Pengadilan menempati posisi strategis dalam negara hukum sebagai ruang terakhir tempat keadilan diuji dan ditegakkan. Di ruang sidang, hukum tidak hanya dibaca dan ditafsirkan, tetapi juga dijalankan secara konkret melalui proses pemeriksaan yang menentukan hak, kewajiban, serta tanggung jawab hukum para pihak.
Oleh karena itu, suasana persidangan harus dijaga agar berlangsung secara tertib, khidmat, dan bebas dari segala bentuk gangguan, tekanan, maupun intervensi eksternal.
Dalam praktik, tantangan terhadap kewibawaan peradilan semakin nyata seiring perkembangan teknologi informasi. Kemudahan merekam, menyebarkan, dan memviralkan proses persidangan berpotensi menggeser ruang sidang dari forum pencarian kebenaran menjadi arena konsumsi publik. Jika tidak dikendalikan, kondisi tersebut dapat mereduksi martabat persidangan dan mengancam independensi hakim. Prinsip contempt of court hadir sebagai fondasi normatif untuk menjaga agar setiap proses peradilan tetap berjalan dalam koridor etika, hukum, dan kehormatan lembaga peradilan.
Tata Tertib Persidangan
Sebelum diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan sebagaimana diubah dengan Perma Nomor 6 Tahun 2020, pengaturan mengenai tata tertib persidangan masih tersebar dalam berbagai ketentuan dan belum memiliki standar nasional yang rinci.
Dalam situasi tersebut, pengadilan kerap dihadapkan pada persoalan praktis, khususnya terkait pengambilan gambar dan perekaman persidangan yang dilakukan tanpa kontrol.
Perma Nomor 5 Tahun 2020 jo. Perma Nomor 6 Tahun 2020 hadir untuk menjawab kebutuhan tersebut dengan menetapkan norma yang jelas dan seragam. Salah satu ketentuan pentingnya tercantum dalam Pasal 4 ayat (6), yang menegaskan bahwa pengambilan foto, rekaman audio, dan/atau rekaman audio visual harus seizin Hakim atau Ketua Majelis Hakim yang bersangkutan dan dilakukan sebelum dimulainya persidangan. Norma ini menempatkan hakim sebagai pemimpin persidangan yang memiliki kewenangan untuk menjaga ketertiban dan memastikan proses pemeriksaan berjalan efektif.
Pengaturan mengenai izin perekaman tidak dapat dilepaskan dari realitas era digital. Perekaman tanpa izin berpotensi mengganggu konsentrasi hakim, saksi, dan para pihak, serta membuka ruang penyalahgunaan rekaman melalui pemotongan konteks yang dapat menggiring opini publik.
Dalam perkara tertentu, praktik tersebut bahkan dapat mengancam privasi dan keamanan pihak-pihak yang berperkara. Oleh karena itu, kewajiban memperoleh izin sebelum melakukan perekaman merupakan instrumen preventif untuk melindungi independensi hakim dan menjaga objektivitas proses peradilan.
Pada saat yang sama, Perma ini tetap menghormati asas persidangan terbuka untuk umum. Ketentuan tersebut tidak melarang perekaman secara absolut, melainkan mengaturnya melalui mekanisme administratif yang terukur.
Masyarakat dan pers tetap memiliki akses untuk hadir dan mengikuti jalannya persidangan, serta dapat melakukan peliputan sepanjang memenuhi prosedur izin yang ditetapkan.
Pengadilan juga menyediakan kanal resmi informasi, seperti Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) dan siaran langsung pada perkara tertentu, guna menjamin keterbukaan informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Penguatan norma ketertiban persidangan ini sejalan dengan perkembangan hukum pidana nasional. Pasal 280 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur pidana denda bagi setiap orang yang pada saat sidang pengadilan berlangsung tidak mematuhi perintah pengadilan, bersikap tidak hormat terhadap aparat penegak hukum atau persidangan setelah diperingatkan hakim, menyerang integritas aparat penegak hukum atau persidangan, atau tanpa izin pengadilan memublikasikan proses persidangan secara langsung.
Ketentuan ini menunjukkan adanya pergeseran paradigma dari sekadar pengaturan etik dan tata tertib internal menuju perlindungan hukum yang bersifat represif terhadap tindakan yang merusak martabat peradilan.
Dengan demikian, ketertiban persidangan tidak lagi dipahami sebagai kewajiban moral semata, melainkan sebagai norma hukum yang mengikat setiap orang yang hadir di ruang sidang dan dapat dikenai sanksi apabila dilanggar.
Kehadiran ancaman pidana ini juga berfungsi sebagai instrumen pencegahan agar ruang sidang tetap menjadi forum yang rasional dan objektif dalam mencari kebenaran hukum, bukan arena tekanan psikologis, intimidasi, atau eksposur publik yang berlebihan yang berpotensi memengaruhi independensi hakim dan kualitas putusan.
Penutup
Lahirnya Perma Nomor 5 Tahun 2020 jo. Perma Nomor 6 Tahun 2020 harus dipahami sebagai upaya menjaga keseimbangan antara transparansi peradilan dan kewibawaan institusi pengadilan. Kewajiban memperoleh izin sebelum merekam atau mengambil gambar di ruang sidang bukanlah bentuk pembatasan terhadap hak masyarakat atas informasi, melainkan mekanisme pengaturan agar informasi diperoleh dan disebarkan secara etis, proporsional, dan tidak mengganggu jalannya persidangan.
Dengan pengaturan tersebut, pengadilan berupaya memastikan bahwa ruang sidang tetap menjadi tempat yang bermartabat untuk mencari kebenaran dan menegakkan keadilan, bukan sekadar panggung publik yang dikendalikan oleh logika viralitas.
Menjaga wibawa peradilan pada akhirnya merupakan tanggung jawab bersama, karena dari proses peradilan yang tertib, independen, dan berintegritas itulah kepercayaan publik terhadap hukum dan keadilan dapat terus dipelihara.



