Kebebasan warga negara melaksanakan perintah agama, bagian dari hak universal yang melekat pada diri manusia. Konstitusi Indonesia, menghormati dan melindungi kebebasan memeluk agama, serta melaksanakan ritual ibadah agama pilihan warga negaranya (vide Pasal 28E, 28I dan 29 Ayat 2 UUD NRI 1945).
Penghormatan dan perlindungan hukum, terhadap kebebasan warga negara memeluk agama dan negara menjamin pelaksanaan ibadahnya, ditegaskan melalui Pasal 4 dan Pasal 22 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Bagi warga negara penganut agama Islam, salah satu rukun Islam dan menjadi bagian dari ibadah adalah melaksanakan Haji, bilamana mampu. Puluhan tahun, penyelenggaraan haji diorganisir Kementerian Agama RI dan belum lama ini, kewenangan tersebut ditransisikan kepada Badan Penyelenggaraan (BP) Haji.
Ketentuan hukum, yang mengatur penyelenggaraan Haji bagi warga negara Indonesia, diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah dan Perpres Nomor 154 Tahun 2024 tentang Badan Penyelenggara Haji.
Calon jemaah Haji yang diberangkatkan ke Baitullah, diberangkatkan berdasarkan kuota haji Indonesia, dan untuk penyelenggaran haji reguler menjadi tanggung jawab pemerintah, sebagaimana ketentuan Pasal 8 Ayat 1 dan Pasal 10 Ayat 1 UU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Adapun tanggung jawab menyelenggarakan ibadah haji khusus, dilakukan badan hukum yang memiliki izin dari Menteri, untuk melaksanakan ibadah Haji Khusus, sesuai Pasal 1 Angka 11 dan Pasal 57 UU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah
Penyelenggaraan haji oleh pemerintah bersama dengan yayasan PPHI, telah dilaksanakan sejak 1950, sebagaimana Surat Edaran Menteri Agama tanggal 9 Februari 1950. Kemudian diperbarui melalui pembentukan keputusan presiden yang mengatur penyelenggaraan haji oleh pemerintah dan berbagai perubahannya.
Zaman penjajahan Belanda, penyelenggaraan haji sudah diatur dalam ketentuan hukum kolonial. Awal peraturan perundang-undangan kolonial, yang mengatur pelaksanaan haji adalah Ordonansi Penyelenggaraan Haji 1859, yang tercatat dalam Staatsblad No. 42 Tahun 1859.
Ordonansi Penyelenggaran Haji 1859 tersebut, mempersulit pelaksanaan ibadah haji kaum bumiputera. Adapun bagi calon jemaah haji, harus memenuhi syarat mendapatkan izin dari pemerintah daerah dan wajib mencukupi kebutuhan keluarga yang ditinggalkan.
Selain itu, setelah pulang dari haji, para jemaah dari Hindia Belanda akan mengikuti ujian yang diselenggarakan kepala daerah. Bilamana lulus akan mendapatkan sertifikat dan baru diizinkan pakaian muslim seperti seorang jaji. Jemaah haji yang tidak lulus ujian akan dikenakan pidana denda sejumlah 25 sampai dengan 100 gulden.
Pengaturan haji era kolonial, dinilai juga sebagai upaya mengawasi jemaah haji, agar setibanya di Hindia Belanda, tidak menggerakan masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap penjajahan. Hal ini, dikarenakan persepsi pemerintah kolonial Belanda, yang menilai ibadah haji dapat mengancam eksistensi penjajahan di Hindia Belanda.
Demikianlah artikel yang mengulas sejarah hukum penyelenggaran haji di Indonesia, bahkan sebelum kemerdekaan. Semoga dapat menambah pengetahuan bagi para pembacanya, khususnya penikmat sejarah hukum
Sumber Referensi
- https://www.historia.id/article/ujian-haji-masa-kolonial-belanda
- https://ihram.republika.co.id/berita/pd31if313/mengenal-ordonansi-haji
- https://ihram.republika.co.id/berita/obqjtc313/pengelolaan-haji-pada-awal-orde-lama
- https://nu.or.id/fragmen/sejarah-haji-di-era-kolonial-hindia-belanda
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah
- Perpres Nomor 154 Tahun 2024 tentang Badan Penyelenggara Haji