Menafsir Hukum, Menemukan Keadilan: Hermeneutika sebagai Jalan Hakim PTUN

Dalam konteks hukum, hermeneutika adalah instrumen yang dapat digunakan Hakim untuk senantiasa berpikir dan berupaya menemukan makna di balik teks–teks hukum
Ilustrasi hukum dan keadilan. Foto freepik.com
Ilustrasi hukum dan keadilan. Foto freepik.com

Hakikatnya, manusia adalah makhluk berpikir. Melalui pikirannya, ia menjelajahi dunia luar sekaligus menelusuri dirinya sendiri. Dari sanalah lahir pertanyaan-pertanyaan yang menuntut jawaban. 

Di sini, interpretasi hadir sebagai jembatan, alat yang menuntun manusia menemukan makna di balik setiap pertanyaan dalam ruang pikirannya. 

Dalam konteks hukum, hermeneutika adalah instrumen yang dapat digunakan Hakim untuk senantiasa berpikir dan berupaya menemukan makna di balik teks–teks hukum guna memperoleh proses penerapan hukum dalam perkara faktual yang lebih mendekati pada kebenaran dan sesuai dengan rasa keadilan.

Hakim PTUN dibekali oleh adanya pengetahuan hakim yang bukan hanya sebagai salah satu alat bukti dalam hukum acara tata usaha negara melainkan merepresentasikan kearifan intelektual dan moral yang menuntun hakim untuk menafsir, menilai, dan memutus sengketa tata usaha negara secara adil, serta menjaga keseimbangan antara kepastian hukum dan perlindungan hak warga negara.

Pengetahuan hakim adalah fondasi bagi praktik hermeneutika hukum di peradilan tata usaha negara. 

Tanpa pengetahuan yang luas, hermeneutika akan kehilangan arah; sebaliknya, dengan pengetahuan, hermeneutika menjadi sarana hakim untuk menyingkap makna hukum yang hidup, sehingga putusannya tidak hanya legal-formal, tetapi juga adil dan berkeadilan sosial.

Beberapa alasan hermeneutika diperlukan oleh Hakim PTUN, yaitu:

  • Kebutuhan Hakim akan pemahaman sengketa yang bersifat sektoral senantiasa terbatas khususnya pemahaman terhadap ucapan, teks dan simbol;
  • Hermeneutika sebagai bantuan pedagogis yang dibutuhkan Hakim dalam beberapa kasus tertentu;
  • Melalui hermeneutika, Hakim dapat memperoleh pemahaman yang benar dari suatu ucapan, teks dan simbol melalui dialog kritis rasional.

Yang menjadi renungan: Apakah hermeneutika hanya diperlukan pada saat norma dan realitas memiliki kebuntuan hukum? 

Hermeneutika tidak boleh dipandang semata-mata sebagai jalan darurat ketika norma dan realitas hukum buntu. 

Mengutip Gadamer, hermeneutika justru merupakan fondasi untuk membangun kesatuan kerangka berpikir hukum yang utuh. Karena itu, seorang Hakim tidak cukup hanya menafsir, tetapi wajib menafsir dengan presisi: memahami dengan benar, menjabarkan dengan jelas, dan menerapkan dengan tepat.

Mengutip Asmoro Achmadi, sebuah putusan hakim idealnya memuat lima kriteria pokok. Pertama, putusan harus sistematis, yakni tersusun rapi dan saling berkaitan antara posita, pertimbangan hukum, hingga amar putusan. 

Kedua, putusan harus koheren, selaras tanpa pertentangan sehingga alur kebenaran yang dipertimbangkan tampak runtut dan logis. 

Ketiga, putusan harus konsepsional, mencerminkan kejelasan maksud yang bersumber dari akal dan nalar intelektual hakim. 

Keempat, putusan harus rasional, di mana setiap unsur terhubung secara logis melalui penerapan kaidah berpikir yang benar. 

Terakhir, putusan harus sinoptik, yaitu menampilkan penilaian menyeluruh, integral, dan komprehensif sehingga keadilan yang dicapai benar-benar berfungsi layaknya metabolisme hidup—sebuah gambaran tentang biological justice.

Pada akhirnya, hermeneutika menjadi alat bagi hakim untuk merumuskan pertimbangan yang tepat dan kesimpulan hukum yang benar, sekaligus menjauhkan diri dari jebakan pola pikir formalistik, sehingga hakim terdorong untuk senantiasa menggali dan menghadirkan hukum yang hidup di tengah masyarakat.

Putusan Hakim yang mengadopsi hermeneutika akan mempertimbangkan faktor diskriminasi dan dominasi kekuasaan, kesewenang-wenangan, ketidakseimbangan, ketidakadilan, kepatutan, kehati-hatian dan iktikad buruk. 

Ini menjadikan putusan memiliki karakteristik dan roh yang berbeda dari putusan Hakim lain.

Hermeneutika dan hukum progresif memiliki keterkaitan erat dalam peran hakim menegakkan keadilan. Melalui hermeneutika, hakim diberi ruang untuk menafsirkan hukum tidak secara kaku pada teks, melainkan dengan mempertimbangkan konteks sosial, moral, dan nilai keadilan yang hidup di masyarakat. 

Sementara itu, hukum progresif hadir sebagai landasan normatif yang mendorong hakim agar penafsiran tersebut selalu bergerak maju, responsif, dan adaptif terhadap dinamika zaman. 

Dengan demikian, hermeneutika menjadi metode, sedangkan hukum progresif menjadi arah, yang keduanya berpadu untuk menghadirkan putusan yang lebih adil, relevan, dan humanis.

Putusan dikatakan progresif tidak diukur dari sejauh mana putusan itu anti-mainstream tapi yang didambakan adalah putusan yang berkeadilan yang lahir dari profesionalisme Hakim yang dilandaskan pada pengetahuan dan kebenaran intelektualitas Hakim dipadukan dengan ketajaman nurani dalam menilai keadilan dalam setiap perkara. 

Di sini, dapat dikatakan Hakim sebagai Mujtahid sebab proses ijtihad sejatinya bukan sesuatu yang ringan tapi butuh proses yang berat dan memeras daya pikir dengan mendasarkan pada hati nurani yang dalam. 

Putusan progresif tidak mencederai asas kepastian hukum dan usaha unifikasi hukum. Hakim harus memastikan keseimbangan antara progresivitas dan kepastian hukum terjaga secara harmonis.