Ketika Keadilan Terkepung Banjir: Kisah Heroik Hakim Menembus Isolasi Demi Keluarga di Tengah Lumpuhnya Aceh, Sumut, dan Sumbar

Selama beberapa hari, Indonesia diselimuti duka. Hujan yang turun tiada henti di Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar) kembali menguji ketangguhan.
Keadaan situasi Langsa pasca banjir yang merupakan tempat tinggal salah seorang rekan Hakim MS Langsa, Yasin Yusuf Abdillah. | foto: Dokumentasi Yasin Yusuf Abdillah
Keadaan situasi Langsa pasca banjir yang merupakan tempat tinggal salah seorang rekan Hakim MS Langsa, Yasin Yusuf Abdillah. | foto: Dokumentasi Yasin Yusuf Abdillah

Selama beberapa hari, Indonesia diselimuti duka. 
Hujan yang turun tiada henti di Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar) kembali menguji ketangguhan. 
Sungai-sungai meluap tanpa ampun, membawa lumpur dan balok kayu yang merendam permukiman, memutus jembatan, dan melumpuhkan jalan. 
Banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi sejak 26 November 2025 ini, bukan hanya merenggut harta dan rasa aman, tetapi juga menyisakan trauma mendalam, memaksa warga menyelamatkan diri dalam hitungan menit.

Ketika Keadilan Terkepung Bencana
Dampak bencana ini terasa hingga ke lini terdepan penegakan hukum. 
Sejumlah kantor Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan Negeri di ketiga provinsi mengalami kerusakan parah, bahkan lumpuh total. 
Tidak hanya infrastruktur, banyak warga peradilan yang menjadi korban langsung; rumah terendam, perabotan rusak, bahkan kendaraan hanyut terbawa derasnya aliran air.
Kondisi ini diperparah dengan isolasi total. Akses via darat terputus karena jalan yang rusak parah dan jembatan runtuh. 
Listrik padam, internet terputus, dan komunikasi menjadi lumpuh, menyulitkan koordinasi bantuan dan pemulihan.

Di Aceh, banjir datang tiba-tiba, menggenangi rumah hingga beberapa meter, memaksa keluarga mengungsi ke sekolah dan balai desa dengan pakaian basah dan tubuh menggigil. 
Anak-anak menangis ketakutan, sementara orang tua menatap kosong, memikirkan nasib rumah yang mereka tinggalkan. 
Di Sumatera Utara, persoalan tak berhenti pada genangan. Akses jalan terputus karena jembatan yang hanyut dan tanah longsor yang menutup badan jalan, membuat sejumlah desa terisolasi total. 
Sementara di Sumatera Barat, rumah panggung pun tak mampu menahan derasnya banjir bandang. Beberapa warga terjebak di tengah hutan ketika longsor menutup jalan keluar. Mereka hidup dalam ketidakpastian, bertahan dengan sedikit makanan, menunggu uluran tangan.

Kisah Sang Hakim: Tiga Hari Terpisah dari Keluarga
Bencana banjir hebat yang melanda Aceh tidak hanya menyisakan kerugian materi, tetapi juga menorehkan kisah luar biasa tentang ketabahan dan solidaritas kemanusiaan. 
Kisah inspiratif tersebut datang dari Yasin Yusuf Abdillah, seorang Hakim di Mahkamah Syar’iyah (MS) Langsa, yang menghadapi situasi genting yang menguji batas fisik dan mentalnya.

Kisah perjuangan Yasin ini, berhasil Penulis dapatkan langsung dari sumbernya, melalui wawancara singkat via chat WhatsApp yang dilakukan pada malam tadi, 3 Desember 2025. 

Kebetulan, Penulis dan Yasin memiliki ikatan profesi sebagai sesama rekan Hakim, sehingga informasi mengenai upayanya menembus isolasi demi keluarga dapat disajikan secara mendalam. 
Perjuangan Yasin membuktikan, di tengah bencana, semangat untuk melindungi keluarga dan nilai-nilai kemanusiaan tetap membara.

Hujan deras telah turun sejak 22 November 2025, dan pada pukul 03.00 subuh, 26 November 2025, air mulai masuk dan membanjiri rumah sewa Yasin di Langsa hingga mencapai ketinggian sepinggang orang dewasa.

Dalam kondisi darurat itu, Yasin segera beraksi. 
Ia berhasil keluar rumah menggunakan mobil untuk membawa dua anaknya, yang masih berusia lima tahun dan tiga tahun, ke tempat yang lebih aman. 
Sayangnya, upaya menuju Kuala Simpang terhenti karena jalan terputus akibat pohon tumbang dan genangan air yang tak memungkinkan dilalui. 
Ia terpaksa berbalik arah dan mengungsi di sebuah SPBU.

Sementara itu, istri Yasin yang juga Hakim di MS Kuala Simpang, bersama anak bungsu mereka yang masih bayi, terperangkap di lokasi berbeda. 
Selama beberapa hari, Yasin dan kedua anaknya terisolasi, tanpa kabar pasti tentang nasib istri dan bayinya karena Kuala Simpang tidak bisa ditembus dan terputusnya komunikasi.

Di tengah ketiadaan kabar tersebut, semangat solidaritas sesama insan peradilan dan masyarakat setempat menjadi penopang hidup Yasin dan anak-anaknya. Meskipun ia bukan penduduk asli, ia dibantu bertahan hidup oleh sesama warga peradilan yang mengungsi di mess yang aman dari banjir, serta masyarakat di sana yang saling tolong-menolong.

Tak ingin berlama-lama dalam ketidakpastian, pada 30 November 2025, hari keenam musibah, Yasin mengambil keputusan luar biasa. 

Ia memulai perjalanan panjang dan berat dari Langsa menuju Kuala Simpang. Perjalanan ini adalah kombinasi perjuangan fisik yang harus ia tempuh: menerobos beberapa titik banjir dengan sepeda motor, dilanjutkan menyeberang menggunakan perahu kecil, dan diakhiri dengan berjalan kaki.

Perjuangan itu membuahkan hasil. 
Yasin akhirnya bertemu dengan istri dan bayi mereka, dan berhasil membawa mereka kembali ke Langsa untuk mengungsi. 
Hingga 3 Desember 2025, Yasin dan keluarganya masih berada di mess pengungsian, disibukkan dengan membersihkan rumah sewa mereka di Langsa yang dipenuhi lumpur setinggi semata kaki akibat banjir.

Solidaritas Indonesia: Cahaya di Tengah Ketidakpastian
Kisah Yasin ini selaras dengan pandangan yang disampaikan oleh Khoiruddin Hasibuan, dalam tulisannya yang menginspirasi dengan judul, “Setetes Kepedulian, Lautan Harapan: Menyalakan Aksi Solidaritas untuk Aceh, Sumut, dan Sumbar”, Penulis mengutip kata "Setetes Kepedulian yang Menjadi Sumber Kekuatan" dimana kepedulian dari luar sangat diharapkan, datang sebagai "setetes kepedulian" untuk mengimbangi aliran air yang begitu deras.

Bantuan datang dalam berbagai wujud: sumbangan sebungkus mi instan dari dapur Ibu rumah tangga, uang jajan yang disisihkan pelajar dan mahasiswa, aksi galang dana spontan di jalanan oleh komunitas, hingga doa bersama yang dipanjatkan pemuka agama. 
Kepedulian ini sangat bermakna bagi para korban. Mereka merasa diingat dan dicintai oleh bangsanya sendiri, memberikan sinar hangat pengganti mentari yang seolah berhenti memberikan kehangatan. 
Warga yang terisolasi di desa yang sulit dijangkau, akan menemukan rasa bahwa bangsa ini tidak meninggalkan mereka.

Tantangan dan Seruan Persatuan
Salah satu tantangan terbesar adalah sulitnya menjangkau beberapa lokasi yang terisolasi total akibat longsor dan jembatan runtuh. 
Gerakan solidaritas kini dituntut untuk tidak biasa-biasa saja. Dibutuhkan kreativitas, koordinasi, dan keberanian: Kelompok relawan dan medis harus menjadi garis depan untuk evakuasi darurat; lembaga kemanusiaan perlu membuat strategi distribusi yang tidak bergantung pada satu jalur saja. 
Di titik inilah, masyarakat Indonesia dari seluruh lapisan benar-benar dibutuhkan.

"Musibah banjir menyeret banyak hal: harta, rasa aman, bahkan rutinitas yang selama ini dianggap biasa," kata Khoiruddin Hasibuan. 
"Namun, ada satu hal yang tidak dapat hanyut, yaitu keteguhan dan kebesaran hati yang dimiliki rakyat Indonesia. Bencana boleh datang mengancam, tetapi solidaritas harus selalu datang menyembuhkan.”

Penulis: M. Yanis Saputra
Editor: Tim MariNews