Keadilan Substantif Hak Waris Perempuan dalam Perspektif Surah An-Nisa dan Sistem Hukum Indonesia

Surah An-Nisa Ayat 11 merupakan salah satu ayat yang paling rinci dalam menjelaskan ketentuan pembagian warisan, sehingga menjadi landasan utama.
Ilustrasi hukum islam. Foto spada.unprimdn.ac.id
Ilustrasi hukum islam. Foto spada.unprimdn.ac.id

Praktik sosial masyarakat Muslim, terutama di Indonesia masih terdapat ketimpangan persepsi terhadap hak waris perempuan.

Sebagian masyarakat memahami pembagian dua banding satu antara laki-laki dan perempuan sebagai bentuk ketidakadilan gender, meskipun telah memiliki landasan teologis dan rasional yang kuat dalam struktur tanggung jawab sosial dan ekonomi keluarga menurut syariat Islam.

Realitas tersebut, menunjukkan adanya jarak antara norma ideal yang tertuang dalam teks suci dan pemahaman masyarakat yang berkembang secara sosial dan kultural. 

Dalam banyak kasus, perempuan sering kali memperoleh bagian warisan yang tidak proporsional, karena tekanan adat, ketidaktahuan hukum, atau bias patriarkal yang masih mengakar. 

Kondisi ini memperlihatkan meskipun secara normatif hukum Islam telah memberikan hak yang jelas untuk perempuan, implementasinya dalam kehidupan masyarakat belum sepenuhnya mencerminkan prinsip keadilan. 

Konteks keadilan sosial modern sendiri, menerangkan prinsip yang terkandung dalam ayat kewarisan dapat saja ditafsirkan secara kontekstual, agar tidak kehilangan makna substansialnya. 

Keadilan yang dimaksud, bukan hanya sekadar kesetaraan kuantitatif, melainkan keseimbangan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan, sesuai dengan peran sosial masing-masing.

Maka, penting dilakukan kajian komprehensif mengenai keadilan dan perlindungan hak waris perempuan dalam perspektif Surah An-Nisa ayat 11, dengan melihat bagaimana nilai-nilai keadilan diimplementasikan dalam sistem hukum Indonesia. 

Pendekatan normatif dan empiris diperlukan untuk mengungkap sejauh mana hukum nasional, khususnya Kompilasi Hukum Islam dan praktik peradilan agama, mampu melindungi hak waris perempuan sesuai dengan prinsip keadilan Islam dan tuntutan keadilan sosial masa kini.

Dasar Hukum Kewarisan Islam

Surah An-Nisa Ayat 11 merupakan salah satu ayat yang paling rinci dalam menjelaskan ketentuan pembagian warisan, sehingga menjadi landasan utama. 

Dalam Surah An-Nisa Ayat 11, Allah berfirman: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan...” (QS. An-Nisa [4]: 11).

Ayat ini menegaskan pembagian warisan, bukan semata persoalan matematis, melainkan refleksi dari prinsip keadilan yang mempertimbangkan tanggung jawab sosial dan ekonomi dalam struktur keluarga Islam. 

Laki-laki mendapatkan bagian dua kali lipat, bukan karena nilai kemanusiaannya lebih tinggi, melainkan karena memikul beban nafkah dan tanggung jawab terhadap keluarga. Dengan demikian, ayat ini justru menegakkan prinsip keseimbangan antara hak dan kewajiban, bukan diskriminasi terhadap perempuan.

Menurut al-Qurṭubi, ketentuan tersebut menunjukkan kesempurnaan syariat Islam dalam menjaga kemaslahatan manusia berdasarkan fitrah sosialnya. 

Sementara itu, Ibn Katsir menjelaskan pembagian seperti ini merupakan bentuk keadilan proporsional (al-‘adl al-tanāsibī), bukan kesetaraan aritmetis. Prinsip ini, menjadi dasar memahami keadilan dalam hukum waris Islam yang berorientasi pada fungsi sosial masing-masing individu.

Konsep Keadilan dalam Hukum Islam

Keadilan dalam Islam merupakan nilai dasar yang menjadi inti dari seluruh ajaran hukum. Istilah “al-‘adl” dan “al-qisth” dalam Al-Qur’an menunjukkan perintah untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya sesuai haknya. 

Dalam konteks kewarisan, keadilan tidak selalu identik dengan kesamaan jumlah, tetapi lebih pada keseimbangan hak sesuai tanggung jawab dan kebutuhan masing-masing pihak.

Imam al-Ghazali menegaskan keadilan merupakan perwujudan dari maqāṣid al-syarī‘ah, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta (hifz al-māl). Dengan demikian, hukum waris Islam bertujuan menjaga keseimbangan sosial, agar harta tidak hanya terpusat pada satu pihak, serta memastikan hak perempuan terlindungi dari penindasan ekonomi. 

Dalam konteks ini, pembagian dua banding satu bukan bentuk diskriminasi, tetapi mekanisme sosial untuk menjaga kesejahteraan keluarga secara menyeluruh.

Maqāṣid al-Syarī‘ah dan Perlindungan Hak Perempuan

Konsep maqāṣid al-syarī‘ah menjadi pendekatan penting dalam memahami kembali teks-teks hukum Islam secara kontekstual. Tujuan utama hukum Islam adalah menghadirkan kemaslahatan dan menolak kerusakan (jalb al-maṣlaḥah wa dar’u al-mafsadah). 

Dalam konteks kewarisan, prinsip maqāṣid menghendaki agar perempuan mendapatkan hak ekonomi yang layak sebagai bentuk perlindungan terhadap kehormatannya (hifz al-nasl) dan harta kekayaannya (hifz al-māl).

Ulama kontemporer seperti Yusuf al-Qaradawi dan Jasser Auda menekankan pembacaan terhadap ayat-ayat hukum, termasuk ayat waris, harus mempertimbangkan perubahan sosial dan struktur ekonomi masyarakat modern. 

Maka, penegakan keadilan terhadap hak waris perempuan dapat diwujudkan melalui reinterpretasi kontekstual yang tidak menyalahi prinsip dasar syariat, tetapi mampu menjawab tantangan keadilan sosial masa kini.

Sistem Hukum Kewarisan di Indonesia

Sistem hukum kewarisan di Indonesia bersifat pluralistik, karena dipengaruhi oleh tiga sistem hukum utama yakni hukum Islam, adat, dan perdata barat. 

Dalam praktiknya, umat Islam tunduk pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang diatur melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. KHI menjadi pedoman bagi hakim pengadilan agama dalam menyelesaikan perkara waris bagi umat Islam.

Pasal 176 KHI menegaskan bagian anak laki-laki adalah dua kali bagian anak perempuan, selaras dengan Surah An-Nisa Ayat 11. Namun demikian, penerapan di lapangan sering kali menemui tantangan, terutama saat nilai adat atau tekanan sosial, menyebabkan perempuan tidak memperoleh haknya secara utuh. 

Di sinilah pentingnya pendekatan hukum, yang menekankan perlindungan dan keadilan substantif bagi perempuan, agar prinsip syariah tidak sekadar formalistik tetapi benar-benar menegakkan keadilan sosial.

Selain KHI, sistem hukum nasional Indonesia juga membuka ruang untuk perlindungan perempuan melalui berbagai regulasi, seperti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), serta Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 

Keseluruhan perangkat hukum ini, menunjukkan adanya sinergi antara nilai-nilai syariah dan prinsip keadilan universal dalam menjamin hak perempuan, termasuk dalam bidang kewarisan.

Dengan demikian, perlindungan hak waris perempuan di Indonesia secara normatif sudah cukup kuat. Tantangan yang tersisa lebih bersifat sosiologis, yakni bagaimana masyarakat memahami dan menerapkan hukum Islam, secara utuh tanpa bias budaya patriarkal.

Kerangka Konseptual Keadilan Waris bagi Perempuan

Berdasarkan uraian di atas, keadilan dalam pembagian waris perempuan memiliki tiga dimensi penting yang saling berkaitan dan membentuk satu kesatuan konseptual. Pertama, dimensi teologis, yang bersumber dari Surah An-Nisa Ayat 11 sebagai ketetapan ilahi (nash qath‘i) yang mengandung prinsip keseimbangan sosial. 

Ketentuan ini, bukan sekadar pembagian matematis, melainkan refleksi dari keadilan proporsional yang mempertimbangkan tanggung jawab sosial dan ekonomi antara laki-laki dan perempuan.

Nilai-nilai keadilan yang terkandung dalam ayat tersebut, menunjukkan syariat Islam memberikan perlindungan terhadap hak perempuan secara tegas dan bernilai transendental.

Kedua, dimensi yuridis, yang terealisasi melalui instrumen hukum positif seperti KHI dan praktik peradilan agama di Indonesia. Dimensi ini, menegaskan prinsip-prinsip syariah telah diakomodasi secara formal dalam sistem hukum nasional. 

Melalui regulasi dan putusan pengadilan, hak waris perempuan mendapatkan jaminan perlindungan hukum yang konkret, meskipun dalam praktiknya masih memerlukan penguatan implementasi agar sejalan dengan semangat keadilan substantif.

Ketiga, dimensi sosiologis, yang menekankan pentingnya kesadaran masyarakat terhadap hak perempuan dalam kewarisan. Tanpa kesadaran sosial dan perubahan paradigma budaya patriarkal, hukum yang telah adil secara normatif tidak akan sepenuhnya efektif dalam realitas sosial. 

Oleh karena itu, pendidikan hukum, peran tokoh agama, dan dukungan lembaga sosial menjadi kunci dalam mewujudkan keadilan yang menyeluruh.

Ketiga dimensi teologis, yuridis, dan sosiologis menjadi fondasi penting dalam menganalisis bagaimana nilai-nilai keadilan Islam dapat diimplementasikan secara harmonis dalam sistem hukum Indonesia modern. 

Sinergi antara ketiganya, diharapkan mampu melahirkan tatanan hukum kewarisan yang tidak hanya sesuai dengan prinsip syariah, tetapi juga relevan dengan tuntutan keadilan sosial di masyarakat kontemporer.    

Harmonisasi Nilai Syariah dan Prinsip Hukum Nasional

Harmonisasi antara nilai syariah dan hukum nasional menjadi penting agar hukum Islam tetap kontekstual dan responsif terhadap perkembangan zaman. 

Dalam konteks pembagian waris, prinsip maqāṣid al-syarī‘ah dapat dijadikan landasan untuk menafsirkan ulang ketentuan waris secara dinamis, tanpa keluar dari substansi Surah An-Nisa Ayat 11.

Prinsip keadilan dan kemaslahatan yang diajarkan Islam dapat diintegrasikan dengan asas kesetaraan di hadapan hukum, sebagaimana diatur dalam konstitusi Indonesia. 

Dengan demikian, hukum Islam dan hukum nasional tidak berdiri sebagai dua entitas yang berseberangan, melainkan saling melengkapi dalam menjamin hak-hak perempuan.

Harmonisasi ini tercermin dalam praktik hukum di pengadilan agama yang semakin menekankan asas keadilan substantif. Misalnya, dalam kasus di mana perempuan terhalang memperoleh bagian waris karena faktor sosial, hakim dapat menggunakan pendekatan kemaslahatan dan prinsip keadilan untuk menegakkan hak-hak perempuan, sesuai syariah dan hukum positif.

Dengan pendekatan tersebut, nilai-nilai Al-Qur’an tidak hanya berhenti pada level normatif, tetapi hidup dalam praktik hukum yang humanis dan berkeadilan. 

Hal ini sejalan dengan cita hukum Islam (maqāṣid al-syarī‘ah) dan tujuan negara, sebagaimana termaktub Pembukaan UUD 1945, yakni menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kesimpulan

Bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan, bukan merupakan bentuk ketidakadilan, melainkan manifestasi dari prinsip keadilan distributif yang memperhitungkan peran dan tanggung jawab laki-laki sebagai penanggung nafkah keluarga. 

Namun, dalam konteks sosial modern di mana kini perempuan banyak berperan sebagai tulang punggung keluarga, pencari nafkah utama, bahkan pemimpin rumah tangga sehingga pemaknaan terhadap keadilan dalam pembagian waris dapat dikontekstualisasikan melalui pendekatan maqāṣid al-syarī‘ah dan prinsip keadilan substantif, kebijakan negara yang progresif, serta peningkatan kesadaran sosial yang berpihak pada nilai keadilan dan kemanusiaan

Dengan demikian, perbandingan dua banding satu tidak harus dimaknai secara kaku, tetapi dapat ditafsirkan dalam kerangka keadilan sosial yang mempertimbangkan kontribusi dan tanggung jawab aktual masing-masing anggota keluarga. 

Integrasi antara nilai-nilai syariah dan prinsip hukum nasional menjadi prasyarat penting untuk membangun sistem kewarisan yang berkeadilan, humanis, dan sesuai dengan cita keadilan sosial dalam konteks hukum Indonesia modern.

Daftar Pustaka

Al-Qur’an al-Karim.
Al-Qurṭubi, M. (2006). Al-Jāmi‘ li Ahkām al-Qur’ān (Jilid 5). Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Departemen Agama Republik Indonesia. (1991). Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Islam.
Nasution, K. (2010). Hukum Kewarisan Islam di Indonesia: Kajian Normatif dan Empiris. Yogyakarta: UII Press.
Sabiq, Sayyid. (2006). Fiqh al-Sunnah (Jilid 3). Kairo: Dār al-Fath lil I‘lām al-‘Arabī.

Penulis: Al Fitri
Editor: Tim MariNews