Korporasi Perikanan Pelaku Ilegal Fishing Nyaris tak Tersentuh Proses Hukum, Mengapa?

Illegal Fishing terjadi, karena luasnya jangkauan wilayah perairan Indonesia yang harus diawasi.
Ilustrasi illegal fishing. Foto : Freepik
Ilustrasi illegal fishing. Foto : Freepik

Berdasarkan Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan dinyatakan bahwa korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisir baik merupakan badan hukum maupun bukan.

Sedangkan yang dimaksud dengan korporasi perikanan, adalah badan usaha atau organisasi yang bergerak dalam usaha perikanan, baik sebagai badan hukum maupun bukan, untuk mengelola usaha secara profesional guna meningkatkan kesejahteraan pemiliknya. 

Pada umumnya armada kapal perikanan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di seluruh Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI), adalah merupakan milik korporasi, baik bernaung dalam badan hukum atau tidak.

Untuk melindungi kelestarian sumber daya kelautan dan perikanan, memberikan kepastian dan perlindungan hukum dan untuk mengangkat kesejahteraan pelaku usaha perikanan dari persaingan usaha yang tidak sehat, pemerintah telah mengatur dan menetapkan ketentuan perizinan berusaha perikanan melalui undang-undang.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada Paragraph 2 Bidang Kelautan dan Perikanan, telah mengamanatkan ketentuan perizinan berusaha pada bidang perikanan yang termuat dalam Pasal 26 ayat (1). 

Pasal 26 Ayat 1 diatas, Perizinan berusaha dibidang perikanan secara teknis dijabarkan melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan, untuk memberikan kemudahan bagi para pelaku usaha perikanan. 

Meskipun perizinan perikanan telah mengalami transformasi dan mudah diakses oleh para pelaku usaha, namun sampai saat ini kasus penangkapan ikan tidak sah (illegal fishing) masih terus terjadi, baik yang dilakukan oleh kapal ikan Indonesia, kapal ikan asing maupun penangkapan ikan ilegal secara bersama antara kapal ikan Indonesia dengan kapal ikan asing dengan memanfaatkan kekosongan pengawasan oleh aparat penegak hukum.

Illegal Fishing terjadi, karena luasnya jangkauan wilayah perairan Indonesia yang harus diawasi.  

Berdasarkan siaran pers Kementerian Kelautan dan Perikanan Nomor: tanggal 23 Desember 2024 dan tanggal 20 Mei 2025, menyatakan KKP berhasil mengamankan sebanyak 272 kapal ikan yang terlibat dalam praktik illegal fishing, yang terdiri dari 39 kapal berbendera asing dan 233 kapal ikan Indonesia. 

Kerugian negara yang diakibatkan oleh aksi illegal fishing tersebut, ditaksir mencapai Rp4,474 triliun.

Awak kapal ikan yang terlibat illegal fishing tersebut, sudah dilakukan proses hukum dan nakhoda sebagai pemimpim tertinggi diatas kapal telah dijatuhi hukuman. Sedangkan barang bukti kejahatannya dirampas untuk negara, berdasarkan putusan pengadilan. 

Namun, ironis dibalik maraknya illegal fishing yang terjadi secara berulangkali di WPPNRI, korporasi perikanan sebagai pemilik usaha yang mendanai seluruh biaya operasional melaut, sampai dengan saat ini nyaris tidak tersentuh dan dijerat proses hukum.

Tantangan dan kesulitan yang dihadapi aparat penegak hukum khususnya penyidik untuk menjerat korporasi perikanan, berkaitan dengan teknis mengumpulkan barang bukti kejahatan yang dilakukannya, karena pada umumnya pelaku dan eksekutor dilapangan adalah nakhoda, fishing master dan dibantu oleh anak buah kapal ikan, sementara pengurus yang mewakili korporasi perikanan tidak terjun langsung di lapangan. 

Namun, bilamana dilihat dari kemampuan dan aksesibilitas terhadap modal usaha, tenaga kerja, pengembangan bisnis, dan pasar, bukan berarti adanya indikasi keterlibatan korporasi yang ingin mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan melanggar norma hukum, tidak bisa digali dan dibuktikan oleh aparat penegak hukum di ruang sidang, seperti kasus illegal fishing sebagai berikut: 

  1. Penangkapan ikan ilegal, karena tidak memiliki perizinan berusaha yang sah dari pemerintah; 
  2. Penangkapan ikan ilegal, disebabkan menggunakan bahan dan/atau bangunan dan/atau alat tangkap ikan yang dilarang;
  3. Alih muat ilegal ikan hasil tangkapan, BBM, bahan logistik dan ABK di tengah laut dengan kapal ikan asing;
  4. Pemalsuan dokumen perizinan berusaha kapal perikanan.

Korporasi perikanan sebagai pemilik usaha memikul tanggung jawab dan kewajiban yang harus dipenuhi sebagai berikut:

  1. Memastikan kapal ikan miliknya telah memiliki dokumen perizinan berusaha yang sah dari pemerintah; 
  2. Memastikan jenis alat tangkap ikan yang dipergunakan oleh kapal ikan miliknya tidak dilarang; 
  3. Melaksanakan kegiatan usaha, sesuai dengan ketentuan dan jenis perizinan berusaha perikanan yang dimiliki;
  4. Memenuhi kebutuhan operasional melaut yang cukup, meliputi BBM, persediaan bahan makanan dan obat-obatan untuk awak kapal, suku cadang mesin dan kebutuhan operasional lainnya;
  5. Membuat perjanjian kerja laut dengan awak kapal untuk menjamin hak dan kewajiban kedua belah pihak, serta harus disyahkan oleh syahbandar.

Sementara nakhoda memiliki tugas dan tanggung jawab sebagai berikut:

  1. Sebagai pemimpin tertinggi di atas kapal; 
  2. Bertanggung jawab atas keselamatan kapal dan awak kapal;
  3. Bertanggung jawab pada kegiatan penangkapan ikan, pengangkutan ikan dan kegiatan lainnya sesuai dengan ketentuan perizinan berusaha perikanan; 
  4. Memastikan kelaiklautan kapal;
  5. Menjaga ketertiban, melaksanakan prosedur navigasi dan pelaporan; 
  6. Mengatur kerja awak kapal, memelihara peralatan, dan menjaga lingkungan laut dari kerusakan dan pencemaran.

Hubungan kerja sama antara korporasi dengan nakhoda sangat erat dan tidak bisa dipisahkan, seperti dua sisi dari satu keping mata uang yang memiliki peran dan tanggung jawabnya masing-masing untuk memastikan roda bisnisnya bisa berjalan lancar.

Oleh karenanya, alasan pemaaf tidak bisa dibenarkan atas kelalaian atau kealpaan, seandainya tidak dipenuhi tanggungjawab dan kewajiban korporasi yang menyebabkan terjadinya pelanggaran hukum oleh kapal ikan miliknya.  

Penulis memandang tantangan dan kendala yang dihadapi aparat penegak hukum, dalam memeriksa korporasi terduga terlibat kasus illegal fishing sangat kompleks sebagai berikut;

  1. Penyidik lebih terfokus melakukan pemeriksaan terhadap awak kapal sebagai pelaku langsung di lapangan, karena dibatasi waktu 30 hari kalender dokumen pemeriksaan harus sudah lengkap dan diserahkan ke JPU;
  2. Nakhoda atau awak kapal cenderung menutupi keterlibatan langsung pemilik korporasi dalam aksi illegal fishing; 
  3. Barang bukti elektronik berupa percakapan atau pesan tertulis melalui handphone dengan pengurus korporasi sulit didapatkan, karena percakapan lebih banyak dilakukan menggunakan saluran radio yang ada di kapal; 
  4. Kedudukan dan alamat korporasi yang terlibat illegal fishing berada jauh di luar kota dan sulit dihubungi;
  5. Pengurus korporasi menghilangkan barang bukti dan melarikan diri untuk menghindari hukuman; 
  6. Pengurus korporasi menggunakan perusahaan boneka sebagai kaki tangannya untuk menghilangkan jejak aksi illegal fishing;
  7. Korporasi pemilik kapal ikan asing alamatnya tidak jelas dan berada diluar negeri sehingga sulit dijangkau; 
  8. Perjanjian kerja sama antara korporasi dengan eksekutor kegiatan illegal fishing lebih banyak dibuat atas dasar kepercayaan secara lisan; 
  9. Adanya makelar kasus yang melalui berbagai cara berusaha menggoda dan menyuap aparat penegak hukum. 

Untuk mendalami dan mencari bukti keterlibatan korporasi pada tindakan illegal fishing dapat ditempuh melalui langkah-langkah sebagai berikut:

  1. Pemeriksaan terhadap pengurus korporasi perlu dilakukan secara terpisah (splitsing) agar lebih efektif; 
  2. Memeriksa dokumen perizinan yang harus dimiliki korporasi yang meliputi perizinan usaha perikanan, surat ukur kapal, Standar Laik Operasi (SLO), Surat Persetujuan Berlayar (SPB), Perjanjian Kerja Laut (PKL), logbook kapal ikan dan VMS kapal, apabila terdapat ketidaksesuaian data dengan fakta di lapangan bisa menandakan ada indikasi adanya aktivitas yang ilegal;   
  3. Memeriksa keuangan perusahaan untuk mengetahui asal modal usaha dan seluruh transaksi keuangan yang mencurigakan keterlibatan dalam kegiatan illegal fishing;
  4. Memeriksa data elektronik navigasi, alat komunikasi kapal dan handphone milik awak kapal untuk mengetahui keterlibatan korporasi dalam kegiatan illegal fishing;
  5. Memeriksa saksi kunci; awak kapal, pejabat pelabuhan, karyawan perusahaan dan mitra bisnis perusahaan.

Ketentuan pidana untuk korporasi perikanan dinyatakan tegas dalam Pasal 84 Ayat 3 UU Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan,dengan ancaman pidana penjara selama 10 tahun dan denda 2 miliar rupiah. Sedangkan Pasal 92, menyiapkan ancaman pidana penjara 8 tahun dan denda 1,5 miliar rupiah.

Tujuan pemidanaan pelaku illegal fishing bukan untuk balas dendam, tetapi dalam rangka mencegah terjadinya kejahatan serupa di masa mendatang, memberikan efek jera, menjaga kelestarian sumberdaya ikan dan penanggulangan kerusakan lingkungan, memberikan rasa keadilan dan keamanan bagi masyarakat khususnya nelayan.   

Kesimpulan:

Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

  1. Korporasi sebagai penyandang dana dan pelaku illegal fishing di WPPNRI, yang sangat merugikan secara ekonomi dan ekologi bagi bangsa Indonesia sebagian besar tetap eksis dan bisa menjalankan usahanya dengan leluasa, karena menggunakan perusahaan boneka sebagai kaki tangannya yang mengendalikan langsung kegiatan illegal fishing di lapangan, sehingga menyulitkan aparat penegak hukum dalam mengumpulkan barang bukti kejahatannya;
  2. Dalam pemeriksaan terhadap korporasi pelaku illegal fishing, perlu dilakukan secara terpisah dengan memeriksa sebagai berikut perizinan berusaha, dokumen kapal, sumber modal usaha dan semua transaksi keuangan perusahaan, yang dicurigai untuk membiayai atau membeli ikan hasil illegal fishing, data eletronik navigasi kapal dan komunikasi awak kapal, serta memeriksa saksi kunci lainnya seperti nakhoda, fishing master, ABK dan ahli;
  3. Penegakan hukum menggunakan teknologi canggih seperti satelit, radar, serta melibatkan masyarakat sipil dan menggalang kerja sama internasional dapat membantu mengungkap jaringan korporasi perikanan ilegal; 
  4. Efek jera perlu diberikan kepada korporasi yang terbukti bersalah sebagai penyandang dana dan aktor intelektual kegiatan illegal fishing di WPPNRI dengan memberikan hukuman setimpal, berupa pidana penjara kepada penanggung jawab, denda atas kerugian ekonomi dan ekologi, serta penutupan, pembekuan atau pembubaran korporasi.  
Penulis: Saptoyo
Editor: Tim MariNews