Perkembangan teknologi informasi telah menjadikan ruang baru bagi pembentukan persepsi publik terhadap perkara-perkara hukum yang sedang berjalan. Fenomena tersebut tampak jelas dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak yang melibatkan seorang guru di Kendari, di mana perhatian publik meningkat secara signifikan yang menunjukkan bagaimana ruang digital telah menjadi medan yang sangat kuat dalam membentuk persepsi masyarakat.
Namun demikian, peradilan pidana tidak bekerja dengan logika popularitas ataupun kecenderungan emosional yang muncul dalam diskursus publik. Pengadilan berpegang pada prinsip bahwa kebenaran hukum hanya dapat ditentukan melalui proses pembuktian di persidangan, sebagaimana diatur dalam hukum acara pidana. Setiap fakta harus diuji melalui keterangan saksi, keterangan terdakwa, bukti surat, maupun alat bukti sah lainnya, dan keseluruhannya dinilai secara menyeluruh oleh majelis hakim.
Perkara kekerasan seksual terhadap anak yang melibatkan seorang pendidik di Kendari pada dasarnya harus dilihat dari sisi perlindungan bagi anak sebagai kelompok rentan. Berdasarkan surat dakwaan yang disusun, Majelis Hakim kemudian menyimpulkan bahwa unsur-unsur pasal Pasal 82 ayat (2) juncto Pasal 76E UU Perlindungan Anak telah terbukti secara sah dan meyakinkan, sehingga dakwaan alternatif pertama dinyatakan terbukti terhadap Terdakwa.
Penerapan pasal tersebut pada pokoknya mengatur larangan bagi orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, dan pihak lain yang memiliki relasi otoritatif terhadap anak, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul terhadap anak. Dalam hal ini, Majelis Hakim menemukan bukti dilakukannya rangkaian tindakan fisik yang melanggar kehormatan anak, seperti merangkul, mengelus bagian tubuh, mencium pipi dan dahi, memegang wajah dengan kuat, serta tindakan lain yang menimbulkan ketakutan pada anak.
Perhatian dalam perkara ini semakin penting ketika korban adalah anak yang masih berusia 9 (sembilan) tahun pada saat kejadian berlangsung. Status korban sebagai anak menempatkan perkaranya dalam rezim perlindungan khusus (lex specialis) yang menuntut kehati-hatian lebih tinggi aparat penegak hukum. Prinsip perlindungan terhadap anak bukan hanya menegaskan rendahnya kapasitas anak untuk melindungi dirinya sendiri, tetapi juga menunjukkan adanya relasi kuasa yang timpang ketika pelaku adalah seorang pendidik yang seharusnya memberikan rasa aman bagi muridnya.
Kerangka pemidanaan dalam perkara kekerasan seksual terhadap anak telah diatur secara ketat yang menetapkan ancaman pidana penjara minimum khusus bagi pelaku. Untuk perbuatan cabul yang dilakukan oleh pendidik atau tenaga kependidikan, ancaman minimalnya adalah lima tahun penjara. Ketentuan ini bersifat mengikat dan wajib diterapkan oleh hakim ketika seluruh unsur delik telah terbukti secara sah dan meyakinkan.
Keberadaan strafminimum khusus tersebut menegaskan bahwa hakim tidak memiliki kewenangan untuk menjatuhkan pidana di bawah batas minimal yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dalam kasus Guru Mansur, Majelis Hakim menyatakan bahwa seluruh unsur Pasal 82 ayat (2) jo. Pasal 76E Undang-Undang Perlindungan Anak telah terbukti, sehingga pidana yang dijatuhkan wajib mengikuti batas minimal tersebut.
Penjatuhan pidana penjara selama lima tahun dalam putusan ini merupakan bentuk kepatuhan terhadap perintah undang-undang dan bukan ekspresi kebijaksanaan subjektif hakim atau bentuk sikap represif terhadap profesi guru. Dengan demikian, narasi bahwa hakim “terlalu keras” atau “tidak manusiawi” dalam menjatuhkan pidana dalam kasus ini menjadi tidak sepenuhnya tepat, karena pemidanaan tersebut pada dasarnya merupakan konsekuensi normatif dari sistem hukum pidana yang berlaku.
Untuk memahami posisi ini, publik perlu membedakan antara tiga konsep penting dalam pemidanaan: pidana minimum khusus, pidana maksimum, dan diskresi hakim. Pidana minimum khusus merupakan batas bawah yang wajib diterapkan ketika tindak pidana terbukti, sedangkan pidana maksimum merupakan batas atas yang tidak boleh dilampaui oleh hakim. Di antara dua batas tersebut terdapat ruang diskresi yakni ruang pertimbangan nilai yang masih diberikan oleh undang-undang kepada hakim untuk menyesuaikan pidana dengan keadaan pribadi terdakwa pada saat melakukan tindak pidana dan sejauhmana akibat perbuatannya.
Namun penerapan terhadap diskresi ini hanya berlaku dalam rentang yang diizinkan undang-undang. Dalam konteks UU Perlindungan Anak, ruang diskresi hakim berada di antara lima tahun sebagai batas minimum dan lima belas tahun sebagai batas maksimum. Hakim dapat mempertimbangkan hal-hal yang meringankan maupun memberatkan dalam menentukan posisi pidana dalam rentang tersebut, tetapi tidak dapat menurunkannya di bawah lima tahun karena batas tersebut merupakan perintah legislatif yang bersifat mandatory.
Pada akhirnya perkara yang melibatkan anak sebagai korban memerlukan kehati-hatian ekstra, khsususnya dalam penanganan hukumnya. Perlindungan anak merupakan mandat undang-undang yang bersifat imperatif, bukan preferensi personal majelis hakim. Dalam perkara Guru Mansur, posisi terdakwa sebagai pendidik menjadi faktor yang diberi perhatian khusus oleh undang-undang, sehingga pemidanaan yang dijatuhkan merupakan pelaksanaan kewajiban hukum untuk memberikan perlindungan optimal bagi anak sebagai pihak yang rentan.
Sumber Referensi:
- Arief, B. N. (2010). Masalah penegakan hukum dan kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
- Komisi Yudisial Republik Indonesia. (2020). “Pemidanaan terhadap pelaku kekerasan seksual dalam perspektif sistem peradilan pidana”. Jurnal Yudisial.
- Putusan Nomor 249/Pid.Sus/2025/PN Kdi.
- Rahman, A., & Putri, D. S. (2021). “Analisis yuridis tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak”. IBLAM Law Review.
- Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.