Dalam sistem peradilan pidana, seringkali kita mendengar keluhan publik tentang lamanya proses hukum atau hasil vonis yang dianggap tidak memuaskan.
Berdasarkan alur ini, Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan di bawahnya mulai dari Pengadilan Negeri hingga Pengadilan Tinggi adalah lembaga yang disorot terakhir.
Namun, penting untuk memahami batasan peran dan tanggung jawab pengadilan. Secara struktural, bukanlah kesalahan pengadilan jika suatu perkara sudah dilimpahkan, melainkan konsekuensi dari sistem tiga pilar yang bekerja secara independen dari kepolisian, keJaksaan, dan pengadilan.
Saat sebuah perkara, khususnya perkara pidana, dilimpahkan (atau biasa disebut didaftarkan) ke pengadilan oleh Penuntut Umum dari Kejaksaan, secara hukum peran pengadilan dimulai.
Sebelum momen pelimpahan, pengadilan sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk mencampuri proses yang terjadi di tingkat penyidikan maupun penuntutan (Kejaksaan).
Kewenangan dan Batasan Pengadilan
Pengadilan bertindak sebagai penentu kebenaran akhir (judex facti dan judex juris), berdasarkan berkas, barang bukti, dan keterangan saksi yang disajikan di persidangan.
Tugas utama pengadilan adalah:
- Menguji secara objektif yakni Hakim harus memeriksa apakah dakwaan Penuntut Umum didukung oleh bukti-bukti yang sah.
- Menjaga prosedur, yaitu memastikan proses persidangan berjalan sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan asas-asas peradilan yang baik.
- Memutus Perkara, yakni menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinan Hakim dan alat bukti yang sah, sesuai dengan hukum.
Jika sebuah perkara memiliki kelemahan substansial, seperti bukti yang minim, konstruksi dakwaan yang rapuh, atau kesalahan prosedur, maka kelemahan itu umumnya berasal dari tahap sebelumnya (penyidikan dan penuntutan).
Hakim tidak bisa menjadi penyidik atau penuntut. Hakim hanya bisa memutuskan berdasarkan apa yang ada di hadapannya.
Prinsip Ne Ultra Petita dan Pembuktian
Dalam konteks hukum perdata, Hakim terikat prinsip ne ultra petita, yang berarti tidak boleh memutus melebihi tuntutan para pihak.
Meskipun dalam pidana Hakim bisa memutus bebas, lepas, atau hukuman yang berbeda dari tuntutan Jaksa, Hakim tetap harus berpegang teguh pada fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan.
Apabila Jaksa Penuntut Umum gagal menghadirkan saksi kunci atau bukti vital, maka secara otomatis pembuktian akan menjadi lemah.
Saat pembuktian lemah, Hakim wajib berpegangan pada asas universal hukum pidana yakni lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah (in dubio pro reo).
Maka, bilamana suatu vonis dianggap ringan atau bahkan putusan bebas dijatuhkan, hal ini seringkali mencerminkan kegagalan dalam tahapan pre-adjudication (pra-pengadilan), yaitu bagaimana perkara itu diolah dan dibangun oleh Penyidik dan Jaksa.
Pengadilan, dalam hal ini, hanya menjalankan tugas konstitusionalnya untuk menguji kualitas dan kekuatan berkas yang telah dilimpahkan.
Kualitas Berkas, Kualitas Putusan
Peradilan adalah muara dari seluruh proses penegakan hukum. Jika bahan mentah (berkas perkara) yang diserahkan sudah cacat, maka produk akhirnya (putusan) berpotensi mencerminkan kecacatan tersebut.
Menyalahkan pengadilan, karena berkas yang dilimpahkan lemah sama saja dengan menyalahkan koki, karena rasa hidangan yang kurang enak padahal bahan bakunya sudah kedaluwarsa.
Untuk mewujudkan peradilan yang adil dan memuaskan publik, fokus seharusnya tidak hanya tertuju pada Hakim.
Seluruh elemen dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System), mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, hingga Pengadilan, harus bekerja secara profesional, terutama dalam menjamin kualitas penyidikan dan penuntutan.
Hanya dengan berkas perkara yang kuat dan valid, pengadilan dapat menjatuhkan putusan yang benar-benar mencerminkan keadilan substansial.



