Panggilan sidang adalah pemberitahuan resmi dari pengadilan kepada pihak berperkara agar hadir dalam persidangan pada waktu yang ditentukan.
Merujuk pada ketentuan HIR/Rbg, disebutkan bahwa panggilan sidang akan dilakukan secara patut oleh Juru sita paling lambat 3 hari kerja sebelum sidang dan disampaikan ke alamat para pihak yang tercantum dalam surat gugatan atau permohonan.
Dalam praktiknya, surat panggilan akan dikirimkan secara tercatat guna memastikan penerimaan oleh pihak yang berperkara sebelum tanggal sidang.
Tujuannya untuk memastikan bahwa pihak yang dipanggil memiliki cukup waktu mempersiapkan diri dalam menghadiri persidangan demi tegaknya asas peradilan.
Perkembangan zaman, telah mempengaruhi proses persidangan, saat ini dalam perkara perdata telah dilakukan persidangan secara elektronik (E-court).
E-court telah perkenalkan domisili elektronik, jawab jinawab, penyerahan kesimpulan dan pengucapan putusan, hingga panggilan sidang yang menggunakan surat tercatat.
Hal tersebut, diatur lebih lanjut dalam SEMA Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Tata Cara Panggilan dan Pemberitahuan Melalui Surat Tercatat, PERMA Nomor 7 Tahun 2022 Tentang Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 Tentang Administrasi Perkara dan Persidangan Di Pengadilan Secara Elektronik.
Proses panggilan sidang melalui surat tercatat, adalah mekanisme pengiriman dokumen pengadilan oleh Mahkamah Agung melalui PT Pos Indonesia kepada pihak berperkara dengan sistem pengawasan elektronik, guna memastikan surat sampai sesuai waktu dan bukti penerimaan.
Dalam rangka menerapkan mekanisme ini, satuan kerja Pengadilan perlu melakukan melakukan Memorandum of Understanding (MOU) dengan PT. Pos Indonesia.
Sehingga dengan adanya kerjasama tersebut, diharapkan proses pemanggilan dan pemberitahuan dalam persidangan berjalan efektif, serta efisien.
Kendala pelaksanaan panggilan sidang melalui surat tercatat
1. Kurir mengerjakan tugas sebagaimana mestinya.
Seorang kurir yang bertugas mengantarkan panggilan sidang, bukanlah seorang Jurusita, sehingga tidak dapat memberikan keterangan mengenai persidangan apabila dipertanyakan oleh para pihak.
Selain itu, kurangnya inisiatif kurir tersebut untuk menelusuri kondisi dan situasi pihak berperkara (misalnya: apakah pihak berperkara masih tinggal di lokasi pemanggilan? Atau apakah ada pihak yang sudah meninggal dunia?)
Dikarenakan prinsipnya kurir hanya berperan mengantarkan barang yang ditugaskan, lalu meminta bukti serah terima atas barang yang telah diserahkan. Sementara itu, keadaan para pihak yang berperkara merupakan formalitas yang harus diperhatikan Majelis Hakim.
2. Kurang adaptif melakukan perubahan.
Tidak hanya kurir, oknum juru sita hanya mengenal dan memahami panggilan sidang manual, akan kesulitan mengikuti perkembangan terkait proses panggilan sidang, karena melibatkan mekanisme dan tata cara yang baru.
Sehingga dikhawatirkan juru sita tersebut enggan memperbarui pengetahuannya dan berakibat pada kurang cakapnya koordinasi baik dengan kurir yang mengantarkan panggilan sidang, maupun dengan Hakim pemeriksa perkara, ketika menjelaskan apabila muncul kesalahan pada saat melakukan pangggilan sidang.
3. Panjar biaya perkara menipis.
Apabila biaya perkara telah menipis, karena pemanggilan sidang yang dilakukan berulang akibat adanya kesalahan saat melakukan panggilan, maka Hakim yang memeriksa perkara pada akhirnya akan meminta kembali tambahan biaya perkara kepada pihak yang bersengketa.
Sedangkan kesalahan pemanggilan tersebut, disebabkan oleh pihak yang kurang tanggung jawab dan paham terkait pemanggilan sidang melalui surat tercatat tersebut, serta sampai akhirnya membuat Hakim pemeriksa perkara dan satuan kerja berpotensi dinilai tidak profesional dalam menjalankan tugasnya.
Penulis mendukung segala bentuk inovasi yang dirancang Mahkamah Agung, termasuk inovasi dalam transformasi digital perihal administrasi perkara yang berlandaskan pada peradilan yang cepat, sederhana, dan berbiaya ringan.
Penulis juga memberi apresiasi kepada pegawai pelaksana maupun satuan kerja yang responsif dan adaptif terhadap proses peralihan mekanisme panggilan sidang, sehingga mampu melaksanakan proses tersebut secara optimal dan akhirnya memperoleh penghargaan untuk itu.
Namun, berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi terhadap proses panggilan sidang lewat surat tercatat, muncul beragam permasalahan
Maka, selain diperlukan kemampuan adaptif mempelajari perkembangan proses panggilan sidang melalui surat tercatat, dibutuhkan juga mekanisme kontrol secara real‑time dan akuntabel dalam pelaksanaannya.
Dikarenakan selain memperhatikan hukum acara perdata yang berlaku, upaya pembaruan ini tetap bertujuan demi kepentingan satuan kerja dan pencari keadilan untuk memperoleh proses administrasi perkara yang lebih baik.