Pernikahan campuran, yaitu pernikahan antara warga negara Indonesia dengan warga negara asing, semakin marak seiring terbukanya akses global dan mobilitas lintas negara. Namun, di balik kisah cinta lintas budaya ini, ada sejumlah tantangan hukum yang tidak bisa diabaikan.
Secara hukum, pernikahan campuran diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Untuk sah secara hukum di Indonesia, pernikahan tersebut harus dicatatkan baik di negara tempat berlangsungnya pernikahan maupun di Indonesia melalui instansi pencatatan sipil. Jika tidak tercatat, maka status hukum pernikahan tersebut dapat diragukan di mata hukum nasional.
Salah satu isu yang kerap muncul dari pernikahan campuran adalah status kewarganegaraan anak. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, anak hasil pernikahan campuran memiliki hak atas kewarganegaraan ganda terbatas hingga usia 18 tahun. Setelah itu, anak harus memilih satu kewarganegaraan. Hal ini memunculkan dilema tersendiri, terutama terkait hak-hak sipil dan kepemilikan aset.
Tak kalah penting adalah persoalan harta bersama. Dalam pernikahan campuran, pembagian harta dapat menimbulkan konflik yurisdiksi, terutama jika perpisahan atau kematian terjadi. Sebab, masing-masing negara memiliki aturan berbeda soal kepemilikan dan pewarisan. Untuk itu, pemahaman tentang hukum perdata internasional dan pilihan hukum menjadi sangat penting.
Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif tertinggi memiliki peran sentral dalam memastikan keadilan di tengah kompleksitas pernikahan campuran ini. MA dapat memberikan pedoman teknis bagi para hakim agar mampu menangani perkara perdata internasional dengan sensitif dan proporsional. Selain itu, MA juga diharapkan aktif dalam pengembangan kapasitas para hakim di bidang hukum keluarga lintas negara.
Ke depan, penguatan regulasi dan kerja sama antarnegara juga dibutuhkan, agar para pasangan campuran dan anak-anak mereka tidak dirugikan secara hukum. Karena cinta yang lintas negara pun membutuhkan perlindungan hukum yang utuh.