Tafsir Sistematis Majelis Kasasi terhadap Ketentuan Upaya Administratif dalam UU Administrasi Pemerintahan

Upaya Administratif merupakan proses penyelesaian sengketa yang dilakukan dalam lingkungan administrasi pemerintahan ketika masyarakat merasa dirugikan atas terbitnya suatu keputusan tata usaha negara.
Ilustrasi gambar prosedur eksekusi upaya paksa putusan pengadilan tata usaha negara (PTUN). Gambar ilustrasi dibuat gemini AI)
Ilustrasi gambar prosedur eksekusi upaya paksa putusan pengadilan tata usaha negara (PTUN). Gambar ilustrasi dibuat gemini AI)

Perlindungan hukum bagi masyarakat yang dirugikan atas terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut KTUN) bisa ditempuh melalui dua hal, yaitu melalui peradilan tata usaha negara dan melalui badan/pejabat tata usaha negara, termasuk atasannya yang menerbitkan KTUN tersebut. 

Upaya yang ditempuh kepada badan/pejabat tata usaha negara ini disebut sebagai Upaya Administratif.

Upaya Administratif merupakan proses penyelesaian sengketa yang dilakukan dalam lingkungan administrasi pemerintahan ketika masyarakat merasa dirugikan atas terbitnya suatu keputusan tata usaha negara. 

Dalam ketentuan Pasal 75 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Upaya Administratif terdiri atas keberatan dan banding. 

Upaya Administratif ini merupakan mekanisme penyelesaian sengketa primum remidium (pilihan pertama). Penerapan penyelesaian sengketa administratif sebelum masuk peradilan ini dianggap positif karena mendahulukan proses musyawarah mufakat. 

Meski demikian, proses Upaya Administratif memunculkan berbagai perdebatan terkait dengan wajib tidaknya untuk ditempuh sebelum mengajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut PTUN).

Muhtar Said dan Erfandi didalam jurnalnya berjudul “Tafsir Hakim Judex Facti dan Judex Juris Terkait dengan Batas Maksimal Upaya Administratif” yang terbit dalam Jurnal Dictum Vol. 15, Februari 2024, mencoba menguraikan perbedaan perspektif antara majelis hakim pada tingkat pertama dan banding, dengan majelis hakim pada tingkat kasasi.

Majelis hakim pada tingkat pertama dalam Perkara Nomor 21/G/2020/PTUN.PTK, menyatakan melalui putusannya bahwa gugatan Penggugat tidak dapat diterima karena upaya keberatan yang diajukan oleh Penggugat telah melewati jangka waktu yang sudah ditentukan dalam ketentuan Pasal 77 UU Administrasi Pemerintahan, yaitu maksimal 21 (dua puluh satu) hari kerja. 

Putusan ini dikuatkan ditingkat banding melalui Putusan Nomor 76/B/2021/PT.TUN JKT.

Saat diajukan kasasi, Majelis Kasasi memiliki cara pandang yang berbeda dengan peradilan dibawahnya. Majelis Kasasi didalam pertimbangannya memberikan argumentasi berikut:

“Bahwa ketentuan Pasal 75 sampai dengan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, tidak bersifat imperatif karena tidak mengatur secara eksplisit bagi masyarakat yang tidak menerima keputusan dan/atau tindakan Pejabat Pemerintahan ‘diharuskan’ mengajukan upaya keberatan dan/atau banding administrasi, akan tetapi hanya bersifat suatu kebolehan, karena adanya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat untuk dapat mengajukan keberatan dan/atau banding administrasi. Dengan demikian, kualitas norma tersebut bukan sebagai ‘kewajiban’ yang bersifat memaksa, akan tetapi merupakan suatu kesempatan yang diberikan undang-undang kepada masyarakat yang implementasinya tentu tergantung pada kemauan dan kehendak masyarakat yang bersangkutan.”

Dari pertimbangan hukum diatas, terlihat adanya perbedaan paradigma yang digunakan oleh majelis hakim pada tingkat kasasi. Jika majelis hakim pada tingkat pertama dan banding berfokus pada ketentuan Pasal 77, sementara majelis hakim kasasi menerjemahkan secara komprehensif ditarik pada pasal sebelumnya hingga Pasal 75. 

Ketentuan Upaya Administratif yang diatur dalam Pasal 75 hingga Pasal 78 UU Administrasi Pemerintahan dimaknai secara sistematis dari atas ke bawah. Artinya, yang menjadi sentral dalam materi Upaya Administratif terletak pada ketentuan Pasal 75, sehingga ketentuan Pasal 77 dinilai tidak akan muncul tanpa didahului ketentuan Pasal 75.

Menurut Muhtar Said dan Erfandi, baik putusan judex facti maupun judex juris keduanya telah menerapkan asas dan prinsip kepastian hukum dalam memandang Upaya Administratif. 

Namun objek kepastian hukum yang dimaksud hakim judex facti dan judex juris berbeda. Hakim judex facti menempatkan objek kepastian hukum pada batas waktu maksimal 21 (dua puluh satu) hari kerja, sedangkan hakim judex juris menggunakan kepastian pada frasa “dapat” menggunakan haknya untuk mengajukan keberatan atas KTUN yang dirasa merugikan pemohon.

Majelis hakim kasasi perkara Nomor 420 K/TUN/2021 terlihat menggunakan pendekatan dua teori penafsiran hukum, yakni penafsiran harfiah (letterlijk) dan penafsiran historis. 

Penafsiran harfiah merupakan penafsiran yang menekankan pada nomenklatur yang tertulis, sedangkan penafsiran historis merupakan penafsiran yang didasarkan pada sejarah perumusan undang-undang. 

Pada frasa “dapat”, hakim judex juris menggunakan tafsir letterlijk dengan dasar UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. 

Selain itu, majelis hakim kasasi juga menggunakan tafsir historis, yakni sejarah pembentukan UU Administrasi Pemerintahan yang menggeser paradigma birokrasi yang pasif menjadi aktif sehingga bertujuan mewujudkan kesejahteraan rakyat. 

Dalam konteks ini, pelayanan kepada rakyat menjadi hal yang diutamakan. Dapat diartikan, substansi perkara menjadi prioritas dalam memutus sengketa melebihi rangkaian prosedur yang telah diatur secara rigid.

Penulis: Idik Saeful Bahri
Editor: Tim MariNews