan mengidentifikasi karakteristik pembakaran lahan gambut atau tanah, termasuk membedakan pembakaran yang dilakukan secara sengaja dengan pembakaran spontan. Penerapan alat bukti ilmiah ini, sangat krusial bagi aparat penegak hukum, mulai dari penyidik, jaksa penuntut umum, hingga hakim dalam membuktikan unsur-unsur tindak pidana lingkungan di persidangan.

Upaya pencegahan, wajib menjadi bagian integral dari strategi hukum. Putusan yang tegas dan komprehensif, seperti dalam kasus Nomor 349/Pid.B.LH/2019/PN Plw, dapat menjadi standar minimal, bukan pengecualian. Efek jera yang dihasilkan dari kombinasi pidana denda dan biaya pemulihan lingkungan yang signifikan, menjadi instrumen pencegahan efektif.

Ke depan, sinergi Mahkamah Agung, Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia, dan instansi penegak hukum lainnya, kunci keberhasilan memberantas kejahatan pembakaran hutan. Kesiapan sistem peradilan, dalam menghadapi kompleksitas perkara lingkungan akan menentukan masa depan kelestarian hutan Indonesia.