Lebih dari 2 (dua) dekade pascaberlaku Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disingkat UU KPKPU), nampaknya memerlukan perangkat aturan penunjang dalam pelaksanaan Cross-border insolvency (selanjutnya disingkat CBI).
CBI adalah setiap perkara kepailitan yang didalamnya terdapat unsur asing atau perkara yang melintasi batas negara.
Mengacu pada pandangan Marek Porzycki, suatu kepailitan dapat dikatakan menjadi kepailitan transnasional ketika terdapat keadaan di mana:
- debitur memiliki beberapa kekayaan yang berada di negara lain;
- debitur mempunyai beberapa kreditur di negara lain;
- debitur melakukan kegiatannya secara transnasional;
- debitur adalah perusahaan multinasional yang telah mempunyai cabang bisnis di negara lain; dan
- debitur adalah perusahaan berbentuk multinasional telah menjalankan perusahaannya di suatu negara tertentu menurut model hukum setempat kemudian telah memiliki beberapa perusahaan di negara lain.
UU KPKPU tidak mengatur perihal kepailitan lintas batas negara, karenanya berimplikasi terhadap tantangan di tahap pelaksanaan dalam hal keterjangkauan pengurusan dan pemberesan harta pailit debitor yang berada di luar wilayah Indonesia.
Hal itu karena dalam Pasal 21 UU KPKPU diatur bahwa kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan.
Pasal 21 UU KPKPU tidak memberikan penjelasan mengenai seberapa jjauh cakupan dari status sita umum terhadap harta debitur pailit sehingga dapat diinterpretasikan bahwa seluruh harta debitur yang masuk dalam proses kepailitan di Indonesia, baik yang berada di dalam negeri maupun yang berada di luar negeri.
Pada kenyataannya eksekusi harta debitor di luar wilayah Indonesia terkendala untuk dilaksanakan karena putusan hakim asing tidak dapat dilaksanakan di Indonesia dan sebaliknya putusan hakim Indonesia tidak dapat dilaksanakan di luar wilayah Indonesia.
Hal tersebut membuat tujuan kepailitan tidak dapat terwujud sepenuhnya,
Adapun menurut Jerry Hoff, “tujuan kepailitan adalah untuk dibayarkannya hak para kreditur yang semestinya didapatkan sesuai dengan tingkat urutan tuntutan mereka”.
Berdasarkan Hukum Acara Perdata Indonesia (vide: Pasal 436 Rv), Putusan pengadilan asing tidak memiliki daya eksekusi di wilayah Indonesia, karena melekatnya keberlakuan asas kedaulatan (sovereignty principle) atau dianggap sebagai pelanggaran terhadap asas kedaulatan negara Indonesia sebagai suatu negara yang merdeka dan berdaulat.
Hal tersebut berkaitan dengan prinsip teritorialitas, yang memiliki makna jika akibat dari pernyataan pailit, proses dan pengakhiran kepailitan dapat berlaku pada negara tempat dimana putusan pailit tersebut dikeluarkan.
Upaya untuk mempailitkan kembali debitur tersebut di Indonesia melalui prosedur hukum nasional, bisa saja ditempuh dengan Pengajuan kepailitan baru, yang dikenal dengan istilah relitigasi (mengadili kembali) atau repetisi (pengulangan), dengan cara mengajukan Putusan pailit dari luar negeri sebagai bukti tambahan untuk memperkuat permohonan.
Namun, langkah ini pun tidaklah serta merta mengikat hakim Indonesia karena penilaian terhadapnya tetap berpulang kepada Hakim yang memeriksa.
Pengecualian dari pemberlakuan prinsip kedaulatan pun hanya terhadap putusan pengadilan asing mengenai perhitungan dan pembagian yang menimpa kapal (general avarij) sebagaimana Pasal 724 KUHD atau prinsip kedaulatan dikecualikan dengan adanya perjanjian timbal balik dengan negara lain mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan.
Meski demikian, Indonesia belum mengadakan perjanjian bilateral dengan negara manapun sehubungan hal tersebut.
Adanya kedaulatan dan prinsip teritorial setiap negara juga yang membuat putusan hukum Indonesia tidak mengikat di negara lain.
Harta kekayaan tidak dapat langsung dieksekusi oleh kurator Indonesia karena hukum Indonesia tidak dapat diterapkan secara langsung di luar negeri tanpa adanya pengakuan dari negara lain.
Hanya terdapat tiga pasal dalam UU KPKPU yang memuat ketentuan tentang kepailitan diluar batas yurisdiksi negara Indonesia yakni pada pasal 212, 213, dan 214 UU KPKPU. Pasal tersebut hanya menyebutkan mengenai perlindungan terhadap boedel pailit dari tindakan kreditur yang ingin melakukan eksekusi boedel pailit tanpa kurator, sedangkan untuk kewenangan dari kurator dalam mengeksekusi harta pailit tidak diatur. UU KPKPU Indonesia tidak mengatur mengenai daya jangkau putusan pengadilan niaga ke luar negeri.
Prinsip universalitas yang dianut dalam pasal 212-214 UU KPKPU juga bertentangan dengan prinsip kedaulatan teritorialitas dan prinsip lex rei sitae dalam pasal 17 AB, dalam prakteknya tidaklah dapat atau sukar untuk diterapkan, mengingat bertentangan dengan prinsip teritorialitas dalam HPI yang bersumber pada hukum nasional.
Oleh karena itu Undang-Undang Kepailitan Indonesia dikatakan menganut prinsip universalitas terbatas, sebab prinsip universalitas pada undang-undang tersebut tidak dapat diterapkan.
Berdasarkan tantangan pelaksanaan CBI yang menyebabkan inefektif dan inefisiensi tersebut, beberapa alternatif Pembangunan hukum sekiranya dapat ditempuh oleh pemerintah, diantaranya:
- Mengadakan perjanjian timbal balik mengenai pengakuan dan pelaksanaan prosedur kepailitan asing dengan prioritas negara yang telah lama menjalin kerja sama di bidang hukum (Praktik ini dilakukan oleh Malaysia dan Singapura sampai dengan tahun 2017) atau Belanda dan Belgia telah sepakat untuk mengakui putusan kepailitan yang dijatuhkan di masing-masing negara melalui Netherlands–Belgia Execution Treaty pada 28 Maret 1925. Alternatif ini dapat ditempuh apabila tim perumus (revisi) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU di masa yang akan datang tetap menggunakan perjanjian internasional sebagai syarat untuk mengakui secara timbal balik prosedur kepailitan dalam perkara CBI tanpa mengurangi kedaulatan negara dalam menegakkan hukum kepailitan.
- Menyusun perjanjian internasional di tingkat regional, misalnya sesama negara ASEAN, dapat dibentuk dalam sebuah model berupa yang merupakan kumpulan prinsip-prinsip umum yang dapat digunakan sebagai acuan dalam menangani permasalahan kepailitan lintas batas oleh seluruh negara anggota ASEAN. Ketentuan bersifat teknis, tidak melakukan perubahan-perubahan dari ketentuan-ketentuan hukum kepailitan nasional dari suatu negara, dan dirancang untuk melengkapi kekurangan-kekurangan dalam pengaturan kepailitan yang bersifat lintas batas pada negara anggota ASEAN. Tidak menutup kemungkinan dapat diadakannya pengecualian ataupun pembatasan sehubungan dengan pelaksanaan di suatu negara yang mengadopsi, yang didasarkan pada alasan bertentangan dengan kepentingan public. Perjanjian Tingkat regional ini seperti yang diterapkan misalnya oleh negara-negara di Uni Eropa, yang telah memiliki kerangka hukum berupa Council Regulation (EC) No 1346/2000, yang kemudian digantikan oleh Regulation (EU) 2015/848 pada 20 Mei 2015. Kedua regulasi ini berlaku untuk seluruh insolvency proceedings di Uni Eropa sehingga putusan pernyataan pailit yang dikeluarkan oleh satu negara anggota Uni Eropa dapat diakui dan dilaksanakan oleh setiap negara anggota lain yang meratifikasinya.
- Mengadopsi kaidah dalam UNCITRAL Model Law on Cross-Border Insolvency. Pada tahun 1997, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) melalui Komisi Hukum Perdagangan (UNCITRAL) memberikan Solusi terhadap CBI, yaitu Model Law Model Law on Cross-Border Insolvency with Guide to Enactment yang memungkinkan setiap negara untuk mengakui dan melaksanakan putusan pailit oleh pengadilan asing. Berbeda dengan konvensi Internasional, Model Law on Cross-Border Insolvency with Guide to Enactment ini tidak mengharuskan negara-negara yang menerapkan Model Law on Cross-Border Insolvency with Guide to Enactment untuk meminta izin kepada UNCITRAL atau negara lain yang sudah menerapkannya. Pengadopsian UNCITRAL Model Law on Cross-Border Insolvency oleh suatu negara juga tidak otomatis menjadikannya pihak dari suatu perjanjian internasional atau terikat secara langsung dengan negara lain yang mengadopsinya. Keberadaan model law tersebut berfokus pada harmonisasi dan koordinasi penyelesaian kasus cross-border insolvency antarnegara tanpa memaksakan unifikasi hukum pada setiap negara. Pengadopsian UNCITRAL, memberi keuntungan bagi negara untuk ‘mengejar’ aset debitur di yurisdiksi lain yang juga meratifikasi aturan tersebut. Hal ini merupakan penerapan dari asas resiprokal atau mengakui putusan asing yang mengakui putusan Indonesia. UNCITRAL Model Law on Cross-Border Insolvency merupakan instrumen utama yang memberikan kerangka hukum untuk penanganan kepailitan lintas batas, dengan menekankan empat unsur kunci: akses, pengakuan, bantuan (relief), dan kerja sama Praktek ini dilakukan oleh Korea Selatan, yang mana sebelumnya model pendekatan yang digunakan adalah teritorialisme atau Reformasi hukum kepailitan di Jepang menghasilkan perubahan signifikan dengan adopsi Model Law UNCITRAL, memungkinkan pengakuan dan bantuan terhadap proses kepailitan asing.
- Pendekatan penerapan asas modified universalism. Asas yang mendasarkan pada asas universalitas namun dengan mengadopsi sejumlah perlindungan yang diberikan asas teritorialitas. Implementasi asas modified universalism melibatkan proses pemeriksaan utama di pengadilan pusat, kemudian dilengkapi dengan pemeriksaan sekunder di pengadilan-pengadilan lain yang terkait dengan kasus tersebut. Penyelesaian kasus kepailitan lintas batas negara yang tidak dilengkapi dengan perjanjian utang piutang yang mengatur penyelesaian sengketa juga bisa dilakukan dengan saluran diplomatik, yang melibatkan negosiasi antara pemerintah kedua negara untuk mencapai solusi yang saling menguntungkan. Seiring perkembangan hukum ekonomi internasional, didukung prinsip hukum internasional yang lebih mengedepankan kerja sama daripada persaingan, mendorong negara-negara untuk saling mendukung dalam mengatasi tantangan ekonomi dan perdagangan, termasuk penyelesaian sengketa.